Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Dari miss telanjang s/d miss cicih

3 tempat hiburan di dki jakarta yang menyodorkan cara & jenis tersendiri yaitu hayam wuruk theatre dengan strip teasenya, timung dengan pijit & mandi uapnya & miss cicih dengan sandiwara rakyatnya. (hb)

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA 3 tempat hiburan di DKI Jakarta yang menyodorkan cara dan jenis tersendiri. Tak akur dengan jenis lain,meski ada miripnya. Itulah Hayam Wuruk (HW) Theatre, Timung dan Miss Cicih. Dengan tarif masuk Rp 2500 sekarang (pernah Rp 500 dan Rp 1500) HW Theatre selama kl. 2 jam menyuguhkan aneka tari telanjang: striptease, unisex, adegan "Iesbian", nyanyi dan lawak. Apa yang bisa dinikmati tak beda dengan yang biasa disuguhkan di klab malam. Para artisnya kebanyakan juga sedang dikontrak di Klab Malam. Terkadang ada penari asal luar negeri yang berani bikin adegan telanjang bulat seperti yang terjadi Seniln malam 26 Januari lalu. Tampaknya sebagian masyarakat Ibukota sudah bisa menerima sex show macam di HW Theatre, yang semula dimaksudkan buat Singing Hall (Balai Nyanyi) itu. Meski kini pengunjung merosot jadi sekitar 2OO-an saja (tahun 1972-73 rata-rata 500-an). HW Theatre dengan jam-jam pertunjukan 19.30 dan 21.30 serta Mid-night Show Sabtu malam, tampak sudah mendapat langganan tetap. Tak sedikit juga pasangan-pasangan suami isteri muda dan tua. Dan kalau sedikitnya 6 atraksi disuguhkan, siapa yang tak tergiur dengan harga karcis cuma Rp. 2500? Lalu bagaimana itu Timung? Usaha jasa menurut steam bath ini, menurut Manjernya Haji Burhanudin adalah pelayanan kesehatan tradisi Kalimantan dengan pijat dan mandi uap. Bedanya dengan di mandi uap di sini memakai uap ramuan akar-akaran dan daun-daunan asal Kalimantan, dengan menggunakan alat pemanas kompor, Di Kalimantan sebelum orang memasuki perkawinan, mandi dan pijat timung merupakan keharusan yang nyaris mutlak." tutur Haji Burhanudin yang membuka usahanya di Kompleks Pendidikan Islam Darul Ma'arif. "Sebab dengan Timung badan kedua mempelai akan lebih segar dan harum. Dengan kamar 10 buah dan pelayan wanita 25 dan 3 laki, Timung yang berdiri sejak 1968, dengan tarif Rp. 2000 per jam kini menerima tamu sekiter 50-an. Meski sudah berdiri sejak belum ada Steam Bath, timung juga sejak 1971/72 harus dapat izin operasi sebagai kelompok Steam Bath. Di Miss Cicih pertunjukan sandiwara rakyat ini kontinyu diadakan di sebuah bangunan sederhana di daerah perkampungan Angke. Ini adalah pindahan dari Kramat Raya yang kini jadi Gedung Bengkel mobil Astra. Dengan pemain 22 KK atau sekitar 30 jiwa, rombongan sandiwara rakyat ini bertekad meneruskan cita-cita almarhumah seniwati Miss Cicih dan suaminya Sayid Abdullah Bafagih. Mereka itu adalah orangtua pemimpinnya sekarang Harun Bafagih. Bagaikan terpaut oleh ikatan keluarga ke 30 jiwa anak wayang itu, tak punya perbedaan kedudukan dalam rombongan. Honor paling rendah Rp 150 dan paling tinggi Rp.300 untuk sekali main. Rombongan ini mementaskan cerita-cerita Sunda dibangun 20 x 40 yang disewa dari Jawatan Kereta Api. Bila honornya terasa rendah, itu karena mereka memang sudah mendapat jamunan segala rupa (termasuk sekolah) buat keluarga-keluarga yang juga bertempat tinggal di bangunan tempat mereka bermain. Dengan tarif karcis kelas I Rp 150 (500-an bangku) dan kelas II Rp.100 (200-an) bangku dalam 2 pertunjukan setiap malamnya. Miss Cicih menghidangkan cerita-cerita yang dikarang sendiri oleh Harun Bafagih. Tema cerita berkisar kisah agama, roman rumah tangga dan sejarah, atau khayalan saja. 'Cerita Beranak Dalam Kubur pernah dipertunjukkan selama sebulan terus-menerus dengan 2 kali pertunjukan tiap malamnya", tutur Harun bin Sayid Abdullah Bafagih yang orang tuanya memang pemain sandiwara juga. Dan karena sukses itu lalu seri "Beranak diteruskan dengan Kembali dari Kublr, Dewasa dalam Kubur entah apa lagi nanti yang pakai "kubur". Dalam selebaran Dinas Pariwisata DKI, Miss Cicih dimasukkan juga sebagai obyek yang bisa dikunjungi turis. Tak aneh, karena penggemarnya sebenarnya ada juga dari kawasan Menteng. Itu ketika mereka masih di Kramat Raya. Tapi sejak pindah ke Angke, penggemarnya kebanyakan orang Sunda atau orang Banten (termasuk kiayinya) yang menganggap tontonan sandiwara tak haram, terutama bila cerita yang dipertunjukkan cerita-cerita agama seperti Firaun, Umar Ibnu Khatab, Sayidina Ali. Semuanya dipentaskan tanpa teks, tapi cukup dengan menuliskan siapa pemain dan apa perannya. Ada uluran tangan DKI buat membantu dengan memberi gedung dan peralatan lainnya. Tapi syaratnya dirasa berat, karena harus membubarkan diri dan melebur ke Yayasan dengan memasukkan inventaris milik pribadi Harun sendiri. "Saya akan bertahan seperti sekarang. Kalau rugi karena penonton merosot seperti sekarang-sekarang ini saya bisa jual sawah dan perhiasan", kata Harun Bafaqih menegaskan tekadnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus