Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Yogyakarta juga menyambut Imlek. Kota ini memiliki Kampung Ketandan, pecinan terbesar di Yogyakarta. Namun saat Imlek primadona Yogyakarta berupa patung Dewa Bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patung itu berada di Rumah Klenteng Gondomanan. Tinggi patung Dewa Bumi atau Hok Tik Cing Sien tak sampai 30 sentimeter. Menampakkan sosok dewa bertubuh tambun yang tengah duduk. Pandangan matanya menatap ke arah bawah. Sementara tangan kanannya tengah memegang gumpalan sesuatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekilas, patung itu seperti bersepuh emas. Warnanya kuning keemasan, tetapi sudah sangat kusam sehingga tampak kecokelatan. Patung itu usai dibersihkan dalam prosesi jamasan rupang dewa-dewi, yang biasa digelar sebelum perayaan pergantian Tahun Baru Imlek.
“Ini terbuat dari kayu. Umurnya sudah ratusan tahun,” kata Ketua Pengurus Klenteng Fuk Ling Miau atau yang dikenal dengan sebutan Klenteng Gondomanan, Yogyakarta, Ang Ping Siang alias Angling Wijaya.
Tak heran, beberapa bagian tubuh patung sudah keropos. Namun kondisi itu tak tampak ketika patung dipajang di singgasananya. Lantaran tubuh patung ditutup jubah merah, yang lebar dan tergerai menutupi bagian bawah.
“Klenteng ini ada, patung ini juga ada,” demikian Angling menggambarkan usia patung itu.
Menurut Angling yang sudah delapan tahun memimpin kepengurusan klenteng, bangunan itu didirikan pada 1846. Berdasarkan suraat keterangan hak milik tanah Nomer 121 tertanggal 28 Juli 1846, kelenteng itu milik De Chinese Bevolhing.
Pembangunanannya merupakan hadiah dari Sultan Hamengkubuwono II untuk salah satu selirnya, yang berasal dari keturunan Cina. Sementara patung Dewa Bumi beserta sejumlah patung kuno lainnya didatangkan langsung dari negeri Cina.
“Dan sampai sekarang belum pernah diganti,” kata Angling. Patung Dewa Bumi diposisikan menjadi tuan rumah dari Klenteng Gondomanan. Singgasananya pun langsung menghadap pintu gerbang yang berada di sisi barat.
Singgasananya berada di dalam kotak seperti pigura kayu yang berukir. Di sisi belakang ditampilkan dua gambar Dewa Bumi yang bermahkota, berjubah putih, dan bercambang lebat yang memutih juga. Lantaran menjadi tuan rumah, keberadaan Patung Dewa Bumi terbilang istimewa.
“Siapapun yang bersembahyang di sini, yang pertama berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang kedua kepada Dewa Bumi,” imbuh Angling.
Baru kemudian berdoa kepada patung dewa-dewi lainnya yang ditempatkan di sisi kiri kanannya. Di depannya dihamparkan meja panjang warna merah, dengan sejumlah pernak pernik di atasnya. Terutama tempat menyalakan dupa juga diapit dua batang lilin raksasa.
Seorang warga berdoa kepada para dewa di Klenteng Fuk Ling Miauw Gondomanan, Yogyakarta, 3 Februari 2015. Warga etnis Cina melakukan puja doa tutup tahun, untuk menyambut datangnya hari raya Imlek. TEMPO/Suryo Wibowo
Sementara di depan singgasana patung dewa-dewi lainnya juga disediakan meja, untuk meletakkan dupa dan lilin. Beberapa di antaranya ada Dewa Surya, Dewi Bulan, Dewata, Dewa Obat, Dewa Sumur, Dewa Dapur, Dewi Kwan Im, “Patung-patungnya banyak sekali,” kata Angling.
Masyarakat yang bersembahyang di klenteng tak hanya umat Konghuchu. Ada juga yang berlatar kepercayaan dan agama lain. Selain untuk klenteng, bangunan seluas 1.150 meter persegi itu juga untuk Wihara Buddha.
Bangunan itu juga ditopang tiang-tiang dari kayu, yang seusia dengan bangunan itu ketika dibuat. Tiang-tiangnya bulat berupa gelondongan kayu jati yang berdiameter sekitar 30 centimeter dengan tinggi 4,5 meter. Sementara beberapa tiang lainnya sudah diganti karena dimakan rayap.
PITO AGUSTIN RUDIANA