ORKES Simfoni Institut Seni Indonesia (ISI) ditantang untuk menjadi sebuah orkes andalan. Dalam pergelaran keenam kalinya pada 13 Januari silam d Gedung Kesenian Jakarta, kegiatannya padat. Mereka bahkan berkesempatan mengiringi artis kaliber internasional, antara lain pianis Walter Hautig dan Fernando Laires. Konser yang malam itu disponsori oleh Citibank sayang hanya dihadiri publik yang kurang memenuhi separuh ruangan. Padahal, program pementasan pada malam itu cukup padat dan bervariasi. Memang layak dipujikan, karena diharapkan akan menarik publik dari berbagai lapisan. Dan program tadi, bagi Orkes Simfoni ISI, agaknya berusaha mengekspose kemampuannya membawakan pelbagai jenis musik. Keberanian tersebut juga diharapkan bisa memberi dampak dalam partisipasinya menanamkan dan meningkatkan kecintaan masyarakat di negeri ini, sehingga memiliki apresiasi musikal yang tinggi. Sementara itu, kehadiran Yazeed Djamin sebagai music director pada orkes ini setidaknya turut meletakkan disiplin orkestral yang dibutuhkan bagi sebuah orkes besar yang sering mengadakan pementasan dan ingin mencapai suatu target internasional. Apakala pada malam itu yang boleh disebut mengganggu adalah suasana panggung yang belum dipelihara. Menejang pertunjukan, ketika para musikus masuk, penonton mendengar suara di belakang pentas yang mencari sang dirigen. Ketika karya pertama Summer ciptaan Antonio Vivaldi (1675-1741) ditampilkan, dengan solis pada biola Hugo Holleman yang dibawakan dalam gaya Barok, namun tanpa dirigen, penonton awam mungkin menyangka dia memang belum berada di tempatnya. Permainan Hugo Holleman memadai, walau kemampuan teknis orkes bagian biola yang mengiringinya masih belum terpadu. Hasilnya kurang memuaskan. Ini terasa di bagian tiga: pada pasasi-pasasi cepat tertentu seperti kejar-mengejar. Cello yang kadang-kadang berduet dengan biola solis itu belum mengimbangi permainan Hugo Holleman. Musik Barok memang sangat sulit dimainkan secara murni, karena perlu pengontrolan teknik dan penjelajahan yang lebih mendalam. Sedangkan Polonaise opus 40 No. 1 karya F. Chopin (1810-1849) yang diorkestrasi oleh Yazeed Djamin sendiri, tanpa mengurangi penghargaan pada penguasaan seni orkestrasi, namun belum mampu mengalahkan kegagahan dan jiwa patriotisme Chopin yang terkandung dalam karya ini, bila dimainkan dalam versi aslinya untuk piano tunggal. Chopin, pencipta dari periode Romantik, mengembangkan musik pianistis pada suatu tingkat yang khas dan tiada taranya. Kemudian, Hugo Holleman sebagai solis juga membawakan Romance in F opus 50 karya L.v. Beethoven (1770-1827) yang sangat terkenal itu. Warna permainannya lebih nyata dan disesuaikan dengan karya yang dimainkannya: intim dan hangat. Kelemahan orkes kali ini hanya terdengar di bagian bas. Sebuah tone Simfoni Finlandia opus 26 karya komponis yang termasuk nasionalistis di Finlandia, Jean Sibelius (1865-1957), mengakhiri bagian pertama dari pergelaran orkes dari Yogyakarta ini. Kontras-kontras nuansa nada dan ketegangan tertentu yang membuat karya ini suatu suguhan yang mengesankan kurang tampil. Crescendi yang dahsyat tidak mencapai tujuan maksimal, malah tema melankolis yang sangat indah terasa agak hambar dan kurang hangat. Secara keseluruhan seakan-akan meninggalkan kesan yang tanpa semangat. Setelah istirahat, bagian kedua dari malam konser ini beralih kepada musik opera dengan paduan suara dan solis-solis yang membawakan aria yang terkenal dan khasanah opera. Teddy Sutadhy, tenor lulusan ISI (1985) dan berturut-turut meraih Juara Bintang Radio dan Televisi, membawakan aria dari opera Don Giovanni ciptaan Mozart (1756-1791). Suara yang indah itu kurang volumenya hingga tertutup oleh orkes. Terdengar antara orkes dan penyanyi kurang balans. Paduan Suara ISI dan Susanti Andari membawakan cuplikan opera II Trovatore ciptaan Gieseppe Verdi (1813-1901). Temperamen paduan suara maupun solis tidak nyata, dan ucapan kata-katanya kurang jelas. Pada Funiculi-Funicula lagu Neapolitan ciptaan Luigi Denza (1846-1922), Teddy Sutadhy tampil lebih lincah dan yakin, namun suaranya tetap tenggelam dalam kesatupaduan dengan orkes. Tapi Walang Kekek, yang dibawakan Susanti Andari dengan iringan orkes sebagai gagasan aransemen, awalnya sangat menarik. Sebuah intro bersifat solistis dan iringan pada strings yang memakai glissandi, pada bagian tengah tiba-tiba ada semacam jembatan musikal yang tak ada hubungannya dengan tema pokoknya, hingga memberi efek tempelan. Ada aktor-aktor gaya Pucini dan coda yang lepas dari karya pokoknya. Cuplikan opera La Traviata karya Giuseppe Verdi kembali diperdengarkan oleh Teddy Suthady dan Harmunah Joehanto. Interpretasi pada opera ini kiranya memiliki masalah yang sama seperti pada pembawaan aria sebelumnya, walau Harmunah Joehanto memiliki suara hangat dan kemampuan teknis yang memadai. Cuma, bagi yang terbiasa mendengarkan opera Italia, maka penyajian malam itu terasa sangat hampa. Semua aria dibawakan dengan temperamen Jawa dalam gaya seriosa. Pada Le Gioconda karya Amilcare Ponchielli (1813-1886) orkes dan koor terdengar lesu, sehingga berakhir tanpa aplaus. Yazeed mengkhatamkan konsernya seperti yang tertera pada buku acara, dengan mengetengahkan oratorio The Messiah-nya Handel (1685-1759). Temponya agak terburu-buru dan paduan suara kurang brilyan. Di sini volume koor memang perlu ditingkatkan. Setelah karya terakhir itu, masih ada sederet lagu The Beatles dari Sgt. Paper Album. Misalnya berjudul Something, Bright Eyes, Here, There and Everyqhere, Yellow Submarine. Lalu ada instrumental Es Lilin (Sunda), dan yang Jawa Walang Kekek, garapan Yazced. Bagian ini memberi kesan seperti acara bebas. Pengunjung bahkan tak tahu usainya konser, seandainya tanpa ada pengumuman dari belakang pentas. Trisuji Kamal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini