Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di Desa Dukuh Penaban, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali, ada museum sederhana bernama Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban. Dari pusat Kota Denpasar, wisatawan hanya perlu menempuh jarak 68,8 km untuk dapat melihat ratusan catatan literasi dengan usia ratusan tahun dalam bentuk naskah lontar yang disimpan di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lontar pada umumnya merupakan daun yang berasal dari pohon tal atau enau. Masyarakat Bali zaman dulu biasa memanfaatkan daun itu menjadi bahan utama membuat naskah manuskrip. Sebelum digunakan untuk menyalin naskah, daun tal dikeringkan. Setelah kering, baru dapat digunakan untuk menulis, yang biasanya menggunakan aksara Bali, hingga menjadi catatan yang saat ini dikenal dengan sebutan lontar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan dibangunnya museum ini cukup menarik. I Nengah Suarya, penggagas dan inisiator Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, menjelaskan ihwal berdirinya museum tersebut. Saat awal ia menjabat sebagai bendesa (pemimpin) adat, ada satu persoalan dari tahun ke tahun yang terjadi di Desa Dukuh Penaban, terutama generasi muda yang berlomba-lomba merantau ke luar daerah karena faktor ekonomi.
Sementara itu, Desa Dukuh Penaban sendiri memerlukan regenerasi untuk melestarikan warisan tradisi, budaya, dan kearifan lokal seperti lontar. Karena itu, ada dorongan kuat bagi Suarya untuk membangun satu tempat dalam upaya pelestarian lontar agar keberadaannya tidak punah ditelan zaman.
Suasana Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban di Kabupaten Karangasem, Bali. ANTARA/Ni Komang Desiantari
Fakta di masyarakat Desa Penaban banyak yang mempunyai lontar tetapi generasi penerusnya terputus karena rata-rata enggan membuka lontar dan tidak bisa membaca lontar. Kalaupun dilakukan, hanya sebatas dilakukan pada upacara untuk merawat lontar itu. Suarya dan tetua masyarakat lain percaya lontar merupakan catatan dari masa lalu dan yang pasti berisi catatan penting.
"Karena itu, semakin kuat tekad kami untuk membangun museum lontar ini dengan harapan sedikit tidaknya nanti lontar di sini lebih diperhatikan dan dijaga," tutur Suarya.
Kekhawatiran Suarya pada saat itu berbuah manis. Titik awal berdirinya museum ini merupakan hasil dari bentuk kerja sama ia dan rekannya Dewa yang merupakan pelestari lontar. Pada April 2017, masyarakat mulai mendeklarasikan istilah desa wisata untuk Desa Dukuh Penaban dengan museum lontar sebagai ikon.
Kemudian pada Agustus 2017, masyarakat desa mulai melakukan penataan bangunan. Perjalanan pembangunan museum ini murni dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat adat setempat dan didanai penuh oleh sistem donasi dari berbagai pihak.
Bayar seikhlasnya
Museum ini memiliki keterikatan yang kuat dengan desa wisata yang menjunjung tinggi warisan budaya dan kearifan lokal. Tidak hanya lontar, berbagai tradisi, mulai dari tarian sakral, ritual, dan kuliner lawar daun jepun, menjadi perhatian dari pelestarian kekayaan Desa Dukuh Penaban. Semua kekayaan budaya itu dijadikan modal untuk menjadi desa wisata.
Museum itu, saat ini dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa dengan memberdayakan sumber daya manusia (SDM) dari masyarakat Dukuh Penaban itu sendiri. Sementara dari sisi Sapta Pesona wisata, yakni tujuh unsur yang ada pada setiap produk wisata dan digunakan sebagai tolok ukur peningkatan kualitas pariwisata yang mengacu pada keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan, merupakan tanggung jawab penuh dari kelompok sadar wisata (pokdarwis) desa.
Untuk memasuki kawasan museum ini wisatawan hanya perlu berdonasi seikhlasnya di kotak yang sudah disediakan. Wisatawan yang datang ke museum kebanyakan tamu mancanegara yang ingin belajar budaya asli Bali. Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Dukuh Penaban sekaligus Ketua Forkom Wisata Kabupaten Karangasem, Nengah Sudana Wiryawan, mengungkapkan hasil donasi dari pengunjung digunakan untuk perawatan bangunan dan koleksi dari museum dan wisata edukasi ini.
Pilihan Editor: Belajar Peduli Lingkungan di Kampung Edukasi Sampah