Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEPAS salat zuhur berjemaah, para murid menghambur dari musala. Ahmad Solehudin langsung berkemas. Dia mengganti seragam sekolah, kaus, dan celana panjang dengan kemeja putih dan celana panjang biru tua, serta tidak lupa mengalungkan kartu identitas di lehernya. Dia kelihatan lebih rapi dan ganteng. “Mau survei harga barang,” katanya singkat.
Hari itu, Rabu pekan lalu, Ahmad dan teman sekelasnya, pelajar kelas I Sekolah Menengah School of Universe, pergi mengunjungi sebuah perusahaan retail di kawasan Parung, tak jauh dari sekolah. Kunjungan itu merupakan langkah lanjutan. Sebelumnya, mereka mendatangi beberapa tempat sejenis. “Ini merupakan kegiatan program trading house (bisnis),” kata Murni, guru kelas itu.
Pengalaman So—begitu Ahmad minta dipanggil—bertambah lagi. Semester sebelumnya, dia mendapatkan pelajaran bioteknologi. Dari pelajaran itu, So melakukan praktek berniaga. Dia menjual produk-produk tanaman organik milik seorang guru di sekolah yang terletak di Parung, Jawa Barat. “Saya jualan beras dan bayam organik,” katanya.
Barang dagangan itu dijual kepada tetangganya di Perumahan Telaga Kahuripan, Bogor, tempat So tinggal bersama orang tuanya. “Orang tua teman saya yang menjadi investornya,” katanya. Setelah modal dikembalikan kepada sang investor, So masih mendapat Rp 20 ribu dari bagi hasil. “Untungnya masih kecil, sih,” katanya.
Masih kecil, memang, tapi So juga masih sangat muda: 13 tahun. Bukan saja fisiknya kecil, suaranya pun masih terdengar cempreng alias belum pecah seperti remaja yang berangkat dewasa. Toh, kecil-kecil dia sudah belajar bagaimana mencari dan mengatur duit.
Bisnis tidak hanya diajarkan kepada mereka yang duduk di bangku sekolah menengah, tapi juga kepada yang masih berada di sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak. “Kami memang mengenalkan mereka kepada kegiatan bisnis sejak dini,” kata Septriana Murdiani, 33 tahun, Kepala Sekolah Menengah School of Universe.
Zahra, yang masih duduk di taman kanak-kanak, belajar berjualan permen yang dititipkan di koperasi sekolah. Untungnya? “Nggak tahu,” ujarnya sambil menggelendot manja pada bapaknya. Tapi gadis kecil ini sudah paham berniaga. “Uangnya disimpan Umi (ibu).”
Menurut Suhendi, 34 tahun, yang ikut merancang sekolah yang berdiri pada 2004 ini, pengenalan bisnis sejak kecil didasarkan pada pengalaman hidup Nabi Muhammad SAW. “Pada usia 8 tahun, dia sudah menggembalakan kambing,” katanya. Aplikasinya, di zaman ini, pada usia itu pula murid-muridnya dikenalkan pada dasar-dasar berniaga.
Tak aneh bila kemudian kosakata seperti trading house, proposal (membuat usaha), dan bagi hasil keuntungan sering terdengar, bahkan dalam percakapan santai murid-murid. Seorang murid tak sungkan meminjam contoh proposal dari gurunya untuk mempraktekkan bisnis. “Kalau mereka menjadi mata duitan, artinya kami telah berhasil,” kata Septriana sambil tergelak.
Serius? Septri buru-buru menambahkan, pada tahap usia seperti So, perilaku “mata duitan” dianggap wajar karena masih dalam tahap awal belajar bisnis. “Selanjutnya mereka diajari bagaimana memahami hakikat bisnis, seperti harus juga menyisihkan pendapatan atau keuntungan yang mereka dapat untuk zakat,” katanya.
School of Universe memang memiliki konsep yang berbeda dengan sekolah kebanyakan. Kurikulumnya, selain tetap mengacu pada kaidah Departemen Pendidikan Nasional, menambahkan sisi lain, yaitu pengenalan sekaligus praktek bisnis untuk murid-muridnya. Motonya pun gagah: “business everyday”, tiada hari tanpa berbisnis—tidak hanya murid, tapi juga para guru di sana.
Ide pendirian sekolah ini sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep sekolah alam yang, antara lain, digagas Lendo Novo, anggota staf ahli di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, pada 1997. Tiga tahun silam, Lendo dan kawan-kawan berembuk. Setelah mengevaluasi sekolah alam, mereka berkesimpulan terdapat kekurangan di sekolah itu. “Untuk menjadi manusia mandiri, mereka juga harus bisa menghidupi diri sendiri. Caranya, ya, dengan berbisnis,” kata Suhendi.
Mereka juga mempelajari kurikulum sekolah yang ada selama hampir setahun, baru kemudian menyusun kurikulum School of Universe. Hasilnya berbeda. Untuk jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, seorang siswa hanya butuh empat tahun. Ini berbeda dengan ketetapan umum Departemen Pendidikan Nasional, yang mengatur masa sekolah menengah pertama dan atas masing-masing tiga tahun, tapi untuk sekolah dasar tetap enam tahun.
Pemendekan waktu untuk sekolah menengah itu juga tidak sama dengan program akselerasi bagi anak-anak superpintar yang ngetren diterapkan di banyak sekolah unggulan. “Sebab, bagi kami, semua anak istimewa,” kata Septri. Pengurangan tahun belajar dilakukan karena perancang kurikulum School of Universe yakin terdapat pengulangan materi dalam pembelajaran di tingkat SMP dan SMA. “Istilah yang ada sekarang adalah pendalaman. Di sini kami ringkas menjadi dua tahun,” katanya. Dengan cara itu, siswa mendapatkan kesempatan untuk terjun ke dunia bisnis lebih cepat.
Seperti sekolah alam, School of Universe ini tampaknya “membandel” dari pakem umum Departemen Pendidikan. Beruntung, pada tahun ajaran ini, Badan Standar Nasional Pendidikan meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau kurikulum 2006—sebagai penyempurnaan Kurikulum Berdasarkan Kompetensi, yang diluncurkan pada 2004. Sejak itu, kata Suhendi dan Septriana, kurikulum yang diterapkan di School of Universe tak lain dari aplikasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah dalam menyusun kurikulum operasionalnya.
Kendati demikian, masih ada ganjalan, yakni soal akreditasi dan pengakuan. Karena masa belajar yang pendek bukan bagian dari program akselerasi yang khusus dirancang untuk anak-anak cerdas, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lulusan sekolah ini kesulitan melanjutkan pendidikan. “Untuk saat ini, murid kami akan menempuh ujian akhir nasional di sekolah lain,” kata Septriana. Mereka sedang berusaha mendapat akreditasi. Dengan demikian, nantinya, lulusan School of Universe tidak perlu lagi nebeng ujian di tempat lain.
Untungnya, meskipun belum ada akreditasi, kredibilitas School of Universe sudah diakui banyak orang tua. Mereka yang merasa cocok dengan model pendidikan tak konvensional seperti sekolah alam ini mempercayakan anaknya bersekolah di sana. Mungkin itulah yang ikut mendorong keyakinan para penggagas School of Universe untuk mendirikan perguruan tinggi sendiri.
Kelak, di “University of Universe”—mungkin begitu namanya—mahasiswa langsung kuliah di beberapa perusahaan. Mereka hanya akan bertemu dengan dosen di kampus, mungkin seminggu sekali. “Kami ingin mencetak entrepreneur tangguh,” kata Lendo Novo.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo