Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Upacara Kematian yang Mempesona Dunia

Bali, Batak, dan Tana Toraja memiliki panorama indah. Namun, upacara kematian di destinasi itu menarik minat wisatawan mancanegara.

19 Agustus 2019 | 14.24 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang pria Bali menarikan tarian Baris saat menggelar upacara Pelebon Agung (Ngaben) Ida I Dewa Agung Istri Putra di Klungkung, Bali, 29 Juni 2014. (Photo by Agung Parameswara/Getty Images)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai suku di Indonesia memiliki keyakinan kematian adalah jalan menuju kekekalan. Untuk itu butuh bekal agar statusnya tinggi di alam baka. Bahkan digelar ritual khusus, yang bertujuan memuliakan jenazah agar layak berkumpul dengan para leluhur. Tradisi upacara kematian ini megah dan meriah. Bahkan menjadi atraksi untuk menarik wisatawan. Berikut upacara kematian yang lokasinya berada di destinasi wisata utama di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rambu Solo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upacara kematian Rambu Solo digelar oleh warga Tana Toraja – sebuah wilayah sejauh 300-an kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka berkeyakinan, orang yang meninggal dunia tidak mati bila belum diupacarakan. Mereka hanya lemah atau sakit, warga Toraja biasanya masih mengajak berbicara, memberi makan dan minum, dan dibaringkan di tempat tidur.

Mereka yang meninggal adalah yang sudah melalui tahap upacara. Usai diupacarakan mereka menuju ke Puya, tempat keabadian para leluhur yang berlokasi di selatan bumi. Prosesi Rambu Solo menentukan status orang yang mati: sebagai arawah gentayangan (bombo), tingkat dewa (to membali puang), arwah yang menjadi dewa pelindung (deata).

Rambu Solo juga merupakan penghormatan bagi yang masih hidup kepada yang meninggal dunia. Anak-anak dari keluarga yang meninggal, menyembelih kerbau bule (tedong bonga) – yang seekornya bisa mencapai Rp50 juta.

Kerbau yang akan disembelih itu, diadu terlebih dahulu dalam tradisi mappasilaga tedong atau tedong silage (adu kerbau). Sementara kerbau yang akan disembelih atau biasa disebut ma’ tinggoro tedong adalah kerbau pilihan. Setelah disemeblih bersama babi-babi yang jadi persembahan, daging itu dimasak dan dikonsumsi oleh warga seluruh kampung.

Salah satu acara di hari terakhir berupa Ma'badong, para penari (Pa'badong) membentuk lingkaran dan saling menautkan kelingking berbentuk lingkaran. Mereka menari sambil membacakan syair mengenai biografi orang yang mati, berkisah masa kecil hingga meninggal, kebaikannya dan cerita mengenai alam.

Anggota keluarga duka melakukan tari ma'badong saat prosesi ma'pasonglo di Alang-alang, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 26 Desember 2017. Ma'pasonglo merupakan salah satu rangkaian upacara kematian Rambu Solo. ANTARA

Tarian Ma'badong ini digelar berjam-jam, bahkan dalam kasus tertentu dilakukan secara estafet tiga hari tiga malam.

Rante merupakan puncak prosesi Rambu Solo, yang helat di lapangan khusus. Ritual yang terdapat dalam Rante, berupa mabalun ma’tudan (pembungkusan jenazah), ma’roto (memberi ornamen emas dan perak pada peti), ma’popengkalo alang (pemindahan dan penurunan peti jenazah dari tongkonan ke La’ Kian), dan ma’palao (proses membawa peti jenazah ke tempat peristirahatan terakhir).

Ritual mengantar jenazah ke pemakaman menjadi atraksi yang menarik. Para pelayat bersama-sama memegang kain panjang berwarna merah. Bila dilihat dari atas seperti selendang panjang merah. Jenazah lalu dimasukkan ke dalam tebing batu.

Ngaben

Bagi pemeluk Hindu di Bali, jenazah tidak dimakamkan namun dikremasi. Prosesi kremasi itu melalui upacara yang disebut Ngaben. Upacara ini kerap dilakukan dengan begitu megah. Dengan iring-iringan banyak orang dan hiasan yang megah. Ngaben bertujuan sebagai bentuk pelepasan roh atau Sang Atma dari belenggu duniawi. Pada tahap selanjutnya, pelepasan ini menjadi sarana untuk mempermudah roh untuk bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam). 

Tujuan berikutnya, adalah dengan mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta, yakni lima unsur pembentuk manusia seperti unsur padat seperti tulang, daging, kuku. Apah yang merupakan unsur cair, bayu atau unsur udara. Teja, unsur panas, serta Akasa yang merupakan unsur ether yang keberadaannya memunculkan rongga pada tubuh manusia.

Tujuan terakhir dari pelaksanaan upacara ngaben adalah sebagai simbolisasi dari pihak keluarga. Ketika melakukan upacara ngaben, itu tandanya bahwa pihak keluarga yang telah ditinggalkan, telah ikhlas dengan kepergian jenazah. 

Terdapat lima ritual Ngaben, pertama Ngaben sawa wedana. Ritual ini jenazah tak dimakamkan, namun dibaringkan selama tiga sampai tujuh hari setelah waktu meninggalnya. Pada waktu khusus, ada pula pelaksanaan ngaben sawa wedana yang dilakukan satu bulan setelah waktu meninggal jenazah. Agar jenazah tak mengalami proses pembusukan, masyarakat Bali menggunakan ramuan khusus. Saat menunggu upacara, mereka diperlakukan sebagaimana orang sedang istirahat. 

Dua, Ngaben asti wedana merupakan upacara yang melibatkan jenazah yang pernah dikubur. Sebelum pelaksanaannya, dilakukan terlebih dulu ritual ngagah yang merupakan cara pengambilan tulang belulang sisa dari jenazah. Tiga, Swasta, tradisi Ngaben tanpa melibatkan jenazah di dalamnya. Pelaksanaannya biasanya terjadi karena hal yang tidak memungkinkan, seperti ketika jenazah tak ditemukan karena kecelakaan, meninggal di luar negeri, dan lain-lain.

Sebuah patung lembu berisi jenazah mulai dibakar saat upacara Pelebon atau Ngaben bagi keluarga Kerajaan Puri Ubud di Ubud, Gianyar, Bali, 8 Mei 2016. Patung lembu yang digunakan dalam proses kremasi dipercaya Umat Hindu sebagai kendaraan almarhum menuju nirwana atau surga. TEMPO/Johannes P. Christo

Sebagai ganti dari jenazah, biasanya digunakanlah kayu cendana yang sebelumnya telah dilukis serta diisi dengan aksara magis. Pelukisan dan pengisian tersebut merupakan representasi dari badan kasar atma jenazah yang bersangkutan. Keempat, Ngelungah, tradisi upacara Ngaben ngelungah dilakukan untuk anak yang belum mencapai waktu tanggal gigi. Kelima, Ngaben warak kruron secara khusus dilaksanakan untuk jenazah bayi yang keguguran.

Saur matua

Kesedihan tak harus ditampakkan dalam masyarakat Batak. Untuk itulah mereka bernyanyi di saat upacara kematian. Upacara kematian masyarakat Batak dibagi dalam usia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) biasanya langsung dikubur. Upacara adat ditujukan kepasa bayi yang mati (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol).

Ritual kematian masyarakat Batak dilakukan sama halnya seperti acara pernikahan. Menampilkan alat musik berupa organ atau musik tradisional gondag untuk bernyanyi, menyembelih hewan, minum minuman tradisional seperti tuak.

Saur Matua tradisi upacara kematian warga Batak, yang jauh dari kesedihan karena jenazah telah berhasil mendidik anak-anak mereka. Foto: @franata_damanik

Ternak yang disembelih untuk upacara kematian ini berupa kerbau atau sapi, yang akan disembelih oleh cellarage Batak (terkhusus Batak Toba). Di dalam perayaan Saur Matua melambangkan suka cita bukan duka. Hal ini berkaitan dengan usia orang yang telah meninggal. Orangtua yang meninggal biasanya sudah berhasil mendidik anak-anaknya sampai menikah dan hanya tinggal menunggu kematiannya dengan sukacita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus