Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Catatan sejarah menunjukkan kedatangan Belanda ke daratan Papua terjadi sejak tahun 1606. Kapal-kapal Belanda berlabuh di sepanjang pesisir Papua dan mulai melakukan ekspedisi di darat maupun perairan di sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada masa itu, Belanda telah mengambil alih kendali lalu lintas perdagangan cengkih dari Portugis, Spanyol, dan Inggris. Pelaut Belanda bernama Kapten William Jasz mendapat tugas untuk berlayar di sepanjang pesisir barat dan pesisir selatan Papua. Misi utamanya memetakan berbagai tempat yang dilalui, salah satunya muara Sungai Digul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan, pada 1616, dua orang pelaut Belanda bernama Jacob le Maire dan Willem Schouten menjelajahi pesisir utara Papua. "Mereka masuk ke wilayah Biak dan Yapen," kata Hari Suroto kepada Tempo, Senin 16 November 2020. Willem Schouten kemudian memberi nama Kepulauan Biak dengan sebutan Kepulauan Schouten.
Kemudan pada 1623, adalah Jan Carstensz yang berlayar melintasi pantai selatan Laut Arafura. Dari kejauhan, dia melihat salju di puncak gunung tertinggi di Papua. Kala itu, laporannya tentang salju di puncak gunung kepulauan tropis menjadi bahan tertawaan orang-orang Eropa.
Puncak Carstensz. carstensz-expedition.com
Masyarakat Eropa sulit percaya bahwa di daerah dekat katulistiwa terdapat salju. Hingga terbukti bahwa Jan Carstensz tak salah lihat. Puncak tertinggi yang dilihat Jan Cartensz itu sekarang dikenal dengan nama Puncak Jaya.
Pada 1660, Belanda membuat kesepakatan dengan Sultan Tidore. Isinya, tidak ada orang Eropa lain yang boleh masuk wilayah Papua selain Belanda. Dalam perkembangannya, Papua masuk dalam wilayah jajahan Hindia Belanda.
Bagi Belanda, Papua bukanlah sumber pemasukan ekonomi yang berarti. Berbeda dengan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, di mana kolonial Belanda membangun berbagai infrastruktur, menggenjot hasil rempah, dan melancarkan berbagai politik adu domba untuk memecah-belah rakyat.
Kendati Papua diklaim sebagai jajahan Belanda, pemerintah Belanda baru serius menjalankan pemerintahan di pulau ini pada awal abad ke-20. Belanda menjadikan Papua sebagai tempat hukuman. Di sinilah tahanan politik dibuang dan pegawai Belanda yang tidak disiplin akan dihukum dengan ditugaskan ke Papua.
Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih ini melanjutkan, pemerintah Belanda juga mengirimkan antropolog-antropolog untuk mempelajari kehidupan sosial budaya penduduk Papua. "Melalui catatan dan publikasi antropolog-antropolog Belanda itu Papua mulai dikenal dunia," katanya. Hingga kini, Papua masih menjadi surga bagi para peneliti karena banyak yang belum terungkap di sana.