Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan Tahun Baru Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional terhitung sejak 19 Januari 2001, melalui Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif, yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari libur fakultatif sendiri merupakan hari libur yang pelaksanaannya tidak langsung ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan diserahkan kepada kebijakan pemerintah daerah atau instansi terkait.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2025, perayaan Imlek jatuh pada 29 Januari. Hal ini turut termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 1017 Tahun 2024, Nomor 2 Tahun 2024, dan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025.
Tahun Baru Cina dipercaya memiliki asal-usul yang dapat ditelusuri hingga abad ke-14 sebelum Masehi (SM). Menurut legenda, pada masa lalu terdapat seekor monster bernama Nian yang sering meneror masyarakat dan menyebabkan kerusakan besar. Namun, monster ini dikabarkan memiliki ketakutan terhadap warna merah, suara ledakan petasan, dan cahaya kembang api.
Untuk melindungi diri, masyarakat mulai menggunakan elemen-elemen tersebut untuk menakut-nakuti dan mengusir Nian. Sejak saat itu, tradisi ini terus dilanjutkan dan dipercaya menjadi awal mula perayaan Tahun Baru Imlek.
Asal-usul Imlek di Indonesia
Imlek adalah kalender lunar yang pertama kali diperkenalkan pada masa Dinasti Han di Tiongkok. Berdasarkan buku Tradisi Tahun Baru Cina, Pusat Data Tempo, sistem kalender Imlek mengawali tahun pada musim semi. Musim ini dinilai ideal bagi masyarakat agraris di Tiongkok.
Di Indonesia, tradisi ini baru kembali dirayakan secara terbuka setelah berakhirnya era Orde Baru, setelah KH Abdurrahman Wahid atau Mantan Presiden Gus Dur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 pada 17 Januari 2000. Adapun Inpres tersebut adalah tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, yang sebelumnya diterbitkan oleh Presiden Soeharto pada 6 Desember 1967.
Sebelum adanya pembatasan atau pelarangan perayaan Imlek di masa pemerintahan Soeharto, tepatnya setelah Indonesia merdeka, Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 2/OEM-1946 tentang hari-hari besar keagamaan, termasuk perayaan masyarakat Tionghoa. Dalam penetapan tersebut, tercantum empat perayaan utama, yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Konghucu pada tanggal 18 bulan 2 kalender Imlek, Ceng Beng, dan hari kelahiran Konghucu pada tanggal 27 bulan 2 kalender Imlek.
Pada masa itu, masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kebebasan berekspresi, seperti menggunakan bahasa Mandarin maupun bahasa daerah, memeluk agama Konghucu, menerbitkan surat kabar berbahasa Mandarin, menyanyikan lagu-lagu Mandarin, serta menggunakan nama asli mereka. Sekolah, toko, restoran, dan bengkel juga bebas memasang papan nama dalam tulisan Mandarin.
Memasuki masa pemerintahan Soeharto, melalui Inpres tersebut, maka seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa sangat terbatas dalam pergerakannya, hanya dapat dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan, berlangsung secara tersembunyi.
Pada akhirnya, pembatasan perayaan keagamaan tersebut terhenti sejak masa pemerintahan Gus Dur. Masyarakat Tionghoa di Indonesia akhirnya kembali mendapatkan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama, kepercayaan, dan tradisi mereka tanpa hambatan. Hal ini mencakup kesempatan untuk secara terbuka merayakan berbagai upacara keagamaan dan adat istiadat, seperti perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan tradisi lainnya.
Andini Sabrina dan Artika Rachmi Farmita turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Mengintip Kesibukan Pabrik Kue Keranjang di Bandung