Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prof Dr dr Moh. Saleh Mangundiningrat Potret Cendekiawan Jawa Penulis: M Nursam, Penerbit: PT Gramedia Utama 2006 Tebal: 128 halaman
Amsterdam, musim dingin 1924. Foto lama itu menampilkan sebuah keluarga Indonesia di sebuah taman. Sepasang suami-istri muda dengan tiga anak yang masih kecil. Semua mengenakan overcoat, kaus tangan, dan topi untuk penahan dingin. Yang paling kecil baru berumur setahun tampak lucu tergolek di kereta dorong. Mata bayi itu memandang kamera.
Kini semua yang ada di foto itu telah almarhum. Si kecil yang menggemaskan itu, Miriam Budiharjo, 8 Januari lalu baru saja meninggal dalam usia 83 tahun. Apalagi si sulung Siti Wahjunah yang kemudian menjadi istri PM Sutan Sjahrir dan populer dengan nama Poppy Sjahrir—ia telah lama wafat. Juga Dr Soedjatmoko
Tak syak lagi, kakak-beradik Soedjatmoko, Miriam, dan Poppy dikenal luas sebagai keluarga intelektual. Namun, tak banyak yang tahu tentang sosok ayah mereka: Prof Dr dr Moh Saleh Mangundiningrat, yang sebenarnya paling berperan menanamkan jiwa cendikia. Biografi tipis yang ditulis M. Nursam ini maka dari itu berharga. Foto di atas adalah kenangan saat dokter Saleh, demi meraih doktor ilmu kedokteran di Universitas Amsterdam, sekaligus brevet ahli kandungan dan ahli bedah, memboyong keluarganya ke Belanda.
Biografi ini disusun berdasar wawancara dengan pihak keluarga dan riset kepustakaan. Saleh Mangundiningrat lahir pada 1892 dalam keluarga kiai di desa Balerejo yang terletak antara Madiun dan Ponorogo, Jawa Timur. Biografi ini menuturkan bahwa Saleh adalah keturunan dari tokoh bernama Jayengsari yang dalam Serat Centhini disebut putra Giri yang melarikan diri setelah pemberontakannya terhadap Mataram ditumpas oleh Sultan Agung.
Saleh bersekolah di Europe Lagere School, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran STOVIA. Penulis buku ini berkesimpulan, sejak semasa mahasiswa Saleh beranggapan bahwa untuk memberi kontribusi pada bangsa tidaklah mesti terjun ke dunia politik praktis. Meski bersahabat akrab dengan Dokter Soetomo, ia tidak aktif dalam pergerakan Boedi Oetomo. Ia justru aktif di kesenian sebagai pemain wayang, biasanya berperan sebagai Antareja.
Pada 1918, dokter Saleh menikah dengan Isnadikin, putri Patih Ponorogo. Sang istri dibawanya ke Sawahlunto tempat Saleh menjabat Kepala Rumah Sakit Umum. Di kota kecil di Sumatera Barat inilah kedua anaknya lahir. Siti Wahyunah lahir pada 1920. Dua tahun kemudian lahir Soedjatmoko. Tiga tahun di Sawahlunto, ia pindah ke Kediri, mengepalai Rumah Sakit Umum Kediri. Di sinilah kemudian putrinya, Miriam, lahir.
Penulis buku ini melacak apakah saat dokter Saleh di Belanda (1924–1929) terlibat dalam kegiatan politik Perhimpunan Indonesia yang dimotori Mohammad Hatta. Dokter Saleh ternyata di Belanda, menurut kesimpulan sementara penulis, menjaga jarak dengan politik dan memilih bekerja secara profesional di sebuah rumah sakit bedah di Amsterdam.
Sepulang dari Belanda, dokter Saleh ditugaskan menjadi kepala rumah sakit Manado dan kemudian Surabaya. Di kedua kota ini ia berpraktek dan begitu populer di mata masyarakat. Apalagi di Surabaya, karena secara reguler dua kali seminggu di sebuah radio ia membahas masalah-masalah kesehatan. Pada 1937, dokter Saleh diminta oleh dokter Radjiman Wediodiningrat untuk menggantikan dirinya sebagai dokter pribadi Sunan Paku Buwono X. Sang Sunan sudah mendengar kepopuleran dokter Saleh di Surabaya.
Penulis biografi ini terkesima dengan pendidikan yang diterapkan dokter Saleh kepada putra-putrinya di rumah hingga mereka berhasil semua menjadi “orang”. Dokter Saleh, menurut analisis M. Nursam, penulis biografi ini, merupakan perpaduan antara kekerasan disiplin Belanda dan asketisme Timur. Suatu kali, di umur 14 tahun, Soejatmoko pernah dipanggil ayahandanya. Dia diberi wejangan tentang hidup. ”Ko, kamu sebentar lagi akan dewasa, tapi saya akan beri tahu filsafat hidup saya: saya tidak mau terikat pada benda. Jangan kamu harap kalau saya meninggal bakal ada warisan....”
Dia selalu menanamkan pada anak-anaknya agar selalu membaca buku. Di rumahnya (kini letaknya di Jalan Slamet Riyadi, Solo; di belakangnya kini menjadi toko buku Gramedia) banyak sekali buku-buku filsafat dan agama: Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Swami Vivekananda, Khrisnamurti. Tapi suatu kali Soedjatmoko menganggap ayahnya feodal. Pada umur 16 tahun, Soedjatmoko bertengkar karena ayahnya tak mengizinkan Soedjatmoko bergabung dengan Indonesia Muda, gerakan nasionalis di Surabaya yang dipelopori Roelan Abdoelgani.
“Ayah melarang saya dengan mengatakan sesuatu yang paling menyakitkan bagi seorang anak muda, yaitu bahwa saya belum cukup umur,” kata Soedjatmoko kala itu. Konflik kedua terjadi pada 1940-an. Saat itu Soedjatmoko dikeluarkan dari Sekolah Tinggi kedokteran Batavia karena keterlibatannya dalam politik melawan Jepang. Ia ditahan oleh Jepang. Lepas dari tahanan ia tinggal di Solo. Selama di Solo, Soedjatmoko merasakan betapa kerasnya sikap ayahnya yang menurut dia “bagai pohon beringin”.
Buku ini menyinggung Solo semasa dokter Saleh hidup tengah diresapi atmosfer kebatinan Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal) pimpinan Soenarto Merowardoyo. Tapi buku ini tidak mengelaborasi lebih jauh seberapa jauh ketertarikan Saleh pada Pangestu. Yang jelas, pada putra keempatnya, Nugroho Wisnumurti, yang lahir pada 1940 di Solo (kini menjadi anggota Komisi Hukum Internasional PBB, tinggal di New York), ia menyimpan sesuatu yang spiritual. Nama Murti diambil karena kekagumannya pada Khrisnamurti, seorang pemikir kerohanian dari India.
Bab terakhir buku ini bercerita tentang bagaimana Saleh di masa kemerdekaan secara klandestin memberikan dukungan bagi laskar-laskar di Solo. Ia aktif memberikan obat-obatan kepada gerilyawan. Ia giat melakukan inspeksi kesehatan di pelosok-pelosok dan marah besar terhadap Belanda ketika mobil Vauxhallnya yang digunakannya untuk inspeksi dibubuhkan bendera Merah-Putih-Biru. Ia langsung menggunting bagian birunya.
Dr Saleh Mangundiningrat wafat pada 20 Oktober 1962 karena stroke. Seperti dikatakan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam pengantar buku ini, integritas yang dimiliki dokter Saleh adalah kualitas yang kini dalam golongan masyarakat profesional kita sudah jarang ditemukan.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo