Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Tentang Sebuah Negeri di Awan

Parodi berita dan aktor-aktor yang mirip para Presiden Indonesia menjadi kekuatan News Dot Com. Kritis tapi tidak nyinyir. Pekan lalu, lima “Presiden Republik Mimpi” berkunjung ke Tempo. Inilah hasil perbincangan dengan mereka.

5 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMBAIAN tangan kanannya khas. Telapak yang menghadap ke depan diputar perlahan ke arah dalam, bukan sekadar digoyang-goyangkan. Seulas senyum terukir di bibir, begitu khusus sehingga membuat sang pemilik dijuluki The Smiling General. Wajahnya yang selama 32 tahun menghias media massa sudah dihafal masyarakat sampai detil terkecil: rambut putih keperakan, mata yang tinggal segaris jika tersenyum. Semua begitu akrab.

Yang tak lazim adalah gaya berjalannya yang normal. Tidak cekatan, tapi tidak tertatih-tatih. Gerakannya sama sekali tak sesuai dengan kabar gering si empunya tubuh. Maka, ketika sosok legendaris itu muncul di acara News Dot Com pada Ahad, 4 Februari lalu, puluhan penonton di studio terpana. Ratusan ribu pemirsa di rumah, mungkin jauh di atas itu, ternganga, ”Pak Harto mampir ke televisi?”

Tak mudah untuk menggelengkan kepala dan mengatakan, ”Tidak mungkin!” Sebab lelaki yang kemudian dipanggil ”Suharta” itu memiliki kemiripan yang mencengangkan jika dibandingkan dengan postur mantan penguasa Orde Baru itu.

”Sekali waktu pernah mobil saya hampir ditilang lalu saya buka jendela. Ternyata para polisi malah memberi hormat, meminta saya melanjutkan perjalanan” ujar Suharta, eh, Haji Burhan Uemuluk, 74 tahun, nama aslinya, seraya memamerkan senyumnya yang, sumpah mati, akan membuat siapa pun terkecoh.

Bukan hanya Suharta yang mengili-ngili rasa penasaran pemirsa. Pada acara yang ditayangkan Metro TV setiap Ahad menjelang tengah malam itu, hadir pula Gus Pur (diperankan dokter Handoyo) yang rajin menjala tawa pemirsa dengan celetukan ”Gitu aja kok repot?” atau ”Biarin!” Belum lagi Megakarti (Sukarti) yang sering mendadak bungkam seperti kendaraan tak sengaja terinjak pedal remnya, atau Habudi (Budi Setiawan) yang gemar memelototkan mata sambil melontarkan kata favorit yang sudah serupa mantra, ”techhh-nology.”

Jika Suharta, Gus Pur, Megakarti, dan Habudi tak selalu muncul di tayangan yang Ahad kemarin memasuki episode ke-29, maka yang tak pernah absen membuat keram perut penonton adalah duet penguasa News Dot Com: Si Butet Yogya (SBY, diperankan Butet Kertaradjasa) dan wakilnya Jarwo Kwat (JK, dimainkan oleh pelawak Jarwo).

Kombinasi figur-figur unik itu membuat reputasi News Dot Com terdengar sampai ke dunia internasional. Pertengahan Januari lalu, stasiun Arte France, kanal televisi yang dimiliki bersama oleh Prancis dan Jerman, menayangkan fitur sepanjang 26 menit bertajuk La television des Indonesiens dan mencuplik satu episode News Dot Com sebagai potret tayangan televisi mutakhir negeri ini. ”Konsep acara yang mencampurkan berita dan parodi satire untuk menggambarkan pergulatan masyarakat Indonesia dalam mematangkan demokrasi, sangat menarik untuk diperkenalkan kepada penonton Prancis dan Jerman,” ujar Solenn Honorine, produser acara.

l l l

Kau mainkan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan di mana kedamaian menjadi istananya …

PENGGEMAR musik Indonesia mengenal syair itu sebagai lagu ciptaan Katon Bagaskara. Tapi di News Dot Com, lagu yang dijadikan pembuka acara itu dinaikkan derajatnya menjadi ”lagu kebangsaan”, dan diumumkan langsung oleh Sekretaris Kabinet (Olga Lydia) atau Sekretaris Presiden (Anya Dwinov) sebagai pertanda bahwa Presiden Si Butet Yogya dan Wakil Presiden Jarwo Kwat akan memasuki ruangan.

Konsep pentas bincang (talk show) selama 90 menit itu lantas terbagi dalam empat segmen: komentar atas sebuah berita pada pekan sebelumnya, parodi masalah aktual, pentas bincang dengan tokoh masyarakat (seperti dengan Tri Mumpuni, tokoh pilihan Tempo 2006), sebelum dikunci dengan parodi berita koran, misalnya tren rambut poni 2007. Termasuk dengan menampilkan juru bicara presiden—ini yang sesungguhnya—Andi Mallarangeng. Semua segmen dipandu oleh ”penasihat komunikasi politik presiden” yang juga penggagas acara, Effendy Ghazali.

Idenya lahir dari keterkejutan Effendy—waktu itu masih mahasiswa magister ilmu komunikasi di Cornell—setelah membaca sebuah telaah yang dipublikasikan di Amerika Serikat. Bahwa minat penonton untuk mengetahui berita politik dari acara berita resmi di semua negara bagian anjlok 28-40 persen. Mereka memilih menyerap kabar politik dari tayangan-tayangan pentas bincang seperti Saturday Night Live atau Late Night Show. ”Tapi yang paling diminati adalah The Daily Show with Jon Stewart,” ujar doktor ilmu komunikasi dari Radbaud University, Nijmegen, Belanda, itu. Ia takjub melihat begitu prestisiusnya The Daily Show sampai senator yang ingin bertarung di bursa calon presiden memilih mengumumkan niatnya di acara itu ketimbang di sebuah acara resmi.

Tapi kecermatan akademis hanyalah separuh jiwa yang mengalir di lelaki berdarah Minang itu. Separuh jiwanya terisi bakat lain: k-o-m-e-d-i. Pada 1984, Effendy pernah menjadi juara lawak tingkat umum di Sumatera Barat. Dua faktor itulah yang membuat Effendy—kemudian ia menggandeng Iwel Wel, juara lawak tingkat umum Sumatera Barat 1989—untuk menggodok Republik BBM (Baru Bisa Mimpi), prototipe awal News Dot Com, yang muncul di Indosiar. Republik BBM menghadirkan pelawak Taufik Savalas sebagai peniru (impersonator) Presiden Yudhoyono, dan Ucup Kelik sebagai peniru Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sayang, bulan madu Effendy Ghazali dan Indosiar tak berlangsung lama, meski basis penonton loyal mulai terbentuk. Konon, para petinggi Indosiar agak gerah melihat gaya komedi yang belum lazim di sini sehingga kerja sama itu berantakan. Effendy dan kawan-kawan memilih hengkang ke Metro TV. Ada juga hikmahnya bagi penyempurnaan konsep Republik BBM. Taufik Savalas memilih tinggal di Indosiar, sementara Ucup Kelik ikut hijrah bersama Effendy. Belakangan, Ucup diganti oleh Jarwo, yang tampaknya berhasil menghidupkan peran seorang wakil presiden. Improvisasinya seperti tendangan lengkung David Beckham. Tak terduga, dan kerap menghasilkan ”gol”.

Humor cerdas, pilihan tema kontekstual, serta narasumber yang disaring selektif adalah resep yang membuat tayangan ini semakin gurih. Kritis tapi tidak nyinyir. ”Bahkan untuk stok impersonator tokoh-tokoh penting seperti menteri kabinet sudah hampir lengkap,” ujar Effendi menjamin.

Menteri Perhubungan Hatta Rajasa termasuk penonton setia acara ini. ”Saya pernah digambarkan tertidur di sebuah dengar pendapat di DPR. Tapi buat apa marah? Jelek-jelek begini saya pernah mengawal lahirnya reformasi,” ujar Hatta mengingatkan statusnya sebagai Ketua Fraksi Reformasi di DPR (1999-2000).

Namun, kritik terhadap acara sendiri tetap diperlukan. Dalam tiga episode terakhir, News Dot Com terlihat terlalu bersemangat mengkritik dominasi sebuah perusahaan yang menentukan rating acara televisi, perusahaan yang memberikan rating 1,7 untuk kemunculan Suharta—itu artinya ditonton tak sampai 700 ribu orang di 10 kota Indonesia yang menjadi ukuran. Ya, berulang-ulang mengkritik perusahaan tersebut membuat News Dot Com seperti kurang yakin dengan dirinya.

l l l

KINI marilah kita mengintip secuil kehidupan pribadi ”para presiden” itu. Adakah kemiripan wajah dan postur menjadi berkah bagi mereka? ”Nggak enak, malah jadi beban. Saya jadi malu ke pasar,” ujar Sukarti, 57 tahun, dengan nada dan warna suara yang, astaga, begitu mirip Megawati Soekarnoputri.

Bagi Sukarti yang sehari-hari mengelola usaha katering berlabel Dewi Fortuna, susah pergi ke pasar adalah bencana tersendiri. ”Setiap masuk pasar saya selalu di-uwel-uwel pedagang. Pernah di los daging, para pedagang mengelilingi sampai saya benar-benar ketakutan,” kata nenek 7 cucu itu polos. Lho, kok? ”Soalnya, mereka semua masih pegang pisau. Gede-gede lagi,” ujarnya serius.

Lain lagi kisah dokter Handoyo, 52 tahun, pemeran Gus Pur. Sejak ia muncul di News Dot Com, jumlah pasiennya di RS Harum Kalimalang, Jakarta Timur, melonjak drastis karena ”semua ingin diperiksa Gus Pur,” tutur karyawan di Departemen Kesehatan, Jakarta, itu.

Butet Kertaradjasa, 45 tahun, aktor yang paling tinggi jam terbangnya. ”Dari segi wajah, saya yang paling tidak mirip dengan tokoh yang diperankan,” ujarnya jujur. ”Karena itu, saya hidupkan lewat seni peran, terutama gestur ketika Pak SBY sedang berpidato.”

Tapi tak ada yang lebih kocak dari garis hidup Budi Setiawan, 54 tahun, pemeran Habudi. Ia adalah pensiunan karyawan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) alias anak buah B.J. Habibie, tokoh yang ditirukannya dengan nyaris sempurna. Budi bahkan pernah menjadi pianis di paduan suara PT DI (”Mungkin itu sebabnya mengapa Ibu Ainun Habibie dulu sering melihat saya, mungkin sambil berpikir kok ada orang yang mirip Bapak,” katanya, tergelak).

Momen yang tak terlupakan adalah saat ia diundang Habibie datang ke rumahnya beberapa tahun silam. ”Begitu bersalaman, ternyata tinggi kami sama, tapi Pak Habibie tak mau kalah. Kata beliau, ’Bud, kumis saya masih lebih bagus dari kumismu, toh’?” Budi mengulangi dengan aksen Habibie yang terkenal.

Yang sama sekali tak perlu berakting, termasuk mengucapkan sepotong pun kata, tentu saja Haji Burhan Uemuluk, mayor (purnawirawan) di Kodam X/Lambung Mangkurat, yang didapuk sebagai Suharta. ”Bekas panglima saya, Pak Amir Machmud bahkan memanggil saya dengan sebutan khusus, Soenarto,” ujar kakek 23 cucu yang rutin setiap pekan bolak-balik Jakarta-Samarinda-Banjarmasin-Jakarta untuk mengurus bisnisnya itu.

Bagi Haji Burhan, Pak Harto adalah tokoh yang pantas diidolakan sampai sekarang. ”Kalau persidangan terhadap Pak Harto jadi dilaksanakan, jika diizinkan majelis hakim, saya yang akan menggantikannya di kursi terdakwa,” ujarnya mantap. Hanya satu hal dari Pak Harto yang tak bisa diikuti Haji Burhan sampai sekarang. ”Saya orang Dayak sejati, nggak bisa makan gudeg.”

Dengan senyum dan lambaian tangan yang sudah begitu mirip, tentu gudeg bukan lagi jadi hal penting. Apalagi kalau harus jadi makanan utama bagi rakyat Negeri di Awan.

Akmal Nasery Basral


HABUDI Nama asli: Drs. Budi Setiawan Lahir: Bandung, 16 Februari 1952 Pekerjaan: Pensiunan PT Dirgantara Indonesia Hobi: Musik Tentang tokoh yang diperankan: Pak Habibie itu negarawan yang polos, saleh, jenius di bidangnya, memiliki reputasi nasional dan internasional.

SI BUTET YOGYA (SBY) Nama asli: Butet Kertaradjasa Lahir: 21 November 1961 Pekerjaan: Penggiat seni peran Hobi: kolektor bungkus rokok

GUS PUR Nama asli: Dr. Handoyo MPH Lahir: Jakarta, 12 Agustus 1954 Pekerjaan: PNS di Departemen Kesehatan Hobi: Membaca Tentang tokoh yang diperankan: Gus Dur orang yang luar biasa.

MEGAKARTI Nama asli: Sukarti Lahir: Ngawi, 21 November 1949 Pekerjaan: Bisnis katering Hobi: Memasak

SUHARTA Nama asli: Haji Burhan Uemuluk Lahir: 6 Agustus 1932 Pekerjaan: Pengusaha Hobi: Badminton Tentang tokoh yang diperankan: Soeharto adalah tokoh yang saya idolakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus