Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH bingkisan dipersembahkan oleh Mahkamah Agung menjelang perayaan tujuh belasan. Bukan hal yang menyenangkan. Kado yang berisi fatwa ini justru membuat banyak pihak kelabakan dan kebingungan. Ini menyangkut kasus dana cessie (pengalihan hak tagih) Bank Bali yang jadi rebutan Bank Permata dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tak tanggung-tanggung, persoalan ini juga melibatkan Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dalam suratnya pada awal Agustus lalu, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyerahkan eksekusi terhadap dana senilai Rp 546,5 miliar itu kepada kejaksaan. Fatwa ini buat menanggapi pertanyaan BPPN yang dikirim ke Mahkamah dua bulan lalu.
Jawaban Mahkamah Agung yang terkesan membela kejaksaan itu didasarkan pada vonis Joko S. Tjandra yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam keputusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, pemilik Era Giat Prima itu dibebaskan dari tuduhan korupsi dalam kasus Bank Bali. Vonis bebas ini kemudian diperkuat Mahkamah Agung dalam proses kasasi. Atas dasar itu pula, jaksa yang menjadi eksekutor kasus ini, Antasari Azhar, yakin bahwa duit tersebut menjadi hak Era Giat.
Semua itu merupakan buntut dari kasus Bank Bali yang meletup pada era Presiden Habibie. Kasus ini bermula dari gagalnya pemilik Bank Bali, Rudy Ramli, mendapatkan klaim tagihan antarbank kepada Bank Umum Nasional (BUN) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Karena kedua bank ini ditutup pemerintah, tagihan itu dialamatkan kepada BPPN. Berkali-kali BPPN menyatakan tagihan itu tidak layak dibayar (ineligible). Rudy kemudian mengalihkan hak tagih tersebut kepada Era Giat Prima milik Joko S. Tjandra dan Setya Novanto. Bak sulap, begitu hak tagih berpindah, duit tersebut cair pada Juni 1999 sebesar Rp 904 miliar. Separuhnya (Rp 546,5 miliar) menjadi hak Era Giat.
Ketika itu santer diberitakan bahwa cairnya dana tersebut berkat pertemuan di Hotel Mulia pada Februari 1999 yang dihadiri Firman Sutjahja (Wakil Direktur Bank Bali), A.A. Baramuli (Ketua DPA), Tanri Abeng (Menteri Negara Pendayagunaan BUMN), Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Ketua BPPN), dan Setya Novanto (pemilik Era Giat dan juga Wakil Bendahara Golkar). Tapi, Era Giat tak sempat menikmati dana tersebut karena pada Oktober 1999 Ketua BPPN ketika itu, Glenn Yusuf, membatalkan cessie tersebut. Dana tersebut kemudian dipakai BPPN untuk merekap Bank Bali. Dua bulan sebelumnya, Joko cs. menjadi tersangka kasus korupsi Bank Bali.
Kasus ini mulai berbalik setahun kemudian. Joko dinyatakan bebas, begitu pula Pande Lubis. Syahril Sabirin sempat divonis penjara tiga tahun, tapi kemudian dibebaskan oleh pengadilan tinggi. Joko bahkan sudah mendapatkan vonis bebas dari MA pada Juni 2001 silam.
Selain itu, pihak Era Giat juga mengajukan surat gugatan lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal keputusan pembatalan cessie yang dikeluarkan Ketua BPPN. Awalnya, Era Giat memang. Tapi vonis itu dianulir oleh MA. Tahun lalu Mahkamah memutus bahwa PTUN tidak berhak mengadili perkara tersebut. Menurut lembaga ini, yang berwenang memutuskannya adalah peradilan perdata.
Di mata BPPN, putusan MA tersebut mendua. Dalam perkara gugatan Era Giat lewat PTUN, Mahkamah terkesan "membela" BPPN. Tapi, pada vonis sebelumnya dalam kasus Joko Tjandra, tampak bersikap sebaliknya. Karena kebingungan, terutama menyangkut nasib dana cessie, BPPN meminta fatwa kepada MA. Hasilnya, ya itu tadi, justru membuat BPPN dalam posisi sulit.
Kesulitan yang sama dialami oleh Bank Permata. Soalnya, Juni lalu Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mulai mengirim surat kepada direksi bank pemerintah ini. Mereka diminta menyerahkan barang bukti berupa dana Rp 546,5 miliar tersebut yang telanjur dipakai. Dana itu akan ditempatkan kembali di escrow account (rekening penampungan) sebelum diserahkan kepada yang berhak.
Seperti yang dilakukan oleh BPPN, direksi Bank Permata pun meminta fatwa MA. Jawaban Mahkamah yang keluar 25 Juni lalu sama dengan yang diberikan kepada BPPN belakangan ini. Intinya, MA menyatakan pihaknya tidak dapat ikut campur tangan atas eksekusi kejaksaan terhadap dana tersebut.
Fatwa-fatwa Mahkamah Agung itulah yang kini menyusahkan pemerintah. Jika Jaksa Antasari jadi menarik dana tersebut, Bank Permata yang bakal jadi korban. Memang, sejauh ini sudah ada pernyataan dari manajemen Bank Permata bahwa penarikan dana tersebut tidak akan mempengaruhi permodalan bank karena mereka memiliki surplus likuiditas sampai Rp 3 triliun. Tapi, banyak pihak yang yakin bahwa pemerintah tetap harus melakukan penambahan modal (rekapitalisasi) sebesar dana yang ditarik. Mau tidak mau, pemerintah akan mengambil dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dan pemerintah akan menanggung beban bunganya dalam beberapa tahun ke depan.
Jaksa Antasari bukannya tak memahami dampak penarikan tersebut. Itu sebabnya kejaksaan belum akan mengeksekusi karena dana tersebut masih dipakai BPPN untuk menyehatkan Bank Permata. Kejaksaan juga tahu persis bahwa kalau sekarang dana itu ditarik, Bank Permata bisa kolaps. Namun, katanya, kejaksaan terikat pada Pasal 270 KUHAP yang mengamanatkan agar jaksa segera mengeksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. "Kita akan memberi waktu kepada BPPN dan Bank Permata dalam beberapa bulan ke depan," kata Antasari, yang juga juru bicara Kejaksaan Agung.
Sejauh ini, pemerintah masih berkukuh untuk tidak menyerahkan dana tersebut. Sumber TEMPO di BPPN menegaskan, kejaksaan tidak bisa begitu saja mengeksekusi dana tersebut karena belum semua vonis terdakwa dalam kasus korupsi Bank Bali berkekuatan hukum tetap. Bahkan masih ada empat tersangka yang sampai sekarang belum disidang, yakni A.A. Baramuli, Tanri Abeng, Erman Munzier, dan pemilik Era Giat yang juga Wakil Bendahara Golkar, Setya Novanto. "Bagaimana kita mau menyerahkan dana itu kalau belum semua tersangkanya divonis," kata sumber tersebut.
Sumber TEMPO tadi juga mengutip Undang-Undang Pokok Kejaksaan untuk memperkuat pendapatnya. Berdasarkan Pasal 27 Ayat 1 undang-undang tersebut, katanya, eksekusi yang dilakukan kejaksaan haruslah melihat kondisi masyarakat yang ada. "Dalam kasus ini, tentu saja kondisi masyarakat tak menyetujui adanya eksekusi tersebut," katanya.
Selain itu, dengan pembatalan cessie yang dilakukan Glenn Yusuf, sebetulnya Era Giat tak punya hak atas dana tersebut. Dasar hukum yang dipakai Ketua BPPN saat itu cukup kuat, yakni Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999. Karena itu pula, menurut kuasa hukum Bank Permata, Luhut M.P. Pangaribuan, soal cessie sudah tidak relevan lagi dipersoalkan karena sudah dibatalkan oleh BPPN, termasuk rekening penampungan. "Escrow account otomatis tidak eksis lagi begitu cessie dibatalkan," katanya.
Reaksi pemerintah? Terkesan mengambang. Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, menyatakan bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri minta agar Permata diselamatkan. Tapi dia juga menawarkan berbagai solusi jika duit itu benar-benar ditarik, antara lain lewat program rekapitalisasi atau dengan mengundang investor masuk.
Yang mengherankan, ribut-ribut soal dana cessie ini baru terjadi sekarang ketika pemilu kian mendekat. Padahal sudah sejak dua tahun silam Joko divonis bebas oleh Mahkamah Agung. Karena itu, ada dugaan, jika dana itu bisa dieksekusi akan menjadi bancakan politik yang legit. Hanya, buru-buru Antasari tegas membantahnya, "Ini betul inisiatif kejaksaan."
Persoalan ini sebetulnya tidak akan meruncing jika kejaksaan mau sedikit bersabar. Soalnya, Era Giat Prima sudah melakukan gugatan terhadap BPPN. Era Giat menuduh dokter perbankan ini melakukan wanprestasi karena membatalkan cessie. Dengan pembatalan ini, hak Era Giat langsung hilang. "Vonis kasus perdata ini penting karena hasilnya akan menentukan siapa sebetulnya yang berhak mendapatkan uang tersebut," kata Wakil Presiden Direktur Permata, Chandra Purnama.
Lagi pula, cara itu persis seperti yang dianjurkan oleh Mahkamah: menyelesaikan lewat jalur perdata. Jadi, sebaiknya tunggu saja siapa yang akan menang berpacu di jalur ini.
M. Taufiqurohman, Endri Kurniawati, Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo