Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Sejarah Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia yang Sempat Dilarang saat Orde Baru

Saat Orde Baru, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan, dan baru kembali dibolehkan pada masa Gus Dur.

29 Januari 2025 | 16.52 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga keturunan Tionghoa melaksanakan sembahyang Tahun Baru Imlek 2576/2025 di Wihara Dhanagun, Kota Bogor, 29 Januari 2025.Tempo/Amston Probel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tahun Baru Imlek dirayakan meriah detiap tahun di Indonesia. Perayaan ini tidak bisa dipisahkan dari kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara. Melansir dari laman Indonesia.go.id pada abad ke-5, tepatnya 412, Fa Hsein berlayar dari Sri Lanka. Tapi, kapalnya terombang-ambing dan mengantarkannya ke Pulau Jawa. Dia lantas mengirim laporan bahwa terdapat kerajaan di Jawa. Kerajaan-kerajaan yang terus berkembang membuat masyarakat Cina berdatangan untuk kepentingan dagang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal tahun 1400-an banyak etnis Tionghoa yang singgah di Indonesia karena meningkatnya kebutuhan rempah-rempah dari Maluku di Laut Tengah. Perdagangan tersebut berlangsung dari 1570-1630. Selanjutnya perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari segregasi dan kooptasi untuk menekan posisi etnis Tionghoa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat masa penjajahan kolonial Belanda, Imlek dilarang untuk dirayakan karena ada kekhawatiran pemerintah perayaan ini dapat menyulut kerusuhan antar-etnis. Berbeda dengan kebijakan Belanda, Jepang justru memberi izin untuk merayakan Imlek dan sampai ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Zaman Awal Kemerdekaan

Satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya 1946, Presiden Pertama RI Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.2/OEM-1946 tentang hari raya umat beragama. Dalam kebijakan tersebut, perayaan Imlek dan hari raya keagamaan Tionghoa lainnya diakui secara nasional. Secara khusus disebutkan bahwa Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Konghucu, Ceng Beng, dan hari lahirnya Konghucu adalah hari raya agama Tionghoa.

Di era pemerintahan Sukarno, etnis Tionghoa diberi kebebasan yang setara dengan masyarakat asli Indonesia. Selain diberi ruang berekspresi dan kebebasan beragama, masyarakat asal Tionghoa diperbolehkan untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam dunia politik.  Namun, kebebasan tersebut hilang saat Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia.

Perayaan Imlek Dilarang 

Masa orde baru saat Indonesia dipimpin oleh Soeharto, semua yang berkaitan dengan Cina dilarang dirayakan dalam ruang publik. Pada 1967, presiden kedua itu membuat Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Aturan itu membuat Imlek beserta hari keagamaan lain yang sudah ditetapkan Soekarno dilarang diperingati. 

Inpres tersebut masih memperbolehkan perayaan keagamaan dilakukan, dengan syarat tidak mencolok dan dalam ranah pribadi. Berdasarkan buku yang dikeluarkan Data Tempo dengan judul Imlek dan Budaya Cina di Indonesia praktiknya aparat masih ada yang melarang dan sama sekali tidak diizinkan digelar. Beberapa ada yang diizinkan, tapi tidak boleh ada huruf Mandarin, tidak membakar hio, dan liong atau naga hanya boleh disimpan dalam ruangan.

Lebih lanjut, Departemen Penerangan melarang penayangan orang yang sedang sembahyang di klenteng, pertunjukan barongsai, dan penggunaan bahasa Cina tidak boleh ditayangkan. Bentuk penekanan terus dilakukan Soeharto dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 yang berisi lima agama diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. 

Imlek Kembali Dirayakan

Presiden keempat, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres No.14 tahun 1967 lewat Keputusan Presiden No.6 Tahun 2000 tentang Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu. Keppres itu memberikan kebebasan untuk etnis Tionghoa memeluk agama Konghucu dan perayaan keagamaan bisa dilakukan secara terbuka. Peraturan tersebut dilatarbelakangi oleh nilai yang dipegang Gus Dur yaitu kebebasan budaya, memilih agama, toleransi, dan antirasisme.

Kemudian, Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur khusus bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia melalui Keppres No.19 Tahun 2001. Perayaan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Megawati lewat Keppres No.9 Tahun 2002. Hingga saat ini, Imlek bisa dirayakan etnis Tionghoa dan beberapa budayanya juga ikut diramaikan masyarakat Indonesia.

NIA NUR FADILLAH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus