ADA 3 tempat hiburan di DKI Jakarta yang menyodorkan cara dan
jenis tersendiri. Tak akur dengan jenis lain,meski ada
miripnya. Itulah Hayam Wuruk (HW) Theatre, Timung dan Miss
Cicih.
Dengan tarif masuk Rp 2500 sekarang (pernah Rp 500 dan Rp 1500)
HW Theatre selama kl. 2 jam menyuguhkan aneka tari telanjang:
striptease, unisex, adegan "Iesbian", nyanyi dan lawak. Apa
yang bisa dinikmati tak beda dengan yang biasa disuguhkan di
klab malam. Para artisnya kebanyakan juga sedang dikontrak di
Klab Malam. Terkadang ada penari asal luar negeri yang berani
bikin adegan telanjang bulat seperti yang terjadi Seniln malam
26 Januari lalu.
Tampaknya sebagian masyarakat Ibukota sudah bisa menerima sex
show macam di HW Theatre, yang semula dimaksudkan buat Singing
Hall (Balai Nyanyi) itu. Meski kini pengunjung merosot jadi
sekitar 2OO-an saja (tahun 1972-73 rata-rata 500-an). HW Theatre
dengan jam-jam pertunjukan 19.30 dan 21.30 serta Mid-night
Show Sabtu malam, tampak sudah mendapat langganan tetap. Tak
sedikit juga pasangan-pasangan suami isteri muda dan tua. Dan
kalau sedikitnya 6 atraksi disuguhkan, siapa yang tak tergiur
dengan harga karcis cuma Rp. 2500?
Lalu bagaimana itu Timung? Usaha jasa menurut steam bath ini,
menurut Manjernya Haji Burhanudin adalah pelayanan kesehatan
tradisi Kalimantan dengan pijat dan mandi uap. Bedanya dengan di
mandi uap di sini memakai uap ramuan akar-akaran dan
daun-daunan asal Kalimantan, dengan menggunakan alat pemanas
kompor, Di Kalimantan sebelum orang memasuki perkawinan, mandi
dan pijat timung merupakan keharusan yang nyaris mutlak." tutur
Haji Burhanudin yang membuka usahanya di Kompleks Pendidikan
Islam Darul Ma'arif. "Sebab dengan Timung badan kedua mempelai
akan lebih segar dan harum. Dengan kamar 10 buah dan pelayan
wanita 25 dan 3 laki, Timung yang berdiri sejak 1968, dengan
tarif Rp. 2000 per jam kini menerima tamu sekiter 50-an. Meski
sudah berdiri sejak belum ada Steam Bath, timung juga sejak
1971/72 harus dapat izin operasi sebagai kelompok Steam Bath.
Di Miss Cicih pertunjukan sandiwara rakyat ini
kontinyu diadakan di sebuah bangunan sederhana di daerah
perkampungan Angke. Ini adalah pindahan dari Kramat Raya yang
kini jadi Gedung Bengkel mobil Astra. Dengan pemain 22 KK atau
sekitar 30 jiwa, rombongan sandiwara rakyat ini bertekad
meneruskan cita-cita almarhumah seniwati Miss Cicih dan
suaminya Sayid Abdullah Bafagih. Mereka itu adalah orangtua
pemimpinnya sekarang Harun Bafagih. Bagaikan terpaut oleh
ikatan keluarga ke 30 jiwa anak wayang itu, tak punya perbedaan
kedudukan dalam rombongan. Honor paling rendah Rp 150 dan
paling tinggi Rp.300 untuk sekali main. Rombongan ini
mementaskan cerita-cerita Sunda dibangun 20 x 40 yang disewa
dari Jawatan Kereta Api. Bila honornya terasa rendah, itu
karena mereka memang sudah mendapat jamunan segala rupa
(termasuk sekolah) buat keluarga-keluarga yang juga bertempat
tinggal di bangunan tempat mereka bermain. Dengan tarif karcis
kelas I Rp 150 (500-an bangku) dan kelas II Rp.100 (200-an)
bangku dalam 2 pertunjukan setiap malamnya. Miss Cicih
menghidangkan cerita-cerita yang dikarang sendiri oleh Harun
Bafagih. Tema cerita berkisar kisah agama, roman rumah tangga
dan sejarah, atau khayalan saja. 'Cerita Beranak Dalam Kubur
pernah dipertunjukkan selama sebulan terus-menerus dengan 2 kali
pertunjukan tiap malamnya", tutur Harun bin Sayid Abdullah
Bafagih yang orang tuanya memang pemain sandiwara juga. Dan
karena sukses itu lalu seri "Beranak diteruskan dengan Kembali
dari Kublr, Dewasa dalam Kubur entah apa lagi nanti yang
pakai "kubur".
Dalam selebaran Dinas Pariwisata DKI, Miss Cicih dimasukkan juga
sebagai obyek yang bisa dikunjungi turis. Tak aneh, karena
penggemarnya sebenarnya ada juga dari kawasan Menteng. Itu
ketika mereka masih di Kramat Raya. Tapi sejak pindah ke Angke,
penggemarnya kebanyakan orang Sunda atau orang Banten (termasuk
kiayinya) yang menganggap tontonan sandiwara tak haram, terutama
bila cerita yang dipertunjukkan cerita-cerita agama seperti
Firaun, Umar Ibnu Khatab, Sayidina Ali. Semuanya dipentaskan
tanpa teks, tapi cukup dengan menuliskan siapa pemain dan apa
perannya. Ada uluran tangan DKI buat membantu dengan memberi
gedung dan peralatan lainnya. Tapi syaratnya dirasa berat,
karena harus membubarkan diri dan melebur ke Yayasan dengan
memasukkan inventaris milik pribadi Harun sendiri. "Saya akan
bertahan seperti sekarang. Kalau rugi karena penonton merosot
seperti sekarang-sekarang ini saya bisa jual sawah dan
perhiasan", kata Harun Bafaqih menegaskan tekadnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini