Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stempel itu berbentuk bulat dan bergagang kayu. Melingkar di bantalannya sebuah tulisan ”Komisi Pemilihan Umum PUK SPAMK FSPMI”. Di tengahnya terpampang gambar burung garuda, persis lambang negara Garuda Pancasila. Sayap mengepak lebar dan kepala menoleh ke kiri. Sepintas tak ada yang istimewa dari stempel yang dipesan dengan harga Rp 25 ribu itu.
Tapi kemiripan itu kini jadi berbuntut panjang. Pemilik stempel, Eko Santoso, 29 tahun, dan Erwin Agustian, 30 tahun, sejak Senin pekan lalu diadili di Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa Barat. Kedua buruh PT Sumi Indo Wiring Systems Purwakarta itu didakwa melakukan pelecehan lambang negara, melanggar Undang-Undang Nomor 24/2009 tentang Bendera, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Pasal 69 undang-undang itu menyebut, lambang Garuda Pancasila hanya bisa digunakan oleh pemerintah dan kegiatan kenegaraan. Mereka yang melanggar diancam hukuman setahun penjara dan denda hingga Rp 100 juta. Ancaman itulah yang kini dihadapi dua pekerja pabrik komponen mobil tersebut. ”Kami tak tahu kalau menggunakan lambang Garuda itu pelecehan,” kata Eko kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Walau terancam hukuman, keduanya tidak ditahan.
Kisah stempel garuda ini dimulai pada akhir November tahun lalu. Saat itu Eko dan Erwin, masing-masing ketua dan wakil ketua Komisi Pemilihan Umum Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, tengah mempersiapkan pemilihan pengurus serikat pekerja. Tatkala hendak membuat stempel untuk keperluan administrasi, keduanya pun sepakat memakai logo burung garuda untuk stempel tersebut. Menurut Eko, ia terinspirasi euforia tim nasional sepak bola Indonesia dalam kejuaraan Asean Football Federation beberapa waktu lalu. ”Para suporter saat itu sering berteriak garuda di dadaku,” kata Eko. Nah, garuda di stempel itu, ujar Eko, maksudnya wujud nasionalisme mereka juga.
Semua surat undangan pemilihan pun mereka ketok dengan stempel itu. Salah satu surat hinggap di tangan Irham bin Muhyi Effendi. Irham adalah sekretaris Panitia Unit Kerja SP-Lam Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI), di pabrik yang sama dengan Eko dan Erwin. Menilai ada yang tak benar, Irham pun mengadukan soal stempel ini ke Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Purwakarta. ”Kami menduga motifnya karena persaingan organisasi,” kata Erwin.
Dua organisasi serikat pekerja ini memang penuh kompetisi. Eko dan Erwin menganggap serikat mereka selama ini lebih unggul ketimbang FSPSI, yang lebih dahulu berdiri di pabrik itu. Mereka kini sudah memiliki 506 anggota, sementara FSPSI baru 156. Keduanya mengaku sudah berusaha menemui Irham dan pengurus FSPSI yang lain. Mereka ingin menyelesaikan kasus ini di meja perundingan. ”Tapi mereka selalu menghindar,” kata Eko. Para pengurus FSPSI ini juga enggan meladeni Tempo saat berkunjung ke sekretariat mereka.
Bos Eko dan Erwin di serikat pekerja itu, Fuad B.M., mengaku sudah mendatangi polisi, jaksa, hingga bupati agar kasus ini diselesaikan secara musyawarah. ”Tapi mereka semua ngotot kasus ini dibawa ke pengadilan,” katanya. Pengacara mereka, Iman B. Santoso, dalam sidang perdana kemarin, sempat berharap ketua majelis hakim Ifah Sudewi menawarkan jalan mediasi. Tapi harapan itu kandas. ”Hakim tetap tancap gas,” kata Iman. Menurut Iman, kasus ini bisa berdampak buruk untuk kliennya itu. Keduanya bisa terancam dipecat dari pabrik tempat mereka sudah bekerja selama delapan tahun ini.
Iman menyoroti sikap Kejaksaan Negeri Purwakarta yang bersemangat memproses kasus ini. Menurut dia, kasus stempel garuda ini hanya perkara kecil. Kejaksaan harusnya lebih mengurus kasus besar yang kini tak rampung-rampung, misalnya perkara korupsi yang diduga melibatkan Ketua Komisi Pemilihan Umum Purwakarta dengan kerugian negara Rp 1,2 miliar. Atau kasus korupsi yang diduga melibatkan kepala dinas pendidikan dengan kerugian negara Rp 2 miliar. ”Masyarakat lebih menunggu penuntasan kasus-kasus itu,” katanya.
Kejaksaan tak menanggapi keberatan sekaligus kritik Iman. Menurut Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Purwakarta Yudi Prihastoro, kasus pelecehan lambang negara ini sudah cukup unsur pelanggarannya. ”Saksi dan barang bukti sudah kuat,” katanya. Ia mengakui kejaksaan memang lebih cepat memproses kasus ini ketimbang kasus korupsi lain. Bila menangani kasus korupsi, ujarnya, mereka sering kesulitan mengumpulkan bahan. ”Kasus pelecehan lambang negara itu lebih gampang.”
Mustafa Silalahi (Jakarta), Nanang Sutisna (Purwakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo