Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Mencoba Log Off Instagram Selama Seminggu, Apa Jadinya?

Itulah kenapa saya sebut Instagram sebagai sebuah toxic yang adiktif.

5 Juli 2018 | 18.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aplikasi Instagram. (AP Photo/Karly Domb Sadof)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada Sabtu nan damai, tersebutlah obrolan yang berujung pada resolusi singkat. “Eh, gue pengen uninstall IG (Instagram) deh selama seminggu.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalimat itu muncul didasari atas diskusi tentang Instagram. Perbincangan serupa pernah terjadi dengan teman lain di Twitter, tentang betapa toxic-nya keberadaan fitur yang membuat Snapchat luluh lantak ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa pertimbangan lebih jauh, saya sengaja mengunggah: see you next week! di halaman story, diikuti prosedur uninstall aplikasi tersebut di gawai kesayangan. Lalu, dimulailah petualangan satu minggu tanpa Instagram.

Perlu diketahui, saya adalah pengguna berat sosial media. Bahkan bisa dibilang pecandu.  Bangun tidur pegang ponsel, buka Instagram. Makan siang buka Instagram lagi. Capek lihat monitor, buka Instagram. Ngaso sore hari, buka Instagram. Malem-malem ngantuk di depan monitor, buka Instagram. Mau pulang buka Instagram. Sampe kosan buka Instagram.

Ibarat kata, hubungan saya dengan Instagram enggak jauh beda dengan hubungan Yudhis-Lala di Posesif. Bedanya, ponsel enggak bisa dibanting atau ditampar aja. Sayangnya, belum punya duit buat beli yang baru.

Itulah kenapa saya sebut Instagram sebagai sebuah toxic yang adiktif. Padahal jika dilihat lagi, hampir 80 persen kontennya berisi muatan yang tiada guna bagi nusa dan bangsa.

Baiklah, petualangan dimulai Sabtu itu juga. Beruntung, ada teman dari jauh yang datang ke Jakarta sehingga waktu banyak tersita untuk kumpul bareng. Aman dari gejala sakau.  Besoknya, agenda masih bertemu dengan teman lain. Saya merasa lebih banyak ada interaksi sekarang.

Sampai akhirnya, kami iseng berfoto aneh dengan gaya hypebeast njijiki yang sepertinya seru juga diunggah di media sosial. Namun hanya saya simpan di galeri dan saya tunda waktu mengunggahannya.

Aplikasi Instagram REUTERS/Fred Prouser.

Bagaimana dengan petualangan di hari kerja?

Senin lumayan dilalui cepat karena banyak pekerjaan serta PR yang numpuk. Rasa craving mulai benar-benar terasa di Selasa karena satu hal: gempa. Sebuah kejadian yang mengharuskan. Saya dievakuasi dari lantai 10.

Meski saya tahu pasti bahwa Instagram akan dipenuhi info gempa, story ketika evakuasi atau gempa, rasa penasaran pada “posting paan neh” tentang gempa mulai mengganggu. But well, mungkin semesta juga mendukung digital detox ini. Karena, ketika turun evakuasi, gawai justru tertinggal di meja dan saya turun hanya membawa air plus keripik singkong hasil jajan di pantry :))

Rasa craving itu kemudian muncul di pertengahan hingga akhir minggu. Meski, masih bisa ditahan. 

Pada Jumat ada perasaan aneh, yakni rasa excitement bahwa besok sudah bisa install Instagram lagi. Seperti ada kalimat “akhirnya buka feed dan bisa bersapa dengan bro-sis di Instagram.”

Lantas, datanglah waktu yang dijanjikan itu. Sabtu pukul 11.00, saya install lagi aplikasi berikon kamera dengan warna norak ini. Install beres, login, dan terbukalah feed Instagram yang sudah tidak tersapa. Ada beberapa notifikasi masuk.

Melihat-lihat sekilas story yang terpampang (dan sedikit mengernyitkan dahi dengan segala macam fitur barunya) dan close app. Ngobrol sebentar dengan teman, buka Instagram lagi, posting satu foto dan story, lalu close app.

Meski di sisa hari masih beberapa kali buka Instagram untuk cek komen di postingan, tapi ya sudah gitu aja. Tidak ada yang spesial.

Semua menjadi tidak spesial karena ada sesuatu yang tidak terpenuhi, yakni ekspektasi. Tingginya ekspektasi yang muncul sebelumnya hanya terbalas dengan gumaman “oh begitu” saat melihat feeds dan stories.

Akhirnya, saya jadi tidak terlalu peduli dan hilang rasa penasaran. In one tap, all those craving are gone.

Jika diperhatkian, saya sangat sering menulis kata “craving”, yang berarti rasa lapar atau haus yang teramat sangat. Istilah ekstremnya adalah “sakau”. Ada keinginan yang muncul terus menerus secara konstan dan di akhir perjalanan membentuk ekspektasi, harapan tinggi. Dalam hal ini, jika saya install ulang, saya akan memperoleh hal yang saya inginkan. At least, yang saya rindukan. And I was dissapointed

Selain fitur baru, there’s nothing much to offer. Lucu jika saya berpikir demikian karena satu minggu sebelumnya, attention span saya terhadap Instagram sudah di level mengkhawatirkan. Tapi benar loh, ketika buka Instagram lagi, dalam hati berkata “oh, masih begini”.  Instagram tidak berubah, saya yang mulai berubah.

Pelajaran kedua, ketiadaan Instagram membuat saya sadar bahwa hidup sudah sedemikian lekat dengan benda kecil bernama smartphone atau sebut saja gawai—biar enggak digetok Ivan Lanin. 

Instagram membentuk perilaku baru, yakni aktivitas membuka kunci layar di gawai, membuka sosial media dan melihat ada berita terbaru apa hari ini. Hilangnya Instagram tidak serta merta menghilangkan kebiasaan buruk ini. Bedanya, bila sebelumnya menengok stories, kali ini waktu tercurahkan menengok timeline Twitter dengan frekuensi yang meningkat lebih tajam. Juga naikkin level game The Alchemist dan baru-baru ini mencoba mencurahkannya ke hal yang lebih positif seperti dengan meng-install Medium untuk mengembalikan minat baca. 

Ini mengingatkan saya pada kasus orang yang ingin berhenti merokok. salah satu kebiasaan yang terbentuk ketika merokok adalah aktivitas tangan (dengan jari memegang puntung rokok) naik-turun dari bawah ke mulut untuk menyesap nikotin. 

Aktivitas tangan naik turun (ini terdengar aneh ya hehehehehe). Kasus kali ini adalah buka tutup lockscreen gawai. Tidak sekali saya menemukan diri saya kebingungan setelah unlock screen dan sedetik kemudian berpikir “bentar, tadi mau ngapain deh.”

Jika ingin jujur, malah saya belum menemukan solusi pastinya. Jika ingin melepas total keberadaan gawai, saya rasa sangat sulit karena banyak urusan kantor yang dikomunikasikan lewat WhatsApp. Ini belum termasuk semua kontak teman dan kerabat yang di dalamnya.

Ketiadaan Instagram menjadi sebuah afirmasi bahwa level adiksi saya terhadap gawai sudah separah itu dan sudah seharusnya dikurangi. Mungkin saya harus mengimani kembali tentang teori kecukupan. Mulai berpikir bahwa dengan satu jam sehari, mungkin cukup waktu saya untuk bermain gawai. Juga dicukupkan otak saya menyerap semua informasi dari gawai dan dicukupkan ego saya untuk menyintas di dunia maya.

 

Artikel ini sudah tayang di greymeadow

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus