TATKALA deregulasi dicanangkan, sektor swasta bertepuk tangan. Tetapi tidak lama. Karena segera setelah itu mereka sadar keterbatasannya. Deregulasi hanya peluang. Sedang dalam bisnis, di samping peluang perlu. Juga kemampuan untuk memanfaatkan peluang itu. Perlu prakarsa swasta. Perlu keterampilan. Perlu juga kelembagaan. Deregulasi ternyata hanya ampuh untuk mengurangi salah satu kambing hitam dalam bisnis, yaitu red tapes. Ambillah Paket Deregulasi Oktober. Tatkala peluang mendirikan bank dilonggarkan, swasta mengeluh. Tidak cukup tenaga manajer yang mengetahui seluk beluk bisnis perbankan. Sehingga, peluang yang diciptakan oleh paket deregulasi itu tidak bisa secara optimal dimanfaatkan. Bajak-membajak tenaga manajer juga sudah sulit. Karena, di samping gaji mereka umumnya sudah tinggi, juga tenaga terampil itu menengok stabilitas usaha yang mengajaknya bergabung. Kalau demikian, tidak mustahil yang gesit memanfaatkan peluang itu akhirnya juga kekuatan bisnis yang telah mapan. Mereka tanpa kesulitan membangun jaringan perangkat usaha menurut caranya sendiri, dengan sasaran utama menekan risiko. Menghadapi kesulitan mencari tenaga manajer seperti ini, pihak swasta yang cerdik itu tak kurang akal. Apa salahnya menunjuk manajer kelas satpam. Dia dipasang sekadar untuk sarana pengaman. Tugasnya menakut-nakuti anasir yang tidak dikehendaki. Pengedar derma, petugas yang hendak ngompas, pencari kerja, dan seribu satu faktor luar yang perlu ditangkal. Tatkala bisnis baru membuka usahanya, manajer satpam semacam ini sangat diperlukan. Karena bangunan institusi menuntut ketenangan dan stabilitas. Pekerja-pekerja membutuhkan ketenangan dari gangguan kanan kiri. Maklum, di masa lalu banyak orang melihat setiap bangunan usaha sebagai sasaran yang empuk untuk cari makan dengan cara pintas. Karena itu, untuk kelas manajer satpam tidak dibutuhkan keterampilan. Yang penting, dia bertampang seram. Bisa membalas menggertak ketika berhadapan dengan penggertak. Siap berkelahi kalau terpaksa menghadapi orang yang nekat. Bahkan kalau perlu membungkam pekerja yang bergelagat macam-macam. Tatkala kecemburuan sosial belum hilang sama sekali, manajer kelas satpam sebaiknya pribumi. Syukur kalau dapat bekas pejabat. Mendengar nama, pangkat, dan kesatuannya saja orang sudah bakal ciut. Bila keadaan memaksa, manajer satpam harus bisa punya akses partikeliran pada laskar kamtibmas beneran. Inilah kiat wiraswasta yang merujuk realita tantangan. Bila usaha sudah mulai jalan, yang diperlukan kelas manajer yang berbeda. Jangan buru-buru menyerahkan kewenangan pada manajer beneran. Apalagi bila ia terpaksa orang dari luar lingkaran. Karena langkah demikian bisa bikin runyam. Usaha akan memikul risiko terlalu tinggi Kerahasiaan, keamanan, ketangguhan, dan daya saing usaha bisa jadi taruhan. Sepanjang menyangkut pengambilan keputusan dan kebijaksanaan, hendaknya masih dipertahankan di tangan Tauke. Hanya dengan cara demikian misi dan strategi usaha bisa dijaga konsistensi dan koherensinya. Pada tingkat ini yang dibutuhkan paling-paling seorang manajer pajangan (shoroom manager). Apa tugas seorang manajer pajangan? Tersenyum dan mengangguk. Syaratnya? Bertampang lumayan. Boleh laki-laki atau perempuan. Siap untuk berpakaian rapi mengendarai mobil mewah,dan mengantungi kartu nama yang dicetak cantik. Tidak boleh banyak bicara. Kecuali omong kosong, diizinkan sepuas-puasnya. Syukur bisa ndagel. Kalau tidak, dia mesti punya koneksi yang luas. Terlalu bodoh pun tidak apa. Asal dia, adik, menantu atau syukur anak penggede. Karena dia akan diperalat untuk melancarkan lobi atau memproduksi katabelece. Mereka perlu selalu diingatkan, status sebenarnya hanyalah sebagai pencari makan. Tidak lebih dan tidak kurang. Kartu kredit dikasih. Tetapi belanjanya ketat dikendalikan. Pokoknya, setiap langkahnya harus selalu ada "perhitungan". Lalu siapa sesungguhnya manajer yang beneran? Ah, yang beneran itu tidak jarang beroperasi bak siluman. Yang konvensional, misalnya, tidak jarang hanya berkaus oblong, tanpa nama, tanpa meja, apalagi atribut aneka rupa. Bersandal jepit ia mondar mandir kian-kemari, mengawasi pekerja mengerjakan kegiatan sehari-hari. Dia tidak menerima tamu. Dia tidak dikenal siapa-siapa, kecuali mereka yang bekerja di sana dan klien lama. Dia hanya turun tangan dengan isyarat ha atau he. Namun, sesungguhnya hanya dia yang punya akses pada proses produksi dan pelayanan di dalam usaha. Tidak peduli di atas kertas manajer pajangan dan manajer satpam itu dikasih merk sebagai orang yang punya perusahaan, orang nomor satu atau nomor berupa. Tapi kewenangan mutlak masih di tangan. Kalau demikian keadaannya, di mana gerangan letak rahasia hambatan membangun masyarakat manajer sejati di Indonesia? Tentu bukan salah deregulasi atau debirokratisasi. Juga bukan salah swasta yang menanggapi tantangan nyata itu dengan memanfaatkan peluang melalui cara-cara yang kurang berbudaya itu. Salah siapa? Ah, gampang saja. Kalau tidak ada yang mau memikul tanggung jawab hadirnya praktek merendahkan martabat usaha dan wiraswasta di Indonesia ini, salahkan saja budaya dan keadaan sosial kita. Kenapa kita tak berdaya menghadapi penghinaan yang menistakan martabat bangsa sendiri, hanya demi sekerat roti dan seteguk wiski?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini