UPAYA kejaksaan menayangkan koruptor kali ini dibikin kecele oleh pengadilan. Semula Pengadilan Negeri Banjarmasin berkali-kali menolak permohonan kejaksaan untuk menayangkan persidangan kasus korupsi bekas Kepala Cabang PT Pantja Niaga, M. Zein Tabur, sebesar Rp 426 juta lebih. Barulah pada persidangan terakhir, Rabu dua pekan lalu, pengadilan mengizinkan kamera video meliput sidang. Apa lacur? Ternyata, majelis hakim yang diketuai Munziri Syarkawi memvonis bebas terdakwa Zein. Menurut hakim, terdakwa tak terbukti merugikan keuangan negara. Tentu saja kejaksaan bagaikan dua kali menelan pil pahit. Pertama, ya, patahnya harapan kejaksaan untuk memidana Zein. Sekaligus pula tindakan hakim itu mempermalukan kejaksaan karena pidana "tambahan" berupa penayangan tersebut. Padahal, sebelumnya kejaksaan begitu yakin akan kesalahan Zein sehingga menuntut terdakwa dengan hukuman 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, plus uang pengganti Rp 402 juta lebih. Zein, 34 tahun, diseret jaksa ke pengadilan dengan tuduhan mengorup kredit Rp 1 milyar lebih dari BBD Banjarmasin. Dana itu, kata tim penuntut umum yang diketuai Amrullah Asli, disalurkan Zein untuk bantuan modal enam perusahaan ekspor lampit rotan di daerah itu. Hanya saja, kata jaksa, prosedur pemberian modal itu menyimpang dari ketentuan, misalnya, diberikan kepada perusahaan-perusahaan ekspor itu tanpa perjanjian tertulis. Akibatnya, menurut jaksa, kredit BBD sebesar Rp 426 juta lebih menguap. Dari jumlah itu, Rp 268 juta menjadi piutang macet, Rp 62 juta berupa beban bunga kredit, dan Rp 39 juta lebih tak tercatat ke mana perginya. Sisanya, Rp 55 juta lebih, kata jaksa, masuk ke rekening terdakwa di Panin Bank. Dengan kerugian negara Rp 426 juta lebih itu, kejaksaan agaknya menganggap kasus Zein terhitung besar -- setidaknya di Kalimantan Selatan. Karena itu pula, kejaksaan memasukkan kasus tersebut dalam daftar kasus korupsi yang layak ditayangkan di layar kaca. Namun, itulah, rencana penayangan tersebut selalu diprotes pengacara Zein, Papilaya. Seperti juga dalih para praktisi hukum yang tak menyetujui penayangan, Papilaya menilai penayangan bisa melanggar asas praduga tak bersalah. "Bukankah Zein belum tentu bersalah?" kata Papilaya. Sebaliknya, jaksa bersikukuh bahwa sesuai dengan undang-undang, persidangan terbuka untuk umum. Jadi, sah saja ditayangkan. Ternyata, majelis hakim menyetujui argumentasi pembela. Tapi entah mengapa, pada persidangan terakhir sikap majelis hakim berubah. Dengan begitu, akankah kejaksaan tetap menampilkan persidangan tersebut -- setidaknya wajah majelis hakim dan punggung terdakwa -- di layar TV? "Terserah Kejaksaan Agung," ujar Jaksa Amrullah Asli. "Syuting itu kan permintaan Kejaksaan Agung," kata Amrullah, yang menyatakan kasasi atas vonis itu. Selama ini, boleh dikatakan upaya kejaksaan menayangkan terdakwa korupsi hampir tanpa hambatan. Kalaupun didebat pengacara, biasanya hakim mengabulkan penayangan tersebut. Sikap hakim Banjarmasin itu agaknya cukup untuk membuat kejaksaan melengkapi jurus penayangannya. Soalnya, bisa saja terdakwa -- termasuk koruptor dan buron -- yang ditayangkan belakangan ternyata divonis bebas. Atau bisa pula terjadi kekeliruan identitas terdakwa, baik wajah, nama, maupun alamatnya. Setidaknya, agar upaya itu tidak menjadi bumerang buat kejaksaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini