Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBATANG spidol dan jersey atau baju seragam langsung masuk benak Ahmad Al Gazali. Dua benda itu pula yang dimasukkan sebagai properti penting setelah Ahmad Dhani, penyanyi kesohor itu, mengiyakan permintaannya untuk menonton pertandingan Manchester United di Indonesia. ”Ayah senang juga ketemu pemain MU,” ujarnya. Sontak, dua saudaranya, El dan Dul, pun ikut gembira.
Mimpi mereka menjadi kenyataan. Kakak-adik itu bisa bertemu dengan para bintang pujaan mereka. Al ingin bertemu dengan Nani—pemain asal Portugal. ”Karena dia jago kayak Ronaldo dan larinya juga kencang,” ujarnya. Dul, sang adik, lain lagi. Dia ingin berjumpa dengan Park Ji-sung, pemain Manchester United asal Korea Selatan. Sudah jelas, tanda tangan di jersey pasti didapat. Setelah itu? Mereka berfoto dengan para pemain United. ”Saya ingin berfoto dengan (Alex) Ferguson,” kata Dhani.
Ayah dan anak ini tidak sedang bermimpi. Maklum, tiket yang mereka dapatkan bukan sekadar untuk menonton. Mereka juga bisa menyatu dengan para pemain klub itu. Ayah mereka telah memesan tiket plus-plus, yakni bermalam di hotel berbintang yang menjadi tempat para pemain United menginap. Dalam kesempatan meet and greet itulah mereka bisa bertemu dengan para bintang tersebut.
Namun empat tiket tak cukup karena tiga bocah ini butuh para pengasuhnya. ”Eyang juga ikut nonton,” ucap Al sambil menunjuk Joyce Theresia Pamela, ibu Dhani. Total jumlahnya mencapai 10 orang. Harganya sudah pasti mahal. Si ayah harus merogoh uang Rp 250 juta untuk menyewa lima kamar di hotel itu. ”Kalau saya, sih, yang penting anak-anak senang bisa melihat idolanya,” kata Dhani.
Rombongan pemburu foto dan tanda tangan lainnya adalah keluarga Tamara Geraldine. Jumlah anggota rombongannya jauh lebih banyak, yakni 15 orang. Mereka adalah papa, mama, adik-adik, dan iparnya. ”Ya, mereka ingin meet and greet dengan pemain MU,” ujar Tamara.
Tamara sendiri sebenarnya sudah berkali-kali bertemu dengan para pemain United. Saat berkunjung ke Wellington, tempat latihan Setan Merah (julukan Manchester United), ia sempat mewawancarai bintang United asal Portugal, Cristiano Ronaldo—sudah pindah ke Real Madrid—dan pemain sayap Park Ji-sung. Sekarang dia ingin bertemu dengan Rio Ferdinand. ”Waktu itu belum sempat,” katanya. Agendanya, dia ingin berfoto dengan si jangkung itu.
Semuanya jelas tidak gratis. Tinggal hitung saja uang yang dipakai untuk menyewa delapan kamar. ”Ya, sekali-sekali perlulah hasilnya dinikmati,” katanya. Dalam kalkulasinya, harga itu jauh lebih murah ketimbang mereka boyongan ke Old Trafford, markas United di Inggris. Itu sebabnya, sejak tersiar kabar Setan Merah akan datang ke Indonesia, Tamara sudah bersiap. ”Sudah dari bulan Mei, saya langsung beli tiketnya,” katanya.
Sepak bola pada akhirnya bukanlah sekadar olahraga, tapi juga menciptakan hiburan. Para pemain yang saban pekan nongol di televisi tak pelak berubah menjadi sosok selebritas seperti pemain film atau penyanyi kelas dunia. Apalagi bila punya tampang keren di samping kemampuan gocek bola yang aduhai. Itu yang menjadikan Manchester United memiliki daya tarik luar biasa.
Akibatnya pun langsung cespleng. Saat klub itu mengumumkan akan mampir ke Indonesia dalam rencana turnya ke Asia tahun ini, ingar-bingar sontak terasa. Maklum, di negeri yang sepak bolanya tak pernah menang ini, klub itu punya pendukung yang mencapai 28 juta orang. Nah, ibarat gadis cantik yang banyak ditaksir, kedatangan mereka pun langsung disambut gegap-gempita.
Panitia lokal di Indonesia semula hanya menyediakan 65 ribu lembar tiket. Belakangan jumlah itu dirasa kurang, hingga akhirnya ditambah lagi menjadi genap 77 ribu lembar, dengan berbagai jenis harga. Tak disangka, tiket dengan cepat ludes. Lihat saja, pertengahan Juni lalu, atau sebulan sebelum pertandingan digelar, ratusan orang bergerombol di sekitar pintu I Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan, Jakarta. Makin dekat, harganya pun melompat hingga berkali-kali.
Restu Prasetyo, 24 tahun, harus menunggu hingga sebulan untuk mendapatkan kepastian soal tiket. Ia berhasil mendapatkan tiket kelas III yang didistribusikan perusahaan tempat ia bekerja. ”Maksimal hanya bisa pesan empat. Itu pun harus pakai ID karyawan,” kata Restu senang tiada kepalang meski tiket asli belum dipegang. Tiga tiket dia dapatkan dengan mengeluarkan uang Rp 300 ribu. Harga ini lebih mahal dibanding tiket sejenis untuk pertandingan lain, yang hanya mencapai kurang dari Rp 50 ribu.
Manchester United memang mahal. Untuk mendatangkan klub ini ke Senayan juga diperlukan duit segunung. Dana US$ 2 juta atau sekitar Rp 20 miliar harus dikeluarkan panitia untuk membayar United. ”Itu hanya untuk timnya. Kalau ditambah biaya penyelenggaraan, keamanan, dan lain-lain, sekitar US$ 2,5 juta,” kata Agum Gumelar, ketua panitia lokal MU Asia Tour ini.
Mahal, tapi MU memang barang bagus. Sponsor pun berkerumun. Perusahaan telepon seluler 3 langsung sigap. Kedatangan klub ini dipakai untuk menggenjot pelanggan baru. Caranya, mereka menawarkan penjualan tiket dengan terlebih dulu menjadi pelanggan. Soal berapa biaya yang mereka keluarkan, Suresh Reddy sebagai chief commercial officer ogah kasih kabar. ”Maaf, kami tidak dapat menjelaskan hal tersebut,” ujarnya.
Lain lagi dengan Entong Nursanto, bos Top Skor—harian olahraga di negeri ini. Dia menyebut huruf M untuk uang yang dikeluarkannya. Tapi, untuk besarannya, dia ogah omong lagi. ”MU sangat penting untuk mengukuhkan media kami sebagai harian olahraga,” katanya.
Keuntungan sepertinya berada di depan mata. Namun Agum membantah tudingan yang menyebutkan panitia mencari untung besar dengan menaikkan harga saat tiket sulit didapat. ”Kalau dibilang kami mencari keuntungan besar, aduh, break even saja saya sudah senang. Saya hanya berpikiran agar acara ini sukses. Keuntungan itu nomor dua.”
Agum mengatakan kedatangan MU ke Indonesia adalah sebuah peluang besar untuk meningkatkan citra Tanah Air yang kadung dinilai tidak aman dan berantakan di mata dunia. ”Selama ini, saat klub-klub profesional Eropa sedang jeda kompetisi dan melakukan tur di Asia, mereka main di Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, Singapura, Hong Kong, Cina, bahkan Korea. Tapi Jakarta dilewatin begitu saja,” kata Agum saat ditemui Tempo awal Juli lalu.
Soal kemudian banyak yang menjual paket lain, menurut Agum, itu merupakan kreativitas. ”Kalau segitu, mendingan saya langsung ke Old Trafford,” kata Samuel Rismana, seorang penggila MU, sembari tersenyum. Samuel bukan lagi bermimpi. Dia sudah beberapa kali mendatangi Old Trafford untuk menyaksikan langsung laga MU.
Lain Samuel, lain pula orang seperti Ahmad Dhani. Baginya, ia mesti menonton laga MU di Indonesia. ”Ini kesempatan langka, mereka main di Indonesia,” kata Ahmad Dhani, yang sempat nonton Setan Merah saat melawat ke Singapura pada 2001. ”Enggak mungkinlah dilewatkan begitu saja,” ujarnya.
Irfan Budiman, Iqbal Muhtarom, Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo