SIAPA bilang hukum agama itu kaku? Buktinya, kasus pernikahan lewat telepon antara Nurdiani dan Ario Sutarto, yang tahun lalu menghebohkan masyarakat, ternyata, disahkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Keputusan hakim itu tentu saja telah memperkaya khazanah hukum perkawinan kita. Majelis hakim agama yang diketuai Djabir Manshur belum lama ini menganggap perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun agama Islam dan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. "Fungsi telepon kan hanya sebagai alat penyambung saja karena kedua mempelai tidak bisa berhadapan muka," kata Djabir Manshur. Dengan munculnya penetapan pengadilan agama itu, pupuslah keraguan masyarakat atas pernikahan "gaya baru" itu. Sepanjang pertengahan tahun lalu, badai polemik soal "nikah telepon" itu sempat menderas. Bermula dari hasrat Ario, 29 tahun, yang sedang kuliah di Uiversitas Indiana, AS, untuk menikah dengan Nurdiani, 29 tahun, salah seorang penyanyi Trio Bebek, yang sudah dipacari Ario selama delapan tahun. Sayang, jarak dan waktu menjadi halangan melaksanakan niat suci itu. Di Jakarta, Ani -- panggilan sehari-hari Nurdiani -- kesulitan biaya jika harus terbang ke Negeri Paman Sam. Ario, yang bertugas sebagai dosen Universitas Terbuka, tak mungkin meninggalkan program studinya di bidang manajemen pendidikan di situ. Alkisah, dari pihak keluarga Ani, muncul ide "menikah lewat telepon", seperti yang pernah terlihat dalam film seri Dynasty di TVRI. Kedua keluarga calon mempelai pun setuju. Hari perkawinan Ani-Ario ditentukan pada Sabtu, tanggal 13 Mei 1989, pukul 10.00 WIB di Jakarta (pukul 22.00 di AS). Pada hari "H" tersebut, di rumah keluarga mempelai putri di daerah Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekitar 100 undangan menyaksikan pernikahan ala Dynasty itu. Di situ ada juga Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Kebayoran Baru Abdurrahman, keluarga mempelai putra, serta para saksi. Melalui sarana telepon internasional Indonesia-AS, pernikahan pun berlangsung. Semua rentetan acara itu -- termasuk dialog dengan mempelai pria di seberang sana -- dengan khusyuk diikuti para undangan, yang mendengarkan lewat pengeras suara. Komunikasi itu juga direkam dengan kaset. Namun, siapa menyangka tata cara perkawinan telepon itu belakangan "digugat" banyak pihak. Direktur Urusan Agama Islam Departemen Agama, waktu itu A. Munir, misalnya, menganggap perkawinan itu tidak sah karena, menurut mazhab Syafii, akad pernikahan itu harus satu majelis. Tak bedanya dengan imam dan makmum jika salat. "Kalau salat di Masjid Istiqlal di-TV-kan, seseorang di rumah tak boleh menjadi makmum dengan melihat televisi," kata Munir. Tak kurang dari Menteri Agama Munawir Sjadzali dan Ketua MUI K.H. Hasan Basri juga menyatakan perkawinan Ani-Ario tidak sah. "Ritual ibadat lewat telepon tak bisa," ujar Hasan Basri. Pernikahan, sambungnya, adalah amanat Allah. Sakral. "Kacau-balaulah jika beragama juga dimodernkan," tambahnya (TEMPO, 17 Juni 1989). Setelah badai kritik itu, belakangan Kepala KUA, Abdurrahman, yang hadir di hari "H", ternyata tak bersedia mencatatkan pernikahan tersebut. Alasannya, selain pengantin pria tak hadir, juga tak pernah menunjuk wakilnya melalui surat kuasa. Sempat pula terjadi "tawar-menawar" agar orangtua Ani, Prof. Dr. Baharuddin Harahap, melakukan pernikahan ulang -- setelah Ario kembali ke Tanah Air. Tawaran itu ditolak pihak keluarga pengantin. "Pernikahan itu sah. Rukunnya kan telah dipenuhi," kata Baharuddin, dosen pascasarjana di IAIN Jakarta dan bekas Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta. Pasangan Ani-Ario juga keberatan jika harus menikah kembali karena mereka menganggap perkawinan mereka sah. Buntu. Akhirnya pada 15 Desember 1989, Baharuddin membawa persoalan tersebut ke pengadilan agama. Ternyata, pada 20 April 1990, majelis hakim agama yang diketuai Djabir Manshur mengabulkan permohonan isbat (pengesahan) nikah itu. Menurut majelis hakim, tak hadirnya mempelai pria tak menghapuskan sahnya perkawinan Ani-Ario. Selain itu, majelis menganggap pengertian satu majelis bukan berarti harus satu tempat. Yang perlu, harus benar urut-urutannya. Artinya kata Djabir Manshur, antara ijab dan kabul tidak disela-sela perkataan atau perbuatan yang bisa membelokkan tujuan ijab kabul. Dalam pertimbangannya, majelis mengambil contoh dua hadis Rasulullah saw., seperti yang diriwayatkan Uqbal bin Amir r.a. dan Umi Habibah. Pada hadis pertama, dikisahkan Rasulullah menguatkan ijab kabul antara seorang pria dan wanita, setelah Nabi menanyai kedua orang itu di tempat terpisah. "Intinya, pernikahan itu adalah kerelaan kedua pihak tidak ada tipuan," tutur Djabir. Pada hadis kedua, Rasulullah sendiri yang menikah dengan Umi Habibah, yang waktu itu berada di tempat lain. Dari kisah itu tampaklah bahwa tak ada hal-hal yang bersifat ta'abbudy dalam pelaksanaan nikah. Artinya, tak ada bentuk yang pasti, bisa bermacam-macam. Sebulan kemudian, perkawinan Ani-Ario pun dicatat oleh KUA. Tentu saja Baharuddin gembira menyambutnya. "Apa yang kami lakukan ternyata diridloi Allah swt.," ucap Baharuddin. Kini, pasangan Ani-Ario, yang belum dikaruniai anak, tinggal di rumah Baharuddin. Bekas kepala KUA, Abdurrahman, yang menghadiri pernikahan, kini enggan berkomentar. "Saya ini cuma orang kecil, yang sekadar menjalankan tugas," ujarnya. Abdurrahman ingin melupakan kisah sedihnya. Akibat kejadian itu, katanya, ia "dirumahkan" selama tiga bulan sampai terpaksa mengajar di Madrasah Al Falah, Mampang, Jakarta. Setelah itu, ia dicopot dari jabatan selaku Kepala KUA dan dipensiunkan pada September 1989. Happy S., Ardian T. Gesuri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini