Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Patung Dewa Bumi Berusia 2 Abad, Menyambut Tamu di Gondomanan

Klenteng Gondomanan merupakan klenteng tertua di Yogyakarta, penyambut tamu di klenteng itu adalah patung Dewa Bumi berusia dua abad.

25 Januari 2020 | 10.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Patung dewa dewi berbahan kayu yang tengah dibersihkan menjelang perayaan Tahun Baru Imlek di Klenteng Gondomanan, Yogyakarta, Minggu, 19 Januari 2020. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Yogyakarta juga menyambut Imlek. Kota ini memiliki Kampung Ketandan, pecinan terbesar di Yogyakarta. Namun saat Imlek primadona Yogyakarta berupa patung Dewa Bumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Patung itu berada di Rumah Klenteng Gondomanan. Tinggi patung Dewa Bumi atau Hok Tik Cing Sien tak sampai 30 sentimeter. Menampakkan sosok dewa bertubuh tambun yang tengah duduk. Pandangan matanya menatap ke arah bawah. Sementara tangan kanannya tengah memegang gumpalan sesuatu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekilas, patung itu seperti bersepuh emas. Warnanya kuning keemasan, tetapi sudah sangat kusam sehingga tampak kecokelatan. Patung itu usai dibersihkan dalam prosesi jamasan rupang dewa-dewi, yang biasa digelar sebelum perayaan pergantian Tahun Baru Imlek.

“Ini terbuat dari kayu. Umurnya sudah ratusan tahun,” kata Ketua Pengurus Klenteng Fuk Ling Miau atau yang dikenal dengan sebutan Klenteng Gondomanan, Yogyakarta, Ang Ping Siang alias Angling Wijaya.

Tak heran, beberapa bagian tubuh patung sudah keropos. Namun kondisi itu tak tampak ketika patung dipajang di singgasananya. Lantaran tubuh patung ditutup jubah merah, yang lebar dan tergerai menutupi bagian bawah.

“Klenteng ini ada, patung ini juga ada,” demikian Angling menggambarkan usia patung itu.

Menurut Angling yang sudah delapan tahun memimpin kepengurusan klenteng, bangunan itu didirikan pada 1846. Berdasarkan suraat keterangan hak milik tanah Nomer 121 tertanggal 28 Juli 1846, kelenteng itu milik De Chinese Bevolhing.

Pembangunanannya merupakan hadiah dari Sultan Hamengkubuwono II untuk salah satu selirnya, yang berasal dari keturunan Cina. Sementara patung Dewa Bumi beserta sejumlah patung kuno lainnya didatangkan langsung dari negeri Cina.

“Dan sampai sekarang belum pernah diganti,” kata Angling. Patung Dewa Bumi diposisikan menjadi tuan rumah dari Klenteng Gondomanan. Singgasananya pun langsung menghadap pintu gerbang yang berada di sisi barat.

Singgasananya berada di dalam kotak seperti pigura kayu yang berukir. Di sisi belakang ditampilkan dua gambar Dewa Bumi yang bermahkota, berjubah putih, dan bercambang lebat yang memutih juga. Lantaran menjadi tuan rumah, keberadaan Patung Dewa Bumi terbilang istimewa.

“Siapapun yang bersembahyang di sini, yang pertama berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang kedua kepada Dewa Bumi,” imbuh Angling.

Baru kemudian berdoa kepada patung dewa-dewi lainnya yang ditempatkan di sisi kiri kanannya. Di depannya dihamparkan meja panjang warna merah, dengan sejumlah pernak pernik di atasnya. Terutama tempat menyalakan dupa juga diapit dua batang lilin raksasa.

Seorang warga berdoa kepada para dewa di Klenteng Fuk Ling Miauw Gondomanan, Yogyakarta, 3 Februari 2015. Warga etnis Cina melakukan puja doa tutup tahun, untuk menyambut datangnya hari raya Imlek. TEMPO/Suryo Wibowo

Sementara di depan singgasana patung dewa-dewi lainnya juga disediakan meja, untuk meletakkan dupa dan lilin. Beberapa di antaranya ada Dewa Surya, Dewi Bulan, Dewata, Dewa Obat, Dewa Sumur, Dewa Dapur, Dewi Kwan Im, “Patung-patungnya banyak sekali,” kata Angling.

Masyarakat yang bersembahyang di klenteng tak hanya umat Konghuchu. Ada juga yang berlatar kepercayaan dan agama lain. Selain untuk klenteng, bangunan seluas 1.150 meter persegi itu juga untuk Wihara Buddha.

Bangunan itu juga ditopang tiang-tiang dari kayu, yang seusia dengan bangunan itu ketika dibuat. Tiang-tiangnya bulat berupa gelondongan kayu jati yang berdiameter sekitar 30 centimeter dengan tinggi 4,5 meter. Sementara beberapa tiang lainnya sudah diganti karena dimakan rayap.

PITO AGUSTIN RUDIANA

 

 

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus