Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Raja Ampat merupakan sebuah destinasi wisata di Papua yang terkenal hingga mancanegara. Sebagian orang mungkin hanya tahu keindahan alam di sana tanpa mengenal bagaimana sejarah dan mitos yang tumbuh di masyarakat Raja Ampat, Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan masyarakat Raja Ampat percaya wilayah itu pada mulanya dikuasai oleh para raja. "Masyarakat percaya asal usul Raja Ampat bermula dari pasangan suami istri Alyab dan Boki Deni," kata Hari Suroto dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Sabtu 7 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada satu waktu, mereka menemukan tujuh butir telur di pinggir Sungai Wawage atau Kali Raja, yang sekarang masuk wilayah Kampung Wawiyai, Distrik Tiplol Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat. Alyab kemudian hendak memakan telur-telur tersebut, namun dicegah oleh istrinya.
Butir-butir telur tersebut lantas dibawa pulang ke rumah dan disimpan. Beberapa hari berlalu, lima dari tujuh telur itu menetas menjadi manusia. "Empat laki-laki dan dua perempuan," kata Hari Suroto. Satu telur lagi, menurut dia, tidak menetas, melainkan berubah menjadi batu.
Batu telur ini masih dapat dijumpai di Situs Kali Raja. Telur yang menjadi batu itu tersimpan dalam bangunan kecil. Telur berwarna putih tersebut dibalut kain berwarna putih dan ditutup sebuah kelambu putih.
Bangunan pelindung telur raja di Raja Ampat, Papua. Dok. Balai Arkeologi Papua
Mari kita simak apa yang terjadi pada telur-telur yang menetas menjadi manusia tadi. Telur yang menetas pertama atau anak sulung bernama Giwar, anak kedua adalah Tusan, anak ketiga Mustari, anak keempat adalah perempuan bernama Kilimuri, anak kelima Sem, dan anak keenam Pin Tike adalah perempuan.
Mereka hidup bersama-sama di Kali Raja. Hingga pada satu ketika mereka bertengkar hingga berpisah. Anak pertama Giwar tetap tinggal di Kali Raja dan menjadi Raja Waigeo. Anak kedua Tusan menguasai wilayah Salawati, anak ketiga Mustari menguasai Pulau Misool. Kilimuri memisahkan diri ke Pulau Seram.
Setiap anak yang menguasai kawasan tertentu dan bergelar fun. Maka sebutan mereka adalah fun Giwar, fun Tusan, fun Mustari, dan seterusnya. Anak kelima fun Sem kemudian menjelma menjadi roh atau mahluk halus. Sebab itu, tak diketahui di mana tempat tinggalnya.
Menurut mitos yang dipercaya masyarakat, kata Hari Suroto, Pin Tike hamil tanpa suami. Peristiwa itu menyebabkan saudara-saudaranya malu. Karena itu, dia dihanyutkan oleh saudara-saudaranya ke laut. Beberapa waktu kemudian Pin Tike terdampar di Pulau Numfor dan bertemu dengan Manar Maker, seorang tokoh mitos masyarakat Biak -Numfor.
Tak berapa lama, lahirlah anak Pin Tike berjenis kelamin laki-laki dan diberi nama Gurabesi atau Kurabesi. Ketika dewasa, Kurabesi kembali ke Kali Raja dan bertemu pamannya fun Giwar. Gurabesi dan anak Giwar yang bernama Mereksopen, membantu Raja Tidore berperang melawan Raja Ternate.
Sebagai hadiah kepada Kurabesi atas kemenangan melawan Ternate, dia dinikahkan dengan putri Sultan Tidore, Boki Taiba. Kurabesi dan istrinya kemudian menetap di Kali Raja, Raja Ampat sampai akhir hidupnya.