Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jika ingin tahu seperti apa Dubai di masa lalu, datanglah ke Al Shindagha Museum di Bur Dubai. Al Shindaga Museum merupakan kota kuno di tepi Dubai Creek dengan rumah-rumah zaman dulu yang kini banyak difungsikan sebagai museum. Ini bukan sekadar kumpulan bangunan fisik, tetapi juga warisan budaya Emirati, sebutan untuk warga lokal Dubai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara banyak rumah di Al Shindagha Museum, Al Maktoum Residence adalah yang terbesar. Rumah ini dulunya merupakan tempat tinggal Sheikh Saeed bin Maktoum Al Maktoum, penguasa yang dianggap orang paling berjasa membangun Dubai. Al Maktoum tinggal di sini dari 1898 hingga menjelang wafat pada 1958. Rumah ini juga pernah ditinggali tiga penguasa Dubai lain setelahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo bersama dengan empat jurnalis dari Indonesia berkunjung ke rumah itu pada Maret lalu atas undangan Department of Economy and Tourism of Dubai. Seorang pemandu Emirati, Bdoor, menemani kami berkeliling sambil menceritakan kisah rumah ini di masa lalu.
Al Shindagha Museum. TEMPO/Mila Novita
Rumah berwarna krem itu menghadap Dubai Creek, dengan area lapang di depannya. Kami memasuki rumah itu lewat pintu kayu berukuran tinggi sekitar dua meter dan lebar 1,5 meter. Begitu masuk, kami dihadapkan dengan ruangan dengan tempat duduk beton yang menempel sepanjang dinding.
"Tempat duduk ini dulu digunakan untuk warga yang ingin bertemu Syeikh Al Maktoum," kata Bdoor. Ini tidak mengejutkan karena selain tempat tinggal, rumah ini juga menjadi pusat administrasi kota.
Masuk lebih dalam melewati lapisan tembok unik yang terbuat dari campuran karang dan pasir, terdapat area lapang lainnya yang di tengah-tengah. Dulu tempat ini menjadi area berkumpul keluarga dengan pohon. Namun, kini area lapang ini telah dipasangi keramik dengan beberapa area dibiarkan berpasir.
Bangunan Bergaya Arab
Bangunan ini mengadpsi gaya arsitektur Arab klasik, dengan empat menara angin di setiap sudutnya. Rumah ini menghadap ke Makkah, yang menunjukkan komitmen terhadap agama. Kamar-kamar di lantai dua memiliki jendela yang menghadap sungai.
Pintu-pintu terbuat dari kayu jati yang diukir dan dicat cokelat tua. Satu hal yang menarik perhatian kami, pintu-pintu ini sangat rendah sehingga harus menunduk ketika melewatinya.
Area terbuka di dalam Al Maktoum Residence di Al Shindagha Museum, Dubai. TEMPO/Mila Novita
"Ini sengaja dibuat rendah supaya ketika ada laki-laki yang masuk, dia menunduk. Jadi, kalau ada perempuan yang belum mengenakan hijab, dia masih sempat masuk untuk mengambil penutup kepala sebelum laki-laki itu melihatnya," kata Bdoor.
Di dalam rumah ini terdapat koleksi foto-foto Dubai sebelum zaman minyak bumi ditemukan, ada pasar, sungai, dan perayaan budaya. Kehidupan Dubai pada masa lalu berpusat di sungai ini, dengan dua area Deira dan Bur Dubai yang dipenuhi dengan pasar-pasar yang dulunya menjadi pusat perdagangan Dubai. Kini pasar-pasar itu masih ada, pedagangnya berasal dari berbagai negara.
Di sini juga terdapat sejarah keluarga Al Maktoum yang berasal dari suku Bani Yas, salah satu suku terbesar di Uni Emirat Arab. Keluarga ini sudah memimpin Dubai sejak 1833.