KEJAKSAAN Tinggi Jawa Barat kali ini "ditelanjangi" terdakwa. Direktur Firma Marathon, Boy Tamzil 40 tahun, yang dituduh mengorup Perumtei itu, dalam pleidoinya Senin pekan lalu di Pengadilan Negeri Bandung, balik menuduh perkaranya dipaksakan. Di balik perkara itu, katanya, ada sokongan dana dari Perumtel ke kejaksaan. Tuduhannya itu dibuktikan Boy dengan sepucuk surat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, waktu itu, Hamrat Hamid ke Dirut Perumtel, Cacuk Soedarijanto. Surat yang bersifat sangat rahasia itu berisi permintaan bantuan dana penyelesaian perkara Fa. Marathon sebesar Rp 52,4 juta. Penggunaan uang itu, dirinci kejaksaan, untuk membeli alat tulis sampai ke biaya pengamanan, penanggulangan selama persidangan. Sebenarnya, sebelum Boy mengungkapkan di sidang, surat itu telah lebih dahulu bocor kepada wartawan. Bahkan Jaksa Agung, ketika itu, Sukarton Marmosudjono, berang mendengar kabar itu. "Apa pun alasannya, jaksa penuntut umum tak boleh meminta uang kepada pihak lain," katanya. Sebab, katanya, dana operasional tersebut sudah disediakan walau jumlahnya kecil. Ternyata, kini surat itu dipakai Boy -- adik "Raja Komputer" Jusuf Randy yang buron dalam perkara pemalsuan identitasnya: KTP, paspor, dan akta kelahiran -- untuk menelanjangi kejaksaan. "Dengan adanya surat itu, bukankah dakwaan atau tuntutan jaksa akan menjadi cacat," kata Boy sambil membetulkan letak kaca matanya. Boy sebelumnya dituntut Jaksa Djawadin Saragih agar dihukum 11 tahun, denda Rp 30 juta, dan diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara Rp 1 milyar. Ia, menurut jaksa, sebagai rekanan Perumtel terbukti mempermainkan harga pengadaan barang. Misalnya, kata jaksa, daftar harga pabrik yang disampaikannya ke Perumtel, ternyata, palsu. Selain itu, ada pula pejabat Perumtel yang membocorkan rahasia pengadaan barang Perumtel -- serta harga yang ditetapkan -- kepada Marathon. Akibat "permainan" itu harga pengadaan barang untuk Perumtel sejak 1979 hingga 1981 itu membengkak menjadi Rp 1,9 milyar -- belakangan ketahuan membengkak menjadi Rp 2,3 milyar. Semuanya itu masuk ke kantung Boy atau Fa. Marathon. Pada 1983 itu, pihak BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) menemukan permainan itu dan meneruskan kasus itu ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Namun, pada 1987, penyidikan kasus itu dihentikan Jaksa Agung, waktu itu, Hari Soeharto. Alasan resmi menyebutkan bahwa kasus itu bukan tindak pidana. Perkara ini mencuat kembali setelah muncul surat ke Kotak Pos 5000, pada Mei 1988. Ketika itu Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono memerintahkan aparatnya membuka kembali berkas lama itu. Ternyata, pihak kejaksaan, kali ini, bisa menjerat Boy, bersama bekas Direktur Perlengkapan Perumtel, Soemardi dan I Gusti Ngurah Oka, ke meja hijau. Di persidangan, Boy menangkis tuduhan jaksa. Apa yang dilakukannya, katanya, tak ada mengandung manipulasi karena, sebelum barang-barang itu dipesan, telah didemonstrasikan oleh teknisi Fa. Marathon di hadapan pihak Perumtel. Artinya, pemesanan itu terjadi setelah Perumtel setuju harga yang ditawarkan Fa. Marathon. Masih belum cukup, Boy, yang didampingi empat orang pembela, di antaranya Harjono Tjitrosoebono, juga membeberkan aib kejaksaan tadi. Menurut Boy, permintaan dana Rp 52,4 juta dari kejaksaan itu akhirnya disetujui pihak Perumtel Rp 30 juta. Maka, Boy menganggap persidangannya dipaksakan. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Soegihanto, membantah sidang itu "dipaksakan". "Perkara ini disidangkan karena ada fakta-fakta baru," kata Soegihanto lewat Kepala Humas Kejati, Barman Zakir. Mengenai dana Rp 30 juta pihak Kejaksaan Tinggi tak hendak membantahnya. Namun, "Soal itu sudah dianggap selesai oleh Jaksa Agung," katanya. Sementara itu, Kepala Humas Kejaksaan Agung, Soeprijadi, menganggap soal dana itu hanya cara kerja jaksa saja. "Uang itu untuk tugas pengusutan, bukan untuk kepentingan pribadi jaksa," kata Soeprijadi. WY, Hasan Syukur, dan Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini