Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Suku Pemenggal Kepala di Taiwan

Suku Truku mengukur kedewasaan dengan memenggal kepala orang. Mereka tergusur karena tempat tinggalnya dijadikan taman nasional. Orang Truku kemudian membangun hotel di lembah bekas sukunya dulu tinggal untuk merawat tradisi.

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Taroko Village Hotel di lembah Central Mountain Range, Taiwan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari sudah lama tenggelam ketika seorang pria setengah baya berlari-lari ke lapangan. Di bawah cahaya lampu, ia berhenti, lalu mengacungkan golok di tangan kirinya. Ia mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Mandarin dengan suara keras, seperti sebuah perintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu muncul para bocah dan remaja, laki-laki dan perempuan, berlarian mendekat. Remaja laki-laki membawa tombak atau busur panah. Sedangkan para perempuan mencangking tampah. Tombak mereka acungkan. Panah pun ditarik. Tampah diayun-ayunkan. Semuanya bergerak mengikuti irama musik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini pertunjukan tari tradisional suku Truku (Taroko) yang disajikan di Taroko Village Hotel, Taiwan, awal Juli lalu. Mereka mempertontonkan keseharian suku Truku, puluhan tahun yang lalu. "Dulu kami hidup dengan berburu," kata kepala suku, Zheng Ming Gang, pria setengah baya yang membawa golok tadi.

Suku Truku merupakan satu dari 16 suku Aborigin-sebutan untuk suku pribumi-Taiwan. Mereka sudah tinggal di Pulau Taiwan sejak 8.000 tahun yang lalu, bersama suku Aborigin yang lain. Konon, Aborigin Taiwan berasal dari bangsa Austronesia, satu rumpun dengan orang Filipina, Malaysia, Madagaskar, Oseania, juga Indonesia.

Orang Truku tinggal di pegunungan di Desa Taroko, daerah Bruwan, Provinsi Hualien, Taiwan bagian timur. Sekitar 150 kilometer dari Taipei. Dalam bahasa suku Truku, "bruwan" berarti gema. "Karena area ini dikelilingi pegunungan, dengan efek gema yang hebat," kata Dadao, lelaki suku Truku. Sedangkan "taroko" berarti megah dan indah.

Kata Zheng, di hotel yang mereka dirikan inilah, dulu suku Truku tinggal. Tempatnya berupa lembah di kaki Central Mountain Range, pegunungan yang memisahkan Taiwan bagian timur dan barat. "Tapi kemudian disuruh pergi karena tempat ini menjadi taman nasional," ujarnya.

Suku Truku mulanya hidup tenteram di lembah pegunungan tersebut. Mereka berburu binatang, memasak babi liar, juga memenggal kepala orang. Lelaki dianggap sudah dewasa ketika bisa membawa pulang binatang hasil buruan, bahkan kepala orang dari suku lain. Keberanian itu kemudian salah satunya dirayakan dengan menato bagian wajah mereka. Makin banyak tatonya, makin tinggi kedudukannya.

Kapal-kapal imigran dari Cina kemudian mendarat di Pulau Taiwan pada 1400-an. Mereka lari lantaran tak tahan akan kondisi politik di tanah air. Gelombang imigran terus berdatangan, termasuk dari bangsa Han. Taiwan kemudian tak hanya ditinggali oleh orang Truku dan suku-suku pribumi lain, tapi juga bangsa Han, yang keturunannya kemudian menjadi populasi terbesar di Taiwan.

Setelah Perang Candu pecah pada 1840, penjajah dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jepang datang menjarah Taiwan. Taiwan ikut jatuh ke tangan Jepang setelah Dinasti Qing di Cina kalah dalam perang pada 1895. Jepang pun menginvasi wilayah yang didiami suku Truku.

Konflik pertama antara Jepang dan orang Truku terjadi setahun kemudian. Tentara Jepang yang datang melecehkan perempuan Truku menyulut amarah suku tersebut. "Para leluhur mendatangi pos tentara lalu memenggal 13 orang Jepang," kata Zheng.

Peristiwa itu dikenal sebagai Xincheng Incident. Xincheng adalah lokasi pemenggalan kepala tersebut, tak jauh dari pegunungan tempat tinggal orang Truku. Sejak saat itu, perselisihan terus berlanjut.

Konflik besar lain terjadi pada 1906, dikenal dengan sebutan Insiden Weili. Sebanyak 36 orang Jepang meninggal karena serangan orang Truku. Pertikaian terjadi lantaran orang Truku tak terima Jepang memonopoli perdagangan.

Gubernur jenderal dari Jepang yang bertugas di Taiwan kala itu, Sakuma Samata, yang ingin menguasai daerah pegunungan Hualien untuk mengeksploitasi sumber daya alam seperti mineral dan kayu, gemas akan perlawanan suku Truku. Pasukan ia kerahkan. "Karena hanya suku Truku yang tak menurut perintah mereka," ujarnya.

Sakuma Samata mengirimkan 20 ribu tentara untuk menundukkan Truku pada 1914. Penduduk Truku kala itu berkisar 8.000 orang. Dari jumlah tersebut, cuma 3.000 yang berangkat perang. Orang Truku mampu bertahan selama 74 hari di pegunungan, sampai akhirnya semua dibantai oleh tentara. "Semuanya gugur karena kalah jumlah," tutur Zheng.

Upaya Jepang melemahkan Truku berlanjut dengan memberikan arak dan memecah belah orang-orang di antara mereka. "Mereka juga meminta kami untuk menghentikan kebiasaan berburu dan menato wajah karena dianggap kurang berpendidikan," kata Dadao. Hanya sebagian kecil penduduk Truku yang melanjutkan warisan leluhur tersebut. Dadao tak mengikuti tradisi itu.

Jepang pergi setelah kalah dalam Perang Dunia II pada 1945. Pemerintah Taiwan kemudian menetapkan kawasan Taroko, yang mencakup lebih dari 92 ribu hektare, sebagai taman nasional pada 28 November l986 guna melindungi alam, peninggalan bersejarah, margasatwa; serta melestarikan sumber daya alam dan tempat penelitian.

Sebelum penetapan itu, orang Truku diminta pindah dari kawasan. Mereka tinggal di pinggir-pinggir pegunungan di sekitar taman nasional. "Pekerja di hotel ini semuanya orang Truku. Ada yang mesti berjalan kaki 1,5 jam, mendaki dua gunung untuk sampai ke sini," kata Zheng.

Mereka juga diminta untuk berhenti berburu di taman nasional. Orang-orang Truku diminta bekerja di pabrik, seperti orang Taiwan lain. Tapi, karena mereka tak pernah bekerja seperti itu, mereka sering mengalami kecelakaan kerja. Akhirnya mereka malas berangkat dan mulai meminum arak.

Kondisi mereka diperparah ketika angin topan alias thypoon muncul. Samudra Pasifik mengirim angin topan ke Pulau Taiwan hampir setiap tahun, biasanya sekitar Juli sampai Oktober. Rumah mereka yang terbuat dari kayu beterbangan. Mereka tak punya tempat tinggal, juga pekerjaan.

Para pengusaha nakal menawari mereka kembali membangun rumah. Barternya adalah anak perempuan mereka. Satu tingkat rumah diganti satu anak perempuan. Dua tingkat rumah, berarti menyerahkan dua anak perempuan.

Zheng, yang bukan asli Truku, gerah akan kondisi tersebut. Ia mengajukan izin ke pemerintah untuk mendirikan hotel di Taroko. Berdirilah Taroko Village Hotel di lembah Central Mountain Range yang mereka kelola itu sejak 15 tahun lalu. Ia menggandeng orang-orang suku Truku untuk mengelola penginapan tersebut. Mereka merogoh kocek NT$ 6 juta per tahun (sekitar Rp 2,72 miliar) untuk membayar sewa tanah.

Kamar-kamarnya berupa rumah panggung yang dibangun dari kayu, seperti rumah suku Truku, tapi dibuat lebih modern. Kunci kamarnya digantungi pahatan kayu berwujud pisau. "Dalam tradisi kami, sebelum tidur kami menggantungkannya di tembok, untuk mengusir sesuatu yang tidak baik," kata Zheng.

Di beberapa sudut halaman berdiri patung dari kayu yang dipahat kasar. Ada patung dua orang yang sedang memanggul babi, patung perempuan menggendong bayi, lelaki yang sedang memanah, dan pria yang membawa senjata. Untuk makan, mereka menyajikan daging babi liar, panggangan ubi, dan salad sayuran liar yang biasa dikonsumsi orang Truku. Bagi muslim, ada pilihan steak daging sapi atau iga domba bakar untuk makan malam.

Ketika malam datang, mereka mengadakan pertunjukan tari, musik, dan cerita tentang masyarakat suku mereka. "Kalau langitnya bagus, sajian terakhir kami adalah mengajak tamu tiduran di lapangan, menikmati bintang. Sayang, kali ini langit mendung," tutur Zheng.

Taman Nasional Taroko adalah salah satu destinasi wisata favorit di Taiwan, terletak di ngarai sepanjang 19 kilometer. Central Mountain Range, yang menjalar di daerah ini, berbeda dari tempat lain. Pegunungan di area Taroko berasal dari batu marmer yang terbentuk ribuan tahun lalu. Sungai Liwu yang mengalir pun berwarna kelabu sampai biru cerah, memuat mineral marmer dari gunung. Tempat ini juga menjadi sumber giok Taiwan. Dulu, pegunungan ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Pemerintah Taiwan mulai membangun jalan dengan menembus gunung marmer tersebut pada Juli 1956. Dari Taroko, jalannya membentang ke barat sepanjang 192 kilometer sampai ke Distrik Dongshi. Sekitar 5.000-6.000 pekerja membangun jalan ini setiap hari. Mereka membolongi marmer menggunakan peralatan tradisional dengan tangan. Pekerjaan ini selesai pada Mei 1960. Jalan yang dibangun tersebut menjadi salah satu jalan paling berbahaya di dunia. Sebab, jalannya sangat sempit-beberapa ruas hanya bisa dilintasi satu kendaraan-dan berliku menembus gunung.

Selama proses pengerjaan itu, 226 pekerja meninggal. Pemerintah membuatkan kuil Eternal Spring Shrine yang dibangun di atas air terjun kecil yang sangat bersih untuk mengenang mereka. Kuil dan air terjunnya bisa dinikmati dari kejauhan. Namun, bagi yang ingin melihat langsung dan berdoa, ada jalan setapak sejauh 3,4 kilometer yang melewati kuil itu.

Di taman nasional ini juga ada Yanzikou (Swallow Grotto), lorong di tepi jurang yang dibiarkan berpahat kasar. Dinamakan Swallow Grotto karena banyak burung walet sering terlihat di sini. Kotorannya masih terlihat di aspal di bawah langit-langit marmer yang bercelah. Namun, karena lokasi ini sering dikunjungi wisatawan, populasi walet berkurang banyak. "Sebagian besar dari mereka minggat," kata Chang Wei Lin, pemandu wisata yang mengantarkan kami ke sana.

NUR ALFIYAH


Ransel

- Dari Taipei

Bisa ditempuh menggunakan kereta dari Stasiun Taipei, turun di Stasiun Xincheng. Ada dua pilihan kereta: kereta cepat Puyuma yang memakan waktu sekitar dua jam seharga NT$ 403 (sekitar Rp 183 ribu) atau kereta lambat dengan waktu tempuh 2 jam 41 menit dengan harga NT$ 311 (sekitar Rp 141 ribu). Dilanjutkan naik bus 302 dari Stasiun Xincheng ke Taman Nasional Taroko. Harga tiket sehari NT$ 150 (sekitar Rp 68 ribu).

- Dari Hualien

Ada bus umum 1126, 1141, dan 1133 yang melewati Taroko dan bus 1133A yang khusus mengantar-jemput ke Taroko. Semuanya berangkat dari Stasiun Hualien.

Bus 1126, berangkat pukul 06.30

Bus 1141, berangkat pukul 08.40

Bus 1133, berangkat pukul 10.50 dan 13.50

Bus 1133A, datang setiap jam dari pukul 07.00 hingga sore hari 

Harga tiket bus untuk sehari: NT$ 250 (sekitar Rp 113 ribu)

Harga tiket untuk dua hari: NT$ 400 (sekitar Rp 181 ribu)

Sumber: The Poor Traveller, Taiwanese Secrets

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus