Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Sepi di setiap kota

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELESUAN juga menjalari tempat-tempat hiburan di luar Jakarta. Berikut ini beberapa cuplikan laporan koresponden dan pembantu TEMPO di daerah. Banjarmasin. Di sini resminya cuma ada 1 klab malam. Diamond namanya. Tapi klub malam Imperial yang telah tutup karena bangkrut, muncul lagi sebagai disko dengan nama Blue Sixteen. Dan dengan 12 hostes, band dan dansinya Blue Sixteen sama sebangun dengan klab malam. Walikota Kodya Banjarmasin sendiri setuju saja tambah satu klab malam lagi. Maka ia membiarkan BS jalan terus, sementara menunggu keputusan Gubernur. Tapi orang-oraln yang baru pulang dari Banjarmasin mengendus adanya usaha menghalangi hajat BS. Ini bisa dimaklumi. Karena tentunya jumlah tanam yang semakin merosot dibanding tahun 1973 - 74, lebih menguntungkan bila tak terbagi. (lihat TEMPO 7 Pebruari 1976). Samarinda. Dulunya ada 3 klab malam di sini. Bidadari Mahakam, Maranthy Counter Club (MCC) dan Lamim Indah. Bidadari Mahakam mati lebih dulu, disusul kemudian awal tahun lalu oleh MCC. Lamin Indah masih bernafas karena punya induk hotel bernama serupa. Dan hotel bekas Gedung Pemda Kaltim hadiah PT Kayan River Timber Product itu kabarnya akan bergabung dengan grup Hotel Indonesia. Dan Letjen Suryo Dirut PT HII sudah terbang ke sana menjajagi perluasannya dan menganggapnya, "punya prospek baik". Adapun mendiang MCC di masa jayanya tahun 1973, dengan 40 hostes dan 30 karyawan, berpenghasilan Rp 5 juta tiap bulannya. Namun waktu dunia perkayuan merosot 6 bulan menjelang matinya, MCC justru selalu setiap bulannya Rp 300 ribu ditomboki Harmain Okol, pejabat teras Bappeda Kalim yang jadi direksinya. Kini tempat hiburan yang tengah menanjak, seperti di kota-kota lain juga ialah bilyar. Bila di bulan April tahun kemarin baru 16 meja di ujung tahunnya sudah 43 meja. Sementara permintaan terus berdatangan ke meja Walikota Kadrie UNing. Ini mengihami M. Sarwanie Ramlie BSc, Kepala Dinas dan Pendapatan Daerah Samarinda, untuk menaikkan pajaknya dari Rp 15 ribu per meja jadi -- mungkin Rp 25 ribu. BaIikpapan. Ada 3 klab malam di sini. Sweet Sixteen (SS) Blue Sky dan Balikpapan Hotel milik Pemda Kaltim. Kota yang lebih internasional dari ibu kota Kaltim Samarinda sendiri ini, tampaknya dinilai Harmain lebih memungkinkan buat usaha hiburan malam". Tapi justru Walikotanya H. Asnawie Arbain berpendapat sebaliknya. Yaitu bahwa Balikpapan harus bebas hostes mulai awal Maret nanti. Maka sejak sekarang para pengusahanya diminta siap memadamkan lampu-lampu yang sudah remang-remang itu. Dan 300 hostes asal Jawa dan Menado harap dipulangkan. Belum ada reaksi berkeberatan atau minta dikasihani. Kecuali mingguan sampe yang cenderung membela hostes. Tapi dibalas IM Ngebe pensiunan Isnpektorat Daerah yang menulis surat kepada Walikota, "tindak terus orang-orang yang mencoba mentolerir praktek-praktek Orde Lama". Medan. Yang tampaknya masih bertahan di sini sebagai klab malam ialah Tropicana Bali Plaza dan Copacabana (milik jutawan TD Pardede), setelah Sky Club lama tutup. Klab malam Tropicana dan Bali Plaza merangkap bar. Sedang Copacabana awal Januari lalu buka acara disko (setiap malam Minggu) dan mandi uap. Ada juga Bar Sombreto dengan dansa-dansinya. Bar Hotel Danau Toba, Blue Ocean, Diamond Bar. The Amathyst di Terminal Pelabuhan Belawan dan klab dansa di Jalan Pemuda/Pandu Situasi dan lokasinya dapat dikatakan baik. Begitu juga peralatan dan fasilitasnya. Kebanyakan asal Singapura berkat keringanan Bea Cukai dengan alasan demi memajukan " Demi pariwisata" memang alasan tempat- tempat hiburan itu bermunculan. Apalagi mengingat Medan, kota persinggahan para turis mancanegara dari HongKong, Singapura dan Malaysia. Hingga tempo hari, ketika gencarnya reaksi masyarakat yang menolak kehadiran klab malam dan tempat-tempat hiburan serupa, banyak di antara pengusahanya repot cari backing. Kalau tidak sang pejabat, tentu isterinya tukang gunting pita peresmian. Tahun 1970-1973 adalah masa-masa keemasan di Medan. Setelah itu sampai sekarang, menurut R. Tumpal Hutauruk (32 tahun), seorang pengawas klab malam, "tak ada kemajuan, dan cuma dipertahankan asal tak tutup dan ini bisa terus dipegang". Biang sebab kemerosotan klab malam, antara lain reaksi masyarakat sendiri (mula-mula sengit kini kelihatan padam) dan larangan hidup bermewah-mewah, yang belakangan muncul. Juga peristiwa tergerebegnya orang wakil DPRD Sumatera Utara yang kemudian dicopot partainya, membantu sepinya tempat-tempat hiburan semacam klab malam. Maklum tamu-tamu kebanyakan terdiri para pejabat yang dikenal bergaji minim. Padahal buat bisa masuk sedikitnya mesti menyediakan uang di kocek Rp 15.000. Dulu di Medan selain klab malam banyak Restoran Remang-Remang (R3), Ini, setelah dibasmi Gubernur Marah Halim, hijrah ke daerah Sanggul dan Tanjung Morawa. Meski masih sering kena gerebeg toh tetap hidup, bahkan masih menjalar ke Tebing Tinggi, Padang Sidempuan dan Gunung Tua, R3 memupuk suburnya pelacuran, sementara 300 hostes konon menyebarkan kebiasaan jadi "piaraan". Surabaya. Di sini kehidupan tempat hiburan malam sudah dikenal sejak zaman Belanda. Seperti Medan Club di Medan, di Surabaya dikenal Tabarin sejak zaman Belanda. Klab malam Blue "Sixteen sekarang ini berlokasi di bekas Tabarin yang dulunya tempat bersantai pelaut-pelaut dan pegawai onderneming Belanda. Tapi pertumbuhannya sekarang ini jadi ramai setelah hiruk pikuk di Jakarta. "Nite life di sini cuma menyontek Jakarta". kata Drs. Alie Prayitno, Humas Pemda Kotamadya Surabaya. Dimulai tahun 1971, dengan munculnya Miraca Sky Club di puncak Sarinah sana. Kemudian menyusul sampai jadi 8 buah. Laju itu pun terhenti karena distop SK Walikota yang muncul terlambat Januari 1973. Sebab konon tak kurang dari 20 pengusaha antri minta izin. Tapi seperti di Jakarta, di sana pun perkembangannya sama saja. Miraca misalnya, begitu ditinggal cukong pertamauya A. Wenas, lalu berganti 2 pengusaha lainnya, tahun 1974 mati. Ada yang mau meneruskan, tapi cuma tahan 3 bulan. Kini itu bekas Klab malam jadi gedung Batik Keris Indonesia. Yaitu kini masih bernafas cuma 4 klab malam. Diamond, LCC, Blue Sixteen dan Golden Star. Yang top Diamond, karena bergabung Casino dan restoran Mandarin. Ke 4 klab malam itu memeluk 196 hostes, berasal 40% luar Surabaya, sisanya dari dalam kota. Selain itu 5 bar & restoran sedikitnya memajang 40 hostes. Bagaimana prospeknya? "Masih dibutuhkan. Buat menunjang Surabaya sebagai kota dagang dan industri", ujar Ali Prayitno. Bandung. Bagaimana di sini? Seperti juga di kota-kota lain, kehidupan tempat hiburan berkisar di klab malam dan satu tempat mandi uap. Tambah 2 diskotik. Tentu juga bilyar ada. 26 tempat dengan 257 meja. "Buat Bandung sudah cukup", kata MA Rubini, Kepala Dinas Pariwisata Daerah. Dengan 300 hostes dan 900 karyawan (menurut KTP-nya asal Bandung semua) klab malam dan tempat mandi uap jumlahnya tak pernah bertambah sejak munculnya di tahun 1968. Tak kena berondongan protes karena "sebelum izin keluar diadakan perembukan dengan semua unsur pemerintahan dan masyarakat". Tapi perkembangannya pun dikungkung kelesuan, Tak maju, tapi tak ada yang bangkrut. Yang aneh perlu dicatat ialah hostes-hostes Bandung punya kartu identitas model KTP. Jadi Bandung tertutup buat hostes atau calon-calon dari luar. Takut tersaingi? Ujungpandang. Di sini bukan tanah subur bagi kehidupan tempat hiburan macam klab malam dan mandi uap. Pada kota ini kesohor sebagai kota yang selalu ingin meniru Jakarta dalam segala hal. Bahkan Walikotanya Haji Daeng Patompo sendiri sempat dijuluki Ali Sadikin ke-II. Di kota ini ada 6 kIab malam dan cuma sebuah tempat mandi uap. Bar-bar yang pada mulanya banyak tumbuh, gulung tikar atau kena penertiban Pemda Kota dan Kepolisian. Dan kini banyak yang beralih ke usaha bola sodok. Pengunjung-pengunjungnya kebanyakan tamu-tamu pemerintah daerah. Bahkan konon ada dana khusus untuk keperluan menjamu itu dari kas Balaikota. Tapi tak ada pejabat terpilih langsung dalam bisnis seperti ini. Karyawan kebanyakan bukan penduduk setempat. Tapi akhir-akhir ini kabarnya warga setempat ada juga terselip sebagai hostes. Dari 6 klab malam, yang dapat dikatakan tetap hidup hanya tiga. Yang paling menonjol 1, Sea View. Yang terakhir ini terkenal sebagai klab malam yang bersuasana amat gelap. Baru setelah ditegur, agak leblh terang. Tak aneh bila Sea View menonjol dan bisa bertahan. Karena pengusahanya adalah juga pemilik pengusaha beberapa hotel dan Kayangan. Sebuah tempat tamasya tenar -- selain letaknya menguntungkan dengan pemandangan lepas ke laut. juga atraksinya bisa berani sekali. Bahkan orang Jakarta bisa geleng-geleng kepala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus