Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Merayakan Kuningan dengan Tradisi Makotekan di Desa Adat di Bali

Masyakarat Desa Adat Munggu, Mengwi, Bali merayakan Kuningan dengan dengan tradisi makotekan yang dilaksanakan turun-temurun.

11 Juni 2018 | 12.40 WIB

Perang galah dalam tradosi Makotekan di Desa Adat Munggu, Mengwi, Bali. (Francisca Christy)
Perbesar
Perang galah dalam tradosi Makotekan di Desa Adat Munggu, Mengwi, Bali. (Francisca Christy)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Mengwi -Perayaan Kuningan bagi masyakarat adat di Bali dirayakan dengan berbagai cara. Di Desa Adat Munggu, Mengwi, misalnya, masyarakat akan meramaikan hari raya itu dengan tradisi makotekan. Tradisi ini dilaksanakan secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.

Baca:
Libur Akhir Tahun, Mengunjungi Tiga Kampung Adat di Flores
3 Pilihan Menginap Saat Mudik Lewat Jalur Pantai Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Kemarin, 9 Juni, masyarakat Mengwi kembali menggelar makotekan,” kata Made Arya, pemandu wisata senior yang dihubungi Tempo melalui pesan pendek pada Minggu, 10 Juni 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makotekan hanya digelar satu-satunya di Munggu sebagai pengingat perjuangan para prajurit Kerajaan Mengwi menaklukkan Kerajaan Blambangan. Upacaranya diramaikan dengan perang galah. Perang galah itu dilakukan oleh seluruh pemuda Munggu.

Pada perayaan Kuningan sebelumnya, Tempo pernah mengikuti tradisi makotekan dari awal sampai kelar. Perayaan itu digelar selalu siang hari, selepas pukul 13.00.Penampakan galah yang ambruk saat tradisi Makotekan di Mengwi, Bali. (Tempo/Francisca Christy)

Matahari tepat di atas kepala kala rombongan Tempo sampai di Mengwi beberapa waktu lalu diantar oleh Made Arya. Tok tok tok. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul bertala-tala, mengucapkan selamat datang.

Para pemuda dari 13 banjar di Desa Adat Munggu berhamburan keluar dari kediaman masing-masing. Mereka mengenakan kostum upacara lengkap, mulai sarung, baju koko, hingga udeng. Satu per satu menyemut memenuhi jalan utama menuju pura di desa itu.

Made menginjak pedal rem mobilnya pelan-pelan. “Jalan ini dekat dengan persimpangan,” katanya. “Hampir setiap percabangan jalan di Desa Munggu dilalui arak-arakan ngerebek (arak-arakan Makotekan),” ujarnya. “Jadi tidak bisa parkir di sini,” katanya lagi. Ia lantas membelokkan setir ke depan rumah toko, 500 meter dari simpang empat Jalan Raya Tanah Lot dan Pantai Seseh, Mengwi.

Seusai memarkir kendaraan, Made membuka bagasi mogil, lalu mengeluarkan kamen. Kamen adalah kain yang biasa dipakai orang Bali untuk upacara adat. Kain ini harus kami pakai saat ikut perayaan Makotekan. “Caranya seperti pakai sarung. Kalau perempuan, panjangnya sampai tumit,” ucapnya. Sedangkan laki-laki, hanya sampai betis.

Selepas melilitkan kamen, Made menyodorkan senteng. Senteng adalah kain yang menyerupai syal. Senteng dipakai di bagian perut, yakni dilingkarkan, lalu diikat kuat.

Setelah berjibaku dengan kain, dari sisi berlawanan, muncul bebunyian nyaring. Klotek… klotek…. Terdengar suara kayu beradu aspal. Segerombol pemuda berjalan memegang galah setinggi 3 meter. Konon, galah itu terbuat dari kayu pulut yang khusus diambil dari hutan.Seorang pemuda Desa Munggu memanjat galah saat tradisi makotekan di Mengwi beberapa waktu yang lalu. (Tempo/Francisca Christy)

Di bagian ujung galah terdapat bendera kuning dan putih bersimbol dewa-dewa. Beberapa di antaranya menggambarkan ikon Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa.

Ada sekitar seribuan pemuda menghambur di jalan utama Desa Adat Munggu. Mereka berjalan, berbaris membentuk pleton. Perjalanan mereka diiringi bunyi ceng-ceng atau kecrak alias gamelan Bali.

Bergabung dengan barisan pemuda, tampak sejumlah pedanda atau pendeta. Mereka terlihat mengibaskan dedaunan yang dicelup ke air sebelumnya, lalu memercikkannya ke gerombolan pemuda yang membawa galah. Kata Made, pedanda itu bertugas mendoakan para prajurit perang—dalam hal ini gerombolan pemuda adat.

Mereka masuk ke pura desa untuk sembahyang sebelum beratraksi. Doa kepada para dewa dilakukan lebih-kurang 15 menit. Selesai berdoa, para pemuda, pedanda, dan pemangku adat lainnya kembali menghambur lagi ke jalan raya. Kini, tradisi makotekan itu baru benar-benar dimulai.

Makotekan akan dilakukan seperti karnaval. Seluruh pemuda desa dan pemangku adat akan berjalan keliling Munggu. Mula-mula, mereka akan berjalan dengan langkah biasa sambil bersenda gurau.

Namun setiap kali menemui tikungan atau persimpangan jalan, seribuan pemuda ini akan memecah diri secara tiba-tiba untuk membentuk kelompok. Di sinilah perang akan dimulai. Para pemuda akan mengangkat galahnya dan dipusatkan ke titik tengah. Dari kejauhan, galah itu tampak seperti kerucut raksasa.

Pemuda dari kelompok melakukan hal yang sama. Kerucut dari galah raksasa itu pun akan diadu. Pemuda saling melakukan penyerangan. Tak tek tak tek…. Irama perang kayu membahana.

Adegan makin barbar ketika seorang dari masing-masing kubu memanjat ke atas galah. Mereka seolah menjadi ujung tombak regu. “Lawan…Dorong…” begitulah teriakan itu memenuhi jalanan sepanjang desa adat. Sesekali, sarung si pemanjat tersangkut tongkat, membuat formasi goyang. Pemandangan jadi gayeng.Pendeta sedang memercikkan air suci di kepala para pemuda yang akan melakukan atraksi Makotekan. (Tempo/Francisca Christy)

Tradisi ini belum akan berakhir kalau para pemuda yang diibaratkan sebagai prajurit perang belum lelah. Kalau langit sudah kekuningan, semangat sudah kendor, satu per satu akan membubarkan diri.

Bila ditarik ke belakang, secara historis, ritual yang digelar berbarengan dengan Hari Raya Kuningan ini diadakan sebagai pengingat perang prajurit Kerajaan Mengwi menaklukkan Kerajaan Blambangan. Dulu kala, Raja Mengwi berkuasa di desa adat tersebut. Namun, tiba-tiba, wilayah itu akan direbut oleh Raja Blambangan.

Pasukan Mengwi lantas melakukan penyerangan. Untuk menghadapi musuh, Raja Mengwi diberkahi sebuah tombak dan tameng dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk menggulingkan lawannya. Setelah berhasil menang, mereka merayakan dengan cara yang unik, yakni saling serang antar-teman.

Makotekan sudah berjalan sejak 1934. Namun, ritual adat yang baru-baru ini ditetapkan sebagai warisan budaya nasional non-benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pernah dibekukan pada 1940 oleh Belanda. Alasannya karena berpotensi memunculkan perlawanan.

Simak: 7 Desa Wisata Top untuk Mengisi Liburan

Akibatnya, pada 1946, Desa Adat Munggu dilanda bencana besar. Di antaranya tingginya angka kematian, gagal panen, dan keributan. Mereka percaya, kemalangan ini muncul lantaran tradisi mekotekan dihentikan. Setelah itu, upacara kembali digelar sampai sekarang. Tepatnya 210 hari sekali.

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus