AKHIRNYA para petugas keamanan dan perusahaan penerbangan bisa mulai bernapas lega. Bom plastik kini bisa dideteksi. Salah satu jenis detektor bom mutakhir itu diproduksi oleh Scintrex (Scientific Instrumentation for Exploration), sebuah perusahaan elektronik di Concord, Ontario, Kanada. "Instrumen ini memenuhi syarat untuk melawan kelihaian kaum teroris," ujar Dr. Gordon Rosenblat, Direktur Analisa Instrumentasi di Scintrex. Produk baru dari Kanada itu disebut REM (Rapid Explosive Monitor), atau boleh juga disebut EVD-1. "Inilah instrumen terbaru dan tercanggih di antara alat-alat sejenis yang telah ada," tambah Rosenblat. Bahan bakar peledak semacam dinamit, TNT (Trinitrotoluene), RDX (Hexogen), PETN (Pentaerythrite tetranitrate), Semtex, hingga C-4 bisa terdeksi oleh instrumen bikinan Kanada itu. Menurut Thomas Hasek, petugas pemasaran Scintrex di Vancouver, Kanada, kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO pekan lalu, EVD-I terdiri dari dua bagian penting: alat pengindria (handheld sampler) yang mempunyai sensor peka, dan perkakas induk berupa kopor, yang berisi rangkaian mikroprosesor serta komponen elektronik lain. Hasil pemeriksaan bom disajikan secara tertulis pada layar kecil yang terdapat pada kopor. Alat pengindria itu bentuknya mirip pistol mainan, ringan dan mudah digenggam. Moncong "pistol" ini sanggup mengisap udara dari kopor atau tas penumpang. Kemasan atau pembungkus macam apa pun, sudut-sudut yang sulit sekalipun, tak menjadi halangan bagi "pistol" itu untuk melakukan pengendusan. Aliran hawa dari dalam kopor selanjutnya akan diperiksa oleh sensor pintar yang ada. Sensor itu bisa membedakan aroma bom dan aroma barang lain. Caranya? Bahan peledak, dari jenis apa pun, senantiasa memiliki gugus-gugus molekul yang kaya akan atom nitrogen. Gugus senyawa ini punya perangai khas: doyan menjerap elektron. Jadi, dengan mengumpankan sejumlah elektron, sensor bisa menjebak gugus senyawa yang berasal dari bahan peledak itu. Tentu saja, yang suka menangkap elektron tak cuma terbatas pada gugus nitrogen dari bom. Senyawa lain bisa saja berlaku sama. Namun, berdasarkan jumlah dan laju penjerapan elektron itu, mikroprosesor pada perkakas induk bisa membuat kesimpulan, apakah yang ditangkap itu senyawa dari bahan peledak atau bukan. Proses analisa rumit itu menjadi tanggung jawab mikroprosesor dalam perkakas induk. Alat ini tak melibatkan bunyi-bunyian alarem. Hasil deteksinya disajikan secara tertulis pada layar kecil yang terdapat dalam kopor instrumen induk. Kesimpulan deteksi itu bisa disajikan dalam tiga bahasa: Inggris, Prancis, atau Spanyol. Setelah selesai dipakai, hasil analisa instrumen itu bisa dihapus secara otomatis. Yang dibanggakan oleh Scintrex, EVD-1 ini sangat teliti. Sensornya sanggup mengendus gugus senyawa nitrogen, lepasan dari bahan peledak, bahkan pada konsentrasi lima persejuta ppm. Dengan kemampuan setajam itu, EVD-I bisa mengenali bom plastik, yang pelit menguapkan tubuhnya. Pada uji coba, "EVD-I bereaksi terhadap kehadiran bom plastik Semtex, dan deteksinya betul," tutur Rosenblat lagi. Di antara jajaran bahan peledak, bom plastik memang yang sulit dideteksi uapnya. Semtex, yang diduga dipakai untuk meledakkan Boeing 747 Pan Am di Skotlandia bulan lalu, misalnya, atau C-4, sangat stabil. Bila racikan bom itu sempurna, tekanan uapnya bisa serendah satu atau dua persejuta ppm. Sebab itu, Rosenblat tak berani menjamin bahwa alatnya bisa 100 persen benar dalam pendeteksian. "Tapi paling tidak 70% benar," ujarnya. EVD-1, yang dijual dengan harga sekitar Rp40 juta per unit itu, mudah dioperasikan. Beratnya hanya 16 kg. Instrumen ini mau dilayani dengan listrik 220 Volt, 110 Volt, atau batere. Kalau situasi darurat, detektor ini pun bisau dicatu tenaga dari pemantik rokok di dashboard mobil. Kopor yang membungkus komponen EVD-1 juga tahan banting. Alat ini tahan terhadap guncangan. Getaran sonar maupun gelitik gelombang radio, pada frekuensi mana pun, tak akan mengusik kerja detektor ini. Instrumen ini juga siap dioperasikan di banyak tempat, pada suhu 0 hingga 65u2o C. Detektor EVD-1 ini merupakan buah penelitian Badan Riset Nasional yang bekerja sama dengan kementerian transportasi Kanada. Riset yang dilakukan sejak 1982 itu menghabiskan dana sekitar Rp700 juta. Sebanyak 150 unit telah terjual dan terpasang di pelbagai tempat, antara lain & bandara Orly, Paris. Sebagai detektor, EVD-1 memang belum bisa bekerja secara cepat. Diperlukan tempo 90 detik untuk memeriksa satu penumpang. Agar tak menimbulkan antrean panjang, "dianjurkan agar pemeriksaan tidak hanya menggunakan satu alat," ujar Thomas Hasek. Detektor bom jenis lain juga tengah diproduksi oleh SAI (Science Applications International) Corp., sebuah perusahaan di San Diego, California. Instrumen antibom jenis baru ini disebut TNSD (Thermal Neutron Screening Device), yang harganya cukup mahal: sekitar Rp1,6 milyar per unit. Instrumen TNSD ini bisa bekerja cepat 10 kopor per menit. Untuk mendeteksi bahan peledak, kopor-kopor penumpang itu dihujani dengan partikel netron. Gugus nitrogen pada bahan peledak akan menyerap netron-netron itu, kemudian memancarkan sinar gamma, yang dicatat oleh detektor mahal ini. Semakin besar sinar gamma muncul, berarti makin banyak gugus senyawa nitfogen yang menjerap netron. Bila itu teriadi, berarti ada sesuatu dalam kopor penumpang yang pantas dicurigai. Pengembangan detektor dengan teknik penembakan netron itu disponsori oleh Federal Aviation Commission, sebuah badan yang mengawasi keselamatan penerbangan di Amerika. Lima buah instrumen jenis ini telah dipesan oleh berbagai bandar udara di Amerika. Namun, penyerahan pertama baru bisa dilakukan bulan Juli mendatang. PTH (Jakarta) dan Toeti Kakialatu (Vancouver)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini