PENGADILAN Tata Usaha Negara (PTUN), yang siap mengadili tindakan sewenang-wenang aparat pemerintah terhadap rakyat, sudah di ambang pintu. Pemerintah sudah menunjuk 54 orang hakim tingkat pertama dan 3 hakim tinggi untuk bertugas di situ. Sabtu pekan lalu, Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Bidang TUN, Indroharto, disaksikan Ketua MA Ali Said dan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, meresmikan gedung Pengadilan Tinggi TUN di Jalan Cikini, Jakarta. Sesuai dengan rencana, PTUN, yang diundangkan pada 29 Desember 1986, akan "berpraktek" pada Desember 1991, 5 tahun setelah undang-undang itu lahir. Tapi inilah anehnya, belakangan ini, peradilan umum tampaknya sudah ramai-ramai melimpahkan berbagai gugatan masyarakat terhadap pejabat pemerintah ke PTUN. Contohnya, Selasa pekan lalu, Pengadilan Negeri Medan -- lewat putusan sela -- menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan bekas pegawai Perum Pos dan Giro Medan, Taulim Pulimar Matondang. Menurut majelis hakim yang diketuai Hoesnan Abdul Gani, gugatan terhadap Menparpostel dan Perum Pos dan Giro yang dilayangkan ke peradilan umum itu salah alamat. Sebab, "Yang berwenang mengadili perkara itu adalah PTUN," kata Hakim Hoesnan. Begitupun majelis hakim tak lupa menambahkan, karena PTUN secara formil belum diterapkan, maka Taulim bisa menyelesaikan kasus itu ke instansinya, Perum Pos dan Giro. Padahal, Taulim sampai menggugat bekas atasannya dan menuntut ganti rugi sekitar Rp 856 juta itu justru karena sudah patah arang. Semula, Taulim, yang sudah 14 tahun menjadi pegawai pos, tak puas karena diberhentikan tidak atas permintaan sendiri pada Februari 1989. Pasalnya, menurut Taulim, keputusan pemecatan itu ternyata baru sampai ke tangannya pada 17 Oktober 1989. Ia juga mengaku tak pernah sekalipun dipanggil ataupun diberi surat peringatan oleh instansinya. Apalagi diberi kesempatan untuk membela diri. Upaya Taulim, 34 tahun, untuk menyelesaikan persoalan itu, baik ke bekas instansinya maupun ke BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara), tak membuahkan hasil. Waktu itu, BAKN, anehnya, menganggap Taulim -- pegawai Perum -- tak termasuk pegawai negeri. Sementara itu, kuasa hukum Pos dan Giro, Jaya Surjana, menyatakan bahwa pemecatan itu sudah cukup berdasar dan sangat kuat alasannya. Penyebabnya, pada 25 Februari 1989, Taulim divonis 5 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan karena terbukti memalsukan identitas untuk menikah lagi -- tanpa setahu istri sahnya. Tak hanya perkara Taulim yang ditolak pengadilan umum. Gugatan bekas dosen politeknik USU, Raflis, 30 tahun, yang dipecat atasannya, terhadap Rektor dan Direktur Politeknik USU, juga mengalami nasib serupa. Pengadilan Negeri Medan menunjuk PTUN, yang nyata-nyata sampai hari ini belum ada, sebagai lembaga yang berwenang mengadili gugatannya tersebut. Keputusan itu tentu saja diprotes kedua penggugat. Pengacara Taulim dari LBH Medan, misalnya, berpendapat bahwa sebelum PTUN secara formil diterapkan, peradilan umumlah yang mestinya memutuskan gugatan semacam itu. Sebab itu, Taulim naik banding atas keputusan "aneh" tadi. Direktur LBH Medan, Alamsyah, menganggap pertimbangan hakim Medan dalam kasus gugatan Taulim itu terlalu dicari-cari. "Apa keputusan itu cuma lantaran hakimnya berbaju Korpri, sehingga tak berani mengadili pejabat yang Korpri juga?" kata Alamsyah. Kalau tuduhan Alamsyah benar, agaknya nasib Taulim atau Raflis juga tak akan lebih baik, seandainya tahun depan mereka mengulangi gugatan tersebut kembali di PTUN. Sebab, hakim-hakim PTUN itu Korpri juga. Karni Ilyas, Hp. S., Sarluhut Napitupulu (Medan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini