Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Rembang - Rombongan santri Pesantren Waria Al Fatah Kotagede Yogyakarta menyusuri jalur Pantai Utara, menuju dua pesantren di Kabupaten Rembang dan Pati, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan menggunakan bus pariwisata, yang terisi hampir 40 santri pimpinan Shinta Ratri, mereka bertolak dari Pesantren Waria Kotagede menuju Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin (Taman Pelajar Islam) yang diasuh Kiai Mustofa Bisri atau Gus Mus di Leteh, Rembang, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berangkat menuju Rembang, pada Kamis malam, 19 Desember dan kembali lagi ke Yogyakarta Sabtu pagi, 21 Desember 2019. Di sepanjang perjalanan, musik dangdut Pantura dan lagu-lagu Didi Kempot nyayikan tak henti menemani sepanjang perjalanan para santri.
Pemimpin Pesantren Waria Al Fatah Kotagede, Shinta Ratri mengatakan tujuan dari kunjungan ke dua pesantren itu untuk menyambung tali silaturahmi dengan para ulama dan tokoh agama. “Gus Mus punya pengaruh yang kuat dan pesan-pesannya membawa kesejukan dan kedamaian,” kata Shinta Ratri kepada TEMPO, Ahad, 22 Desember 2019.
TEMPO mengikuti perjalanan mereka selama tiga hari. Mereka menghabiskan perjalanan dengan singgah di musala dan masjid untuk menjalankan salat lima waktu.
Setibanya di Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, satri waria mengikuti pengajian Gus Mus bersama 1.000 peserta yang datang dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Yogyakarta dan Jawa Tengah. Santri waria berkumpul bersama peserta pengajian laki-laki dan perempuan. Mereka menyatu, tanpa sekat di rumah Gus Mus yang biasa digunakan untuk menemui tamu-tamunya.
Pemimpin Pesantren Waria Al Fatah Kotagede, Shinta Ratri dan para santrinya, menerima tausiyah dari Kiai Mustofa Bisiri atau Gus Mus, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin (Taman Pelajar Islam). TEMPO/Shinta Maharani
Para waria bersama ribuan peserta, mendengarkan dengan khusyuk pengajian Gus Mus, yang mengkajikan kitab tafsir Fii Dzilalil Qur’an. Kitab itu bicara tentang kesabaran manusia. Gus Mus juga memberikan tausiyah tentang orang-orang yang merasa beragama, padahal perilakunya menunjukkan jauh dari nilai-nilai dasar agama, yakni kemanusiaan, “Orang-orang yang suka menghakimi kurang ilmu atau kurang ngaji,” kata Gus Mus.
Gus Mus menjelaskan Islam mengenal khuntsa atau waria. Orang yang bilang bahwa Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan menurut dia, kurang belajar mengaji karena Alquran menjelaskan keberadaan mereka.
Dia mendorong pemerintah daerah di Yogyakarta untuk melindungi rakyatnya dan tidak membiarkan kelompok intoleran mengatur semuanya. Bupati Bantul, kata dia yang paling bertanggung jawab dan tidak seharusnya membiarkan orang-orang itu mengusir waria di Pesantren Al Fatah yang sedang menjalankan ibadah. “Kalau ada yang melarang-larang beritahu pemerintah yang punya kuasa. Pemerintah seharusnya melindungi rakyatnya,” kata Gus Mus.
Selepas pengajian, para santri waria dan peserta lainnya menyantap suguhan nasi sambal terong dengan lauk ikan pindang dan kerupuk, yang disiapkan para santri.
Pesantren Raudlatut Thalibin berdiri tahun 1955. Ayah Gus Mus, Bisri Mustofa mendirikan pesantren itu di tanah wakaf Haji Zaenal Mustofa atau kakek Gus Mus. Bisri Mustofa dikenal sangat keras mendidik anak-anaknya dan memberikan keleluasaan anak-anaknya, untuk berkembang sesuai dengan minat mereka.
Peserta wisata religi berhias di tempat-tempet pemberhentian. TEMPO/Shinta Maharani
Pesantren itu berada di tengah-tengah kampung. Di sekitar pesantren terdapat ibu-ibu penjual makanan dan minuman ringan. Mereka berlalu lalang di sekitar pesantren dengan leluasa.
Setelah singgah di pesantren pimpinn Gus Mus, para santri waria berziarah ke petilasan Sunan Bonang di Rembang. Di sana, mereka menaiki puluhan tangga menuju jejak-jejak atau petilasan Sunan Bonang. Sejumlah santri juga mengaji dan berdoa di sana, dipimpin pendamping pesantren waria, Masthuriyah Sa’dan.
Kunjungan terakhir santri tertuju ke rumah Kiai Muadz Thohir pemimpin Pondok Pesantren Roudloh Aththohiriyah di Kajen, Pati. Desa Kajen merupakan pusat pesntren di Pati. Di desa ini terdapat 53 pesantren. Tahun 2017, jumlah total santri yang belajar di sana menurut pengelola pesantren Roudloh Aththohiriyah mencapai 21 ribu santri. “Santri di antaranya belajar fiqih,” kata Kiai Muadz Thohir.
Kiai Muadz Thohir berbincang dengan para santri waria selama satu jam. Mereka melontarkan sejumlah pertanyaan tentang ibadah salat waria, cara memperlakukan jenazah waria sesuai hukum Islam. Seperti di pesantren pimpinan Gus Mus, Shinta Ratri juga curhat tentang Front Jihad Islam yang mendatangi pesantrennya tahun 2016, menuding ibadah waria tidak diterima Allah, dan memaksa santri agar bertobat menjadi laki-laki.
Kepada para santri waria, Kiai Muadz Thohir mengatakan keberadaan waria dalam Islam mendapatkan pengakuan. Islam mengenal khuntsa atau waria. Kiai Muadz Thohir menerima santri waria karena menurut dia waria sama-sama makhluk Allah, sama-sama punya potensi, sama-sama punya pemikiran, dan sama-sama beribadah. “Mereka yang membenci waria tidak belajar Alquran secara utuh,” kata Kiai Muadz Thohir.
Suasana bus pariwisata yang dikendarai para santri Pesantren Waria Al Fatah. TEMPO/Shinta Maharani
Kunjungan ke pesantren ditutup dengan makan bersama para santri pesantren itu. Istri Kiai Muadz Thohir menyambut santri waria dengan makanan yang lezat dengan menu yang beragam. Ada masakan cumi hitam, udang goreng, sayur bertabur parutan kelapa, dan sambal terong berkuah santan khas Pantura.
SHINTA MAHARANI