Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hiburan

Pesta Demokrasi Pilpres, Siap Mengaduh Hadapi Media Sosial yang Gaduh

Pesta demokrasi pemilihan presiden (pilpres) 2019 di depan mata. Media sosial pun akan gaduh dengan beragam isu.

23 Agustus 2018 | 18.00 WIB

Jokowi dan Prabowo kembali bertarung pada Pilpres 2019
Perbesar
Jokowi dan Prabowo kembali bertarung pada Pilpres 2019

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pertarungan politik antara Jokowi dan Prabowo pada 2014  akan terulang kembali pada pemilihan presiden 2019. Hal ini dibuktikan saat keduanya resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon presiden.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Tahun ini Joko Widodo dan Prabowo Subianto memberikan kejutan dalam menentukan keputusan politiknya. Seperti yang kita ketahui, akhirnya Jokowi resmi memilih Ma’Ruf Amin dan Prabowo resmi memilih Sandiaga Uno. Hal tersebut membuat pemberitaan di media ramai. Banyak pro-kontra atas keputusan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum diputuskannya calon wakil presiden masing-masing, pada umumnya, sosok yang digadang-gadang di media adalah sosok yang berbeda dengan hasil keputusan akhir. Nama yang muncul di pemberitaan media adalah Mahfud Md dan AHY. Namun akhirnya nama-nama tersebut hanya muncul di permukaan.

“Pada Akhirnya Yang Digadang-Gadang, Akan Kalah dengan Kepentingan Partai Politik”.

Kepentingan partai politik akhirnya menjadi penentu keputusan politik akhir dari Jokowi dan Prabowo. Saat digelarnya rapat koalisi dengan berbagai lobi politik yang diajukan untuk mendampingi Jokowi, akhirnya berhenti pada nama Ma'ruf Amin. Setelah petahana mendaftar, Prabowo, yang awalnya dikabarkan akan berpasangan dengan AHY, akhirnya memutuskan bersanding dengan Sandiaga Uno. Keputusan sudah dibuat oleh masing-masing kubu dengan dinamika politiknya. Tentu saja ini untuk menyambut pesta demokrasi 2019. Warga mengenakan topeng pasangan Capres Cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat melakukan aksi di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Jumat, 10 Agustus 2018. Aksi tersebut sebagai bentuk suka cita dan dukungan masyarakat kepada kedua pasangan Capres-Cawapres dalam Pilpres 2019. ANTARA/Mohammad Ayudha

Sebelum menyambut pesta demokrasi yang akan berlangsung tahu depan, kita perlu belajar dari Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang kental isu SARA. Isu SARA bukanlah hal baru bagi Indonesia. Kalo melihat sejarah bangsa ini, struktur masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, dan adat istiadat. Sungguh mencerminkan negara majemuk. J.S Furnivall mengungkapkan, masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda  adalah  masyarakat majemuk (plural society); tanpa ada asimilasi pada kesatuan politik dan adanya kehendak bersama (common will). 

Pembaruan pada masyarakat Indonesia yang pluralis, dimungkinkan terjadi setelah adanya perkawinan silang. Hal ini seharusnya membuat kita belajar bahwa isu SARA bukan senjata nomor satu dalam pertarungan politik.

Isu SARA memang sudah ada sejak Orde Lama. Pada 1959, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 10/1959. Isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di tingkat kabupaten ke bawah. Akibatnya, ratusan ribu orang Tionghoa terpaksa melakukan repartriasi ke RRC. Para komandan militer (Angkatan Darat), khususnya di Jawa Barat, melarang orang Tionghoa bertempat tinggal di perdesaan. 

Konsep pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan sungguh meminggirkan golongan etnis Tionghoa. Hal itu mengakibatkan lebih dari 100 ribu orang Tionghoa meninggalkan Indonesia selama 1960-1961. Mayoritas mengalami kesengsaraan. Hal ini pun dikaitkan dengan “intrik-intrik” politik negara Indonesia dan Cina. Serta timbul peningkatan teror di perbatasan-perbatasan Indonesia. Misalnya pada 1963, terjadi kerusuhan rasial yang pecah di Jawa. 

Isu SARA juga masih terjadi di masa pemerintahan Orde Baru yang mebuat etnis Tionghoa mengalami diskriminasi rasial serta kehilangan Hak Asasi Manusia. Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk: itu buktinya. Etnis Tionghoa tidak boleh menjadi PNS/TNI. Lebih lagi, muncul larangan etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di perdesaan. 

Pada puncak reformasi, pecah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Banyak korban tewas. Pemerkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa, yang mengakibatkan sekitar 5.000 warga keturunan Tionghoa Indonesia melarikan diri ke luar negeri, terjadi.   

Pasca reformasi, isu SARA masih menjadi senjata politik yang kuat untuk mendapatkan kekuasaan. Ditambah dengan keberadaan media sosial yang membuat suatu informasi begitu cepat beredar di masyarakat. Terlihat dengan menguatnya isu SARA pada pemilu 2014 dan 2017 yang merupakan perjalanan sejarah dan pelajaran bagi demokrasi bangsa ini. 

Isu SARA merupakan isu yang paling mudah untuk menimbulkan konflik horisontal. Seperti yang dikutip dari hasil penelitian LIPI pada April-Juli 2018 mengenai “Pemetaan kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan menjelang pemilu serentak 2019: dalam rangka penguatan demokrasi". Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tindakan persekusi di kalangan masyarakat disebabkan oleh penyebaran berita hoax (92,4 persen), ujaran kebencian (90,4 persen), radikalisme (84,2 persen), kesenjangan sosial (75,2 persen), perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain (71,1 persen). Sedangkan aspek "religiusitas" (67,6 persen) dan ketidakpercayaan antarkelompok/suku/agama/ras (67,6 persen).

Saat ini, isu SARA seperti sebuah komoditas baru dalam lingkaran pemilihan umum untuk mencapai kekuasaan. Bahkan, sebelum pemilu berlangsung, konflik horisontal sudah terjadi di kalangan elit bangsa ini. Koalisi Jokowi belajar dari pengalaman untuk tidak lagi menjadi target isu SARA oleh oposisi. Hal ini ditunjukkan dengan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi.

Koalisi yang mendukung Jokowi ingin menepis isu SARA dengan menggandeng sosok yang religius. Dengan dideklarasi Jokowi-Ma'ruf Amin, ini menyulitkan pasangan calon tertimpa isu SARA. Sebab, mereka merupakan pasangan nasionalis-religius. 

Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan elit politik terjadi konflik horisontal. Narasi-narasi politik SARA sudah beradu senjata sejak ratusan hari yang lalu di media sosial. 

Buzzer politik sudah siap siaga untuk menghadapi pesta demokrasi. Hal ini akan terus berlangsung dan menjadi pupuk yang subur untuk netizen apabila ada kepercayaan yang tinggi tanpa mengetahui kebenaran. Apabila semua itu terus tumbuh subur, kita tidak akan pernah melihat pertarungan gagasan/program kerja. 

Hal itu menjadi 'tidak penting' karena isu SARA menjadi nomor satu dalam pembicaraan politik bangsa ini. Karena itu, netizen perlu menghadapi para buzzer politik dengan lebih cerdas. Tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang memiliki banyak tendensi SARA ataupun pemberitaan tidak jelas asal-usulnya. 

Pilpres 2019 akan datang. Banyak yang berharap isu SARA bukan menjadi barometer pemilih untuk menentukan pilihannya. Sebab, pada umumnya, bangsa kita kaya akan perbedaan.

Siap-siap, media sosialmu akan gaduh kembali dibangdingkan dengan hari-hari biasanya!

  

Artikel ini telah tayang di Senjaksara

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus