DI bawah kerlap-kerlip lampu panggung yang temaram, tubuh wanita itu menggeliat bagai cacing kepanasan. Dan ketika musik disko yang menggelegar diganti dangdut, geraknya kian erotis. Laila ... Laila .... Entakan gendang melemah dan sang penari merebahkan tubuh di lantai. Lalu ia mencopot satu per satu busananya yang sejak mula memang sudah kurang komplet. Kali ini dengan gerakan yang sudah kelewat vulgar. Dan puncaknya, ah ... busana vitalnya malah dilemparkan ke penonton. Tepuk tangan dan suitan pengunjung yang memenuhi sebuah bar di kawasan Mangga Besar menyambut gemuruh. Laila .... Diakah penari striptease asal Muangthai yang diusir Imigrasi Indonesia itu? Bukan. Dia berasal dari sebuah tempat di Jawa Tengah dan lulusan ASTI Yogyakarta. Pengakuannya, lho. Di dunia hiburan remang-remang begini dan di bar-bar yang tak lebih dari sarana untuk mencari teman kencan, apalah artinya sebuah asal, sebuah status, juga sebuah nama. Jangan mudah percaya. Yang pasti, dia "artis" Indonesia. Dan tidak hanya di kawasan Mangga Besar itu sejumlah bar menyediakan penari-penari jenis begitu. Di Jakarta, di sekitar Jalan Pangeran Jayakarta, Roxy, Teluk Gong, Angke, Jalan Blora -- tak usah diperpanjang lagi -- penari striptease mudah ditemui. Tentu saja tak semua "made in Indonesia" malahan lebih banyak yang kelas impor. Bagi sebuah klub malam, bar, atau coffee house, terasa belum lengkap kalau tak menyajikan pertunjukan "puncak" model ini. Dan Jakarta bukan monopoli jenis hiburan begini. Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, pun punya bar-bar seperti itu. Shinta Nite Club (SNC), Semarang, misalnya, pada malam-malam biasa dikunjungi sekitar 50 orang, sedang di malam panjang pengunjungnya membludak. Karena itulah malam yang tak biasa, artinya ada striptease. "Semakin membludak lagi kalau artisnya asing," kata Hartono, manajer SNC. Kenapa asing? Menurut Hartono, artis asing, terutama dari Muangthai dan Filipina, ternyata lebih murah ketimbang yang lokal. Tarifnya paling tinggi Rp1O0 ribu sekali manggung. Lagi pula, "Mereka lebih berani. Mereka membuka pakaiannya hingga telanjang," ujar Hartono lagi. Perkara lebih murah, hitungannya begini. Menurut Oky M. Tengkey, asisten general manager klub malam Paramount, Bandung, artis asing murah karena mutunya memang di bawah artis lokal, tetapi beraninya jauh di atas lokal. Kelas lokal yang "berani" dan juga murah memang ada, tetapi namanya tidak terkenal, sehingga kurang menarik pengunjung. Pertunjukan striptease mudah ditemui di tempat-tempat yang sudah "lazim" itu. Kok boleh? "Karena pengawasan kurang ketat," kata sebuah sumber TEMPO. Menurut prosedur resmi, lima jam sebelum muncul di panggung, artis yang bersangkutan harus main di depan Komisi Penilai dan Peneliti Artis Hiburan Asing (cuma disingkat KPP). KPP ini ada di Jakarta. Di daerah ada KPPD (D dari Daerah). Komisi ini melibatkan orang-orang dari Depdagri, Depnaker, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi, Ditjen Pariwisata, P dan K. Artis yang datang satu dua tanpa grup memang sering luput sensor. Artis lokal malah tidak kena sensor. Kisah tertangkapnya tiga artis Muangthai yang menari "di luar batas kesusilaan", Selasa dua pekan lalu, karena itu menjadi menarik. Mereka ini datang ke Jakarta disponsori impresariat Safari Charade (SC) Promotion, 15 Desember lalu. Ketika mereka menari di sebuah hotel dan bar di Jakarta, tiga petugas imigrasi mengawasinya. Lalu, ya, pas pada nomor "melewati batas", tiga petugas tadi mengambil tindakan. Mereka Mayuree Sonrad, Pranom Pornthum, dan Manthana Wichachim -- diusir Jumat dua pekan lalu. "Para artis itu memang punya izin untuk menyanyi dan menari. Tapi kenyataannya mereka melanggar batas-batas kesusilaan umum. Karena itu, mereka diblacklist," kata Brigjen. Roni Sikap Sinuraya, Dirjen Imigrasi Sutardi dari SC Promotion memang mengakui, setiap artis yang didatangkannya disensor lebih dulu. "Mereka sudah lolos sensor," katanya. Tapi ketika menari, mereka melakukan adegan begitu karena dirangsang penonton. Seharusnya mereka tetap mengenakan tutup dada dan tutup bawah," kata lelaki berperawakan besar ini. Dan celakalah, saat "tutup bawah" dilepas, petugas imigrasi mengawasinya. Sutardi, yang sudah 10 tahun lebih bergerak di bidang ini. menyebutkan bahwa memang artis-artis yang didatangkannya bersedia melakukan adegan bugil. Namun, dalam perjanjian resmi, mereka hanya diminta menari erotis dengan tetap menutup "anu"-nya. Peraturan di Jakarta, resminya, diakuinya masih ketat. "Di luar Jakarta mereka malah boleh topless," kata ayah empat anak ini. Betulkah? Sulit dilacak benar tidaknya. Lalu lintas artis di dunia hiburan remang ini sulit dikontrol. Lagi pula, tampaknya aparat KPPD tidak setiap malam bisa "mengawasi". Di Medan, misalnya, penilaian hanya dijadwalkan setiap hari Senin. "Kami hanya menyensor sesuai dengan kebutuhan daerah saja," kata Mudyono, Ketua KPPD yang juga Kadit Sospol Tingkat I Sumatera Utara. Karena yang lolos mungkin saja ada, di Sumatera Utara dibuat kebijaksanaan lain, hiburan jenis itu hanya boleh di tempat yang mendapat izin khusus. Di Jakarta ada tujuh impresariat yang menyediakan artis di jalur ini. Mereka membayar setiap artis hanya Rp700 ribu per bulan. Tiket dan akomodasi ditanggung. "Mereka menginap di guest house, kalau di hotel 'kan mahal," kata Sutardi. Untuk usaha begini, kabarnya ada 22 perizinan yang harus ditempuh. Tak jelas apa saja. Sama remang-remangnya dengan lampu di panggung itu. Dan di panggung itu, tubuh setengah atau sudah -- bugil masih tetap ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini