Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font color=#CC0000>Generasi Baru </font>di Ladang Pemetik

Kejahatan pencurian kendaraan bermotor terus marak. Sejumlah modus baru muncul. Dari mematahkan setang hingga memakai mobil boks.

16 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENY WENTI tak lagi beringas. Mengenakan baju tahanan polisi berwarna biru, pemuda 20 tahun itu lebih banyak menundukkan kepala. Rambut di kepalanya nyaris bersih, dicukur plontos polisi dengan gaya tak beraturan.

Sebulan lalu polisi menggulung komplotan Deny di Perumahan DKI, Sun­ter, Jakarta Utara. Kala itu, bersama dua rekannya, ia baru saja ”memetik” sepeda motor Yamaha Mio yang diparkir di salah satu rumah di sana. Sial, baru beberapa langkah komplotan ini membawa hasil ”petikan” itu, aksi mereka ketahuan. Bersama dua temannya Deny ditangkap dan dihajar massa, sebelum akhirnya diangkut polisi ke Kepolisian Resor Jakarta Utara.

”Memetik” adalah istilah untuk mengambil—lebih tepatnya menggondol—sepeda motor di kalangan ma­ling seperti Deny. Kepada Tempo, Deny mengaku terpikat menjadi pemetik setelah diajak dan melihat aksi teman-temannya. Tak banyak menguras tenaga, dan mendapat uang cepat. Sukses menilap dari satu sepeda motor ke sepeda motor lain membuat ia ketagih­an. ”Sebelumnya, saya berdagang,” katanya.

Menurut polisi, modus yang dilakukan kelompok Deny tergolong baru. Kelompok itu tidak mengandalkan kunci leter ”T” yang selama ini menjadi standar maling sepeda motor. Kelompok itu beraksi dengan tangan kosong, tak mengandalkan alat. Ya, mereka mengandalkan kekuatan tangan, mematahkan kunci setang, lalu hup, sepeda motor itu pun mereka bawa kabur setelah dihidupkan dengan cara menghubungkan kabel kunci kontak. ”Ini cara baru pencurian kendaraan bermotor di Jakarta Utara,” ujar seorang polisi di Kepolisian Resor Jakarta Utara.

Sebelum menjalankan aksinya, Deny biasanya melakukan survei lapangan. Mereka berkeliling ke sejumlah tempat dengan naik sepeda motor. ”Satu kendaraan boncengan bertiga,” ujar Deny. Sasaran yang diincar biasanya kendaraan yang diparkir di luar rumah atau teras, terutama yang tidak dilengkapi kunci pengaman. ”Yang ada rantai atau kunci cakramnya tidak,” ujarnya.

Setelah menentukan sasaran, mereka membagi tugas. Satu orang berperan sebagai pengawas, yakni tetap berada di atas sepeda motor, dan dua lainnya ”mengeksekusi” sasaran. Untuk membongkar setang yang terkunci, satu orang memegangi roda, satu lainnya duduk di jok motor. Yang di atas inilah yang bertugas menarik setang dengan cara menyentaknya kuat-kuat. Untuk memetik dengan cara ini, dibutuhkan waktu tak lebih dari tiga menit.

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Utara Komisaris Roma Hutajulu, kelompok Deny merupakan generasi terbaru pelaku pencurian kendaraan bermotor. ”Rata-rata usia pelakunya 20 tahun.”

Dalam catatan Kepolisian Resor Jakarta Utara, hampir setiap bulan selalu muncul wajah baru pelaku pencurian sepeda motor. Kelompok seperti komplotan Deny ini, misalnya, jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan. Mereka biasanya membentuk kelompok yang terdiri atas tiga-lima orang. ”Mereka remaja tanggung yang tidak jelas pekerjaannya,” kata Roma. Kelompok ini juga tak segan-segan menggunakan senjata untuk melukai pemiliknya jika si pemilik melawan atau berusaha mengejar mereka.

Kelompok ini, seperti kelompok yang sudah lebih dulu ada, rata-rata terbentuk berdasarkan asal daerah. Di Jakarta, kelompok pemetik yang terkenal antara lain Geng Pandeglang, Geng Cianjur, Geng Palembang, Geng Lampung, dan Geng Indramayu. Yang terakhir itu di kalangan pemetik juga mendapat julukan Geng Pantura. Ada juga geng nano-nano, istilah untuk kelompok penilap sepeda motor yang anggotanya dari beragam daerah.

Menurut polisi, ”jam kerja” para penilap sepeda motor itu tidak sama satu dengan yang lain. Ada yang khusus siang hari—dengan sasaran antara lain tempat parkir yang penjagaannya kurang ketat—atau sore hari, saat pemilik lengah menjaga sepeda motor di rumah. Adapun kelompok seperti komplotan Deny itu lain lagi. Mereka selalu melancarkan aksi selepas magrib atau menjelang subuh. Biasanya hari kerja mereka Sabtu atau Minggu. ”Pada hari itu, kasus pencurian biasanya meningkat,” ujar Roma.

l l l

KASUS pencurian sepeda motor di Jakarta memang terhitung tinggi. Pada 2008, misalnya, menurut catatan polisi, ada sekitar 9.000 kasus pencurian sepeda motor. Itu berarti sebulan rata-rata 700 sepeda motor raib dari empunya. Di Jakarta Utara sendiri, rata-rata setiap bulan ada 240 sepeda motor yang dilaporkan ”menghilang” dari pemiliknya. ”Rata-rata sehari ada delapan kasus,” ujar Roma.

Sepeda motor yang menjadi sasaran pun kini berubah. Sebelumnya, merek Honda termasuk favorit para pemetik, sedangkan kini yang banyak diincar Yamaha Cripton, Yamaha Vega R, dan Yamaha Mio. ”Karena lakunya cepat,” kata Roma.

Seperti para pemetik, menurut Kepala Satuan Kendaraan Bermotor Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Arie Ardian, penadah sepeda motor curian di Jakarta juga terdiri atas kelompok-kelompok. Demikian pula tingkatan selanjutnya. Para pembuat surat palsu sepeda motor itu pun berkelompok.

Menurut Arie, modus kejahatan pencurian sepeda motor memang makin beragam. Demikian pula cara para pencuri itu menyelamatkan barang curiannya. Geng pencuri tertentu, misalnya, melarikan sepeda motor hasil curian dengan cara dikawal dua sepeda motor, di depan dan di belakang. ”Yang di depan bertugas membuka jalan, motor di belakang menghalangi jika pemiliknya mengejar,” ujarnya. Nah, pelaku di belakang ini biasanya melengkapi diri dengan senjata tajam atau senjata api.

Selain mematahkan kunci setang, modus yang kini tengah dilacak polisi adalah menggondol sepeda motor dengan cara memasukkannya ke mobil boks. Kasus semacam ini pernah dialami Annisa Aprilia, mahasiswi Bina Sarana Informatika, Bekasi. Sepeda mo­tornya, Yamaha Mio, yang diparkir di teras studio musik Apel di Jalan Perjuangan, Bekasi Timur, raib kurang dari sepuluh menit. ”Padahal telah dipasang dua kunci tambahan,” katanya kepada Tempo.

Di luar modus memakai kekerasan itu, ada pencurian sepeda motor dengan cara pelakunya berpura-pura kenal keluarga calon korban. Kasus ini, misalnya, pernah dialami Hendra, warga Tanah Tinggi, Kota Tangerang. Honda Revo miliknya, yang baru diangsurnya dua kali, raib dibawa wanita yang mengaku teman istrinya.

Hasil akhir motor yang dicuri ini memang beragam. Ada yang lantas dipreteli dan dijual onderdilnya secara terpisah-pisah, ada pula yang dijual utuh dengan cara menerbitkan dokumen palsu. Yang terakhir itu dilakukan kelompok lain. Awal bulan ini, misalnya, Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap enam orang yang ditengarai anggota jaringan pembuat dokumen palsu surat-surat sepeda motor yang beraksi di seputar Jakarta.

Kelompok yang diotaki tersangka­ bernama Alex, 36 tahun, itu telah ber­aksi selama dua tahun. Surat-surat tersebut diproduksi dengan cara memindai surat tanda nomor kendaraan (STNK) asli dan memolesnya dengan komputer. Harga STNK ”aspal” yang juga dilengkapi hologram ini Rp 1 juta. Bagi orang awam, memang sulit membedakan STNK palsu dari yang asli. ”Perbedaannya hanya dari gambar hologramnya yang kurang jelas,” kata Arie.

Kendaraan yang telah dilengkapi surat-surat palsu ini lalu ”dilempar” ke daerah tertentu, seperti Malingping di Banten atau Jampang Surade di Sukabumi. Harga sepeda motor dari pemetik Rp 1-2 juta. ”Kalau dijual ke daerah, mencapai Rp 5 juta per unit,” ujar seorang polisi.

Kendati berhasil menyikat sepeda motor dan menyerahkannya ke penadah, bukan berarti para pemetik itu langsung mendapat duit senilai motor yang mereka setor. Kebanyakan penadah membayar dengan mencicil. ”Rata-rata Rp 500 ribu dulu,” ujar sumber Tempo. Deny tak menampik soal pembayaran cicilan itu. Bahkan, menurut dia, ada kalanya sang penadah, setelah membayar uang cicilan pertama, lalu ”lupa”. Cicilan selanjutnya tak dibayar lagi. Uang cicilan pertama itulah yang dibagi-bagi ke anggota kelompok. ”Yang mempertaruhkan nyawa, yang membongkar sepeda motor itu, kadang kebagian Rp 100 ribu,” kata Deny.

Ramidi, Hamludin (Bekasi), Joniansyah (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus