Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terus terang, saya merasa banyak berita ganjil belakangan ini. Tahun lalu satu koran mengabarkan, di sebuah desa Jawa Tengah beberapa ekor kambing mati kehabisan darah dalam semalam. Darah mereka lenyap. Tak ada perut tercabik, darah tergenang, tanda-tanda harimau menyerang. Hanya ada jejak bercakar makhluk dua kaki, tak jauh dari sana, ke arah gunung kapur nan bergua-gua. Drakula? Gendruwo?
Kelanjutan berita tak pernah datang. Malah ada berita lain. Harimau akan dimanfaatkan untuk peringatan dini banjir. Saya tahu di masa lalu orang Indian Amerika meramal cuaca dengan lemak beruang yang disimpan dalam lodong. Orang Romawi membaca nasib dari isi perut hewan kurban. Tapi di zaman ini bukankah jumlah harimau telah tipis?
Lihat. Banyak berita lain. Pengucuran dana Bos justru meningkatkan DO. Diam-diam DO dan TKI disediakan untuk para bos yang melakukan perjalanan luar kota. Seperti kita tahu, TKI adalah salah satu penyumbang devisa utama. Perlu diingat juga, pju-pju liar yang berceceran di mana-mana sangat berbahaya bagi masyarakat.
Oh. Kisah kambing itu memang tetap misterius, jika bukan salah berita. Yang lain adalah persoalan akronim dan singkatan. Harimau adalah Hydrometeorological Array for Intraseasonal variation Monsoon Automonitoring, program radar cuaca baru yang akan segera dipasang. Sedangkan bos? Biasa ditulis dengan huruf besar, BOS adalah Bantuan Operasional Sekolah. DO? DO bisa Drop Out. Bisa juga Dana Operasional. TKI bisa Tunjangan Komunikasi Intensif bagi anggota DPRD yang diributkan belakangan ini, atau Tenaga Kerja Indonesia. Dan apa itu pju liar yang berserakan? Tak lain adalah penerangan jalan umum liar. Setuju! Pju liar, meski menyenangkan, bisa menimbulkan kebakaran.
Ada akronim yang sukses. Misalnya bandara (bandar udara), tilang (bukti pelanggaran), jablay rudal (jarang dibelay peluru kendali). Ada yang begitu berhasil di tingkat lisan sehingga ditulis berdasarkan pengucapannya: elpiji (LPG atau Liquid Petroleum Gas), teve atau tivi (TV), ge-er (GR, Gede Rasa). Ada juga yang sukses meskipun jelek: HAM (Hak Asasi Manusia), bukan daging ham.
Ada yang sulit diterima masyarakat, baik yang diperkenalkan oleh pemerintah: gepeng, pekat (gelandangan dan pengemis, penyakit masyarakat), maupun oleh aktivis: ODHA, OHIDA (Orang Dengan HIV-AIDS, Orang yang Hidup dengan para ODHA). Yang lucu adalah Jagal Kota (Jagalah Kebersihan Kota), disebarkan oleh teman saya.
Kebodohan dalam penciptaan akronim telah dibahas sejak zaman Suharto. Beberapa keluhan itu: tidak dengan pertimbangan kepraktisan bunyi (contoh: Depdikbud), tidak mempertimbangkan hubungan bentuk dan isi (misal: tak ada hubungan asosiatif antara harimau dan radar cuaca). Terima kasih pada kritik tadi, tapi segala kesalahan itu terus diulang sampai sekarang.
Di sisi lain, kita bisa melihat beberapa gejala dengan kaca mata baru: bahwa aksara tak hanya fonetis, tetapi mengembangkan pula sisi piktografnya. Fonetis, kita tahu, berdasarkan bunyi. Btw ya di baca be-te-we. Piktograf adalah melambangkan konsep. Dengan sudut pandang ini, btw bisa saja dibaca by the way atau eh, ngomong-ngomong…. Ia tidak lagi dibaca berdasarkan bunyi. Ia dibaca berdasarkan artinya dalam bahasa setempat. Mirip angka. Kita tahu artinya 1000, tapi bunyinya beda dalam tiap bahasa.
Teknologi ponsel dan sejenisnya yang mengutamakan bentuk visual pendek pesan membuat manusia mengembangkan aksara baru yang bersifat: 1) ringkas (contoh: gw), 2) melintasi perbedaan bahasa (contoh: b4, J, L, dsb).
Saya tidak suka menggunakan bahasa ringkas ini. Tapi barangkali itu karena saya masih ada dalam pola lama: tak bisa memisahkan yang visual dari yang audio. Meskipun saya sadar bahwa keberaksaraan di era digital adalah koeksistensi antara huruf fonetis dan piktografis.
Btw, kembali ke soal pju harimau TKI BOS DO tadi, saya kira semua itu bukan gejala bahasa visual digital melainkan semata akronim yang buruk. Dan kalau Anda mengharapkan saya bercerita tentang khasiat pju harimau, Anda telah tertipu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo