Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembentukan Batalyon Infanteri atau Yonif Penyangga Daerah Rawan di lima wilayah Papua menuai protes karena dinilai berpotensi menciptakan kekerasan dan praktik pelanggaran hak asasi manusia atau HAM. Lantas, siapa penggagas ide pembentukan Yonif baru tersebut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menyebut pembentukan Yonif Penyangga Daerah Rawan di Papua merupakan tindak lanjut dari instruksi Menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya kira ini ide Pak Menhan yang sangat luar biasa,” kata dia setelah acara peresmian lima Yonif tersebut di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2024. Peresmian tersebut dilakukan langsung oleh Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto.
Lima Yonif baru itu mencakup Yonif 801/Ksatria Yuddha Kentswuri bermarkas di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua; Yonif 802/Wimane Mambe Jaya bermarkas di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua; Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha bermarkas di Kabupaten Boven Digoel di Provinsi Papua Selatan; Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha bermarkas di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan; dan Yonif 805/Ksatria Satya Waninggap bermarkas di Sorong, Papua Barat Daya.
Sebelumnya, TNI menyatakan pembentukan lima Yonif di Papua untuk membantu program pemerintah dalam produksi pangan dan konstruksi. Maruli mengungkapkan pembentukan Yonif serupa bakal dilakukan di sejumlah wilayah lain. Rencana itu sedang diatur oleh TNI perihal wilayah sasarannya.
Maruli menyatakan pembentukan batalion baru itu hanya akan dilakukan untuk daerah-daerah tertinggal. "Sedang kami setting di mana kira-kira strategisnya di pertahanan dan membantu daerah tertinggal," kata Maruli.
Menurut dia, pembentukan Yonif ini dapat membantu pertumbuhan ekonomi daerah dan masyarakat setempat. Dia juga menyebut perputaran uang dapat terjadi dengan adanya batalion di wilayah tersebut. "Kalau ada satu Batalion Penyangga Daerah Rawan, ini seribu lebih, paling tidak gaji lebih dari Rp 5 miliar akan berputar di sana," kata Maruli.
Selain itu, Maruli mengklaim adanya pengerahan sekitar seribuan prajurit dalam Yonif itu dapat menciptakan kegiatan informal untuk masyarakat setempat. Menurut dia, TNI bisa membantu pemerintah daerah dalam pembangunan wilayah seperti pembuatan jalan hingga air bersih.
Berbeda dengan klaim Maruli, pengamat militer sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Al Araf, menilai pembentukan lima Yonif di Papua mencerminkan sikap pemerintah yang masih menganggap Papua sebagai daerah konflik. “Pendekatan (pemerintah) tetap mengedepankan penambahan keamanan,” katanya ketika dihubungi, Rabu, 2 Oktober 2024.
Al Araf mengaku heran atas sikap pemerintah yang masih melakukan pendekatan keamanan di wilayah Papua dengan mengerahkan pasukan tambahan. Padahal, pola pendekatan keamanan ini terbukti gagal ketika diterapkan sejak era reformasi. “Hal ini (pendekatan keamanan) sesungguhnya tidak menjawab persoalan,” ujarnya.
Pembentukan Yonif baru ini, kata dia, juga berpotensi menciptakan kekerasan dan praktik pelanggaran HAM di Papua. Kebijakan jangka panjang itu berorientasi pada peningkatan kekuatan pertahanan militer dengan menambah pasukan dan batalyon. “Yang dikhawatirkan dinamika ini tidak akan menyelesaikan masalah, tapi justru akan menimbulkan problem konflik serius di Papua,” katanya.
ANTARA| NOVALI PANJI NUGROHO