Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggilan Komisi Yudisial itu mempertemukan kembali trio hakim yang dulu menyidangkan perkara Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sudah sebulan ketiganya tak lagi bertugas di lingkungan pengadilan yang sama. Nugroho Setiadji kini jadi hakim pengawas di Mahkamah Agung. Prasetyo Ibnu Asmara mendapat promosi menjadi Ketua Pengadilan Negeri Tegal, Jawa Tengah. Sedangkan Herry Swantoro masih memimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selasa dua pekan lalu ketiganya mendatangi gedung Komisi Yudisial. Mereka datang memenuhi panggilan pemeriksaan berkaitan dengan tuduhan adanya pelanggaran perilaku hakim di persidangan Antasari. Dipimpin Herry, majelis hakim saat itu memvonis Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu 18 tahun penjara. Menurut majelis, Antasari ikut bersalah turut serta menganjurkan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Di ruang pemeriksaan lantai lima Komisi Yudisial, tiga hakim itu sudah ditunggu sahibulbait, tim panel yang menelisik tuduhan itu. Tim terdiri atas tiga komisioner: Suparman Marzuki, Taufiqurrohman, dan Jaja Ahmad Jayus. Mereka dibantu dua tenaga ahli yang juga bekas hakim tinggi, Hilman Purwanasuma dan Agus Djunaedi Iskandar. "Kami panggil tiga hakim itu karena indikasi pelanggarannya kuat," kata Suparman Marzuki, Selasa pekan lalu.
Tim memeriksa ketiga hakim tersebut selama dua jam dalam dua tahap. Pertama, mereka hanya memeriksa Nugroho karena dianggap sebagai konseptor putusan itu. Selanjutnya, tim memeriksa Prasetyo dan Herry secara bersamaan. Tim mencecar ketiganya seputar tuduhan diabaikannya sejumlah fakta persidangan oleh mereka.
Sumber Tempo di Komisi Yudisial bercerita, dua pekan sebelumnya, tim panel sebenarnya sudah menyimpulkan adanya pelanggaran perilaku hakim dalam perkara itu. Bahan yang dipakai, kata dia, hasil pemeriksaan sebelumnya. Selain memeriksa Maqdir Ismail, pengacara Antasari yang menjadi pelapor, tim sudah memeriksa ahli forensik Mun'im Idris dan ahli balistik Maruli Simanjuntak.
Sumber Tempo menceritakan bagaimana proses pemeriksaan itu. Menurut dia, saat itu para hakim diposisikan seolah-olah bak pihak yang pasti bersalah. Bahkan seorang pemeriksa sempat mengancam akan "menonpalukan" mereka karena bukti pelanggaran kuat. Saat memeriksa, ujar sumber ini, tenaga ahli juga memberondong mereka, yang intinya meminta tiga hakim tersebut mengakui kekeliruannya. "Pemeriksaan itu sebenarnya menyalahi prosedur," katanya.
Suparman mengklaim pemeriksaan sudah benar. Kepada Tempo, Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial itu sempat membenarkan pihaknya sudah menyimpulkan adanya pelanggaran oleh trio hakim Antasari itu. Pekan ini, kata dia, akan digelar rapat pleno untuk membahas sanksi yang akan dijatuhkan. "Kalau hakimnya dipanggil, berarti pelanggarannya sudah ditemukan," katanya.
Belakangan, Suparman meralat pernyataannya itu. Ia mengatakan tim panel baru sebatas menemukan indikasi kuat terjadinya pelanggaran. Rapat pleno tujuh komisioner pekan ini, ujarnya, yang akan memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran itu. "Hasilnya nanti akan kami serahkan ke MA," kata dia.
Para hakim Antasari sendiri tak mau banyak berkomentar tentang tuduhan dan hasil pemeriksaan itu. "Kami sudah bekerja profesional," kata Herry Swantoro kepada Tempo.
ANTASARI Azhar pun menabuh gendang perlawanan beberapa saat setelah vonisnya dibacakan awal Februari 2010. Bekas jaksa senior itu langsung meminta banding. Sekitar dua pekan kemudian ia juga melaporkan dugaan kekeliruan putusan hakim ke Komisi Yudisial. Saat itu Komisi Yudisial masih dipimpin Busyro Muqoddas, yang kini Ketua KPK.
Dasar pengaduan Antasari adalah pengabaian sejumlah fakta persidangan oleh hakim. Antasari menunjuk dikesampingkannya kesaksian ahli forensik dan ahli balistik. "Kalau fakta itu tak diabaikan, saya bisa bebas," katanya.
Pengacara Antasari, Maqdir Ismail, memerinci fakta persidangan itu. Misalnya keterangan ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Mun'im Idris. Di persidangan, Mun'im mengatakan, saat memeriksa jenazah korban, kondisinya sudah tidak asli. Kepala Nasrudin sudah botak dan luka di kepalanya sudah dijahit. Padahal, kata Mun'im, keberhasilan pengungkapan perkara tergantung keaslian barang bukti.
Fakta persidangan lain yang dikesampingkan, kata Maqdir, keterangan ahli balistik Maruli Simanjuntak. Maruli mengatakan dua peluru 9 milimeter yang ditemukan di kepala korban tidak cocok dengan bukti senjata api di persidangan, yaitu revolver kaliber 0,38 tipe S dan W. Maruli menyebut peluru itu untuk senjata api jenis FN. Saat diperiksa Komisi Yudisial, Mun'im dan Maruli mengungkapkan kesaksian yang sama.
Empat bulan berselang, hukuman Antasari dikuatkan pengadilan tinggi. Belakangan Mahkamah Agung juga menguatkan vonis itu. Dalam putusannya, MA menyebutkan sejumlah bukti jika Antasari bersalah. Misalnya, ada fakta Antasari bersedia mengganti uang untuk operasi lapangan. Fakta lainnya, setelah pembunuhan, terdakwa lain Sigid Haryo Wibisono terbukti berbicara dengan Antasari soal kejadian itu.
Putusan kasasi ini berdampak pada laporan Antasari ke Komisi Yudisial. Sebelumnya, Komisi Yudisial yang dipimpin Busyro memutuskan tidak menemukan adanya pelanggaran hakim. Alasannya, menurut komisioner periode itu, Soekotjo Soeparto, tuduhan mengabaikan barang bukti sudah menyangkut keyakinan hakim dan masuk ke materi perkara. Sikap itu, kata Soekotjo, makin bulat setelah vonis Antasari dikuatkan hingga tingkat kasasi. "Laporan itu kami anggap selesai," katanya.
Tapi kubu Antasari terus melawan. Selain menyiapkan upaya peninjauan kembali, adanya pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dalam putusan kasasi dipakai Antasari sebagai penguat laporan ke Komisi Yudisial. Dalam putusan kasasi itu, hakim agung Surya Jaya berbeda pendapat dengan ketua majelis Artidjo Alkostar dan anggota majelis lain, Moegihardjo. Menurut dia, hakim pengadilan negeri seharusnya tidak mengesampingkan fakta persidangan.
Laporan itu kembali dilirik ketika komisioner baru pimpinan Eman Suparman mulai bekerja Januari lalu. Menurut sumber Tempo, salah satu alasan laporan itu kembali diusut adalah peran "agen" Antasari yang bisa menembus Komisi. Skenarionya, kata sumber itu, Komisi memutus adanya pelanggaran hakim sehingga menjadi celah menggugurkan vonis Antasari. Suparman membantah tudingan itu. "Di negara ini memang banyak ahli tafsir," katanya.
Laporan itu ditelisik, kata dia, karena adanya indikasi awal pelanggaran hakim. Dasar hukumnya surat kesepakatan bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial pada 2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim. Butir kesepuluh SKB itu, kata Suparman, menyebut hakim wajib menghindari pengabaian fakta persidangan.
Komisi Yudisial lalu membentuk tim panel. Tim inilah yang kemudian bekerja. Pekan ini, Komisi Yudisial berencana melansir hasil kerja tim itu. Kubu Antasari sendiri harap-harap cemas menanti temuan itu. Jika ada pelanggaran, kata Maqdir, temuan itu akan menjadi salah satu argumen mengajukan PK. Namun, menurut Suparman, kalaupun ada pelanggaran, temuan pihaknya tidak bisa menjadi novum alias bukti baru.
Ketua MA Harifin Tumpa menjamin, apa pun temuan Komisi Yudisial tidak akan mengubah putusan. Sejak awal Harifin menentang langkah Komisi Yudisial mengusut laporan Antasari ini karena dinilainya yang diperiksa Komisi Yudisial masalah teknis yudisial, bukan pelanggaran perilaku hakim. Soal temuan itu bisa dijadikan novum atau tidak kalau PK diajukan, kata Harifin, tergantung majelis hakimnya nanti.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) cemas jika Komisi Yudisial memutus ada pelanggaran hakim perkara Antasari itu. Menurut Ketua Mappi Hasril Hartanto, putusan itu akan menjadi preseden buruk. Keyakinan hakim soal barang bukti, kata dia, diatur Kitab Undang-Undang Acara Pidana. "Sedangkan dasar hukum yang dipakai Komisi Yudisial hanya SKB."
Hasril juga mempertanyakan sikap Komisi Yudisial yang membebankan tuduhan hanya pada hakim pengadilan negeri. Hakim tinggi dan hakim agung yang menguatkan putusan, kata dia, tidak diperiksa. Suparman menjawab ringan soal ini. "Karena yang diadukan cuma hakim pengadilan negeri," katanya.
Anton Aprianto, Ayu Cipta (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo