Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Rusuh Dinihari di Kerobokan

Huru-hara meledak di penjara Kerobokan, Denpasar, saat petugas badan antinarkotik akan menangkap bandar narkoba. Diduga bandar yang juga bekas anggota Densus 88 itu anggota sindikat narkoba Timur Tengah.

4 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana hiruk memecah ketenangan pagi di kawasan Pantai Sanur, Bali. Jumat dua pekan lalu, sejumlah pria bersitegang dengan seorang lelaki di area parkir Toko Lari’s di Jalan Hang Tuah. Pria bertubuh sedang itu sempat melakukan perlawanan dan meronta-ronta saat hendak dibekuk. Tapi beberapa detik kemudian tubuhnya terlihat lemas tatkala salah seorang lelaki yang membekuknya mengeluarkan sebuah kaleng minuman ringan dari dalam tas pria itu.

Para ”pengeroyok” itu bukan preman. Mereka petugas Badan Narkotika Nasional. Adapun kaleng yang ditunjukkan itu berisi benda yang membuat lelaki pembawa tas itu tak berkutik. Di kaleng itu ada bungkusan bening yang di dalamnya teronggok sabu-sabu seberat sekitar 187,25 gram. Interogasi pun langsung gencar dilakukan.

Dari rentetan pertanyaan, lelaki itu pun membuka mulut. Ia mengaku namanya Dedik Supramono alias Dodik dan berasal dari Malang, Jawa Timur. Umurnya 26 tahun. Di dalam tas Dedik polisi juga menemukan lembaran tiket pesawat yang sudah terpakai dua hari lalu dengan rute Jakarta-Denpasar. ”Dia ini jaringan narkotik Jakarta-Bali,” kata Direktur Narkotika Alami BNN Benny Mamoto.

Kepada Tempo Benny menyatakan pasukannya sebenarnya sudah lama mengincar Dedik berikut jaringannya. Kegiatannya bolak-balik Jakarta-Bali terus dalam pantauan. Hanya, memang tak mudah ”menyelesaikan” Dedik. Badan Narkotika khawatir jika salah perhitungan, justru target utama, membongkar dan menangkap pentolan jaringan itu, gagal total. Kepada petugas, kendati warga Malang, Dedik mengaku memiliki tempat tinggal di Desa Kesiman Petilan, Denpasar. ”Gerak-geriknya sudah kami amati sejak tiga bulan silam,” kata Benny.

Dedik mengaku perannya hanya sebagai pengantar. Ia membawa barang haram pesanan dari Jakarta ke Bali atau sebaliknya. Setelah diinterogasi berjam-jam, ia akhirnya mengaku anggota jaringan narkotik. Lawatannya ke pulau seribu pura itu juga dalam rangka mengantar narkoba. Dari mulut Dedik itu petugas lalu menangkap tiga anggota jaringan Dedik. Pekerjaan mereka sama dengan Dedik, menjadi kurir narkoba. Mereka, Yofie Iswanto, 30 tahun, Muhammad Najemudin (19), dan Tetep bin Oban alias Atep (20), semua dibekuk di Bali.

Awalnya Dedik menutup mulut perihal kepada siapa barang haram itu hendak ia setor. Polisi akhirnya memakai taktik lain, yakni rekan-rekannya diinterogasi agar buka mulut mengenai penampung di Bali itu. Rekan-rekan Dedik pun buka mulut dan menyebut sebuah nama: Agus Riyadi. Dedik pun tak berkutik. Ia mengakui Agus memang orang yang ditujunya untuk disetor sabu-sabu.

Badan Narkotika langsung menelisik sosok Agus Riyadi. Agus, 30-an tahun, diketahui berstatus narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar. Ia dihukum karena kasus narkotik. Sebelum menjadi penghuni penjara terbesar di Bali itu, ia pernah bertugas di Kepolisian Daerah Bali (lihat ”Burung Hantu Terbenam di Cempaka”).

Benny dan anak buahnya tak mau gegabah menangkap Agus. Lokasi Agus di penjara Kerobokan menjadi salah satu pertimbangan. ”Penangkapan di penjara tetap saja memiliki risiko besar,” ujar seorang penyelidik. Sepanjang Jumat malam dua pekan lalu, rapat pun digelar untuk membahas penangkapan Agus. Keputusan akhirnya dijatuhkan Benny. Mereka akan masuk ke Kerobokan pada Sabtu dinihari, waktu yang dianggap tepat untuk ”menjemput” Agus.

l l l

Jam menunjukkan pukul 24.00 lebih ketika sekitar 15 anggota Badan Narkotika masuk penjara Kerobokan. Dipimpin Benny, semua wajah anggota tim ditutupi masker dan di tangan mereka tergenggam senjata. Benny memegang surat penangkapan Agus Riyadi. Surat bernomor SP.KAP/qk/SPK/VI/2011 itu sebelumnya sudah dikirim ke kepala penjara Siswanto. Ketika menemui tim Benny, pihak penjara menawarkan mereka yang menjemput sendiri Agus di selnya di blok H. ”Tawaran itu kami tolak,” kata Benny. ”Kami khawatir ada yang disembunyikan.” Pasukan Benny langsung bergerak ke sel Agus.

Ketika tiba di blok H, di sana tak terlihat Agus. Tim mendapat info Agus tengah berada di blok C2. Pasukan Benny langsung beranjak ke blok yang dimaksud. Benar, di sana aparat BNN menemukan Agus yang tengah asyik-masyuk berpesta. Dari dalam kamar tercium bau alkohol serta terlihat kartu-kartu domino yang digunakan berjudi. Di dalam sel itu tim itu menemukan beberapa bungkus plastik kecil sabu-sabu. Mereka kemudian dikumpulkan untuk dilakukan tes urine. ”Ketika hendak dilakukan tes urine, salah seorang napi berteriak memprovokasi,” ujar Benny. ”Maka pecahlah kerusuhan itu.”

Gelombang ricuh langsung meletus di blok tersebut. Para narapidana mengamuk, melemparkan apa saja yang ada di dalam sel: potongan kayu, bangku, meja, kursi, barbel, serta merusak apa saja yang ada di depan mereka. Seorang petugas BNN dan kepala penjara Siswanto terluka karena amuk itu. Menjelang subuh kerusuhan di penjara berkapasitas 300 orang yang kini disesaki 1.200 orang itu makin luas. Mereka terus mengamuk dan mencoba mendekati tim BNN. Aparat pun mundur hingga ke halaman penjara. Dinihari itu puluhan aparat Kepolisian Daerah Bali diterjunkan untuk menjinakkannya.

Kerusuhan itu membuat Kerobokan porak-poranda. Siswanto menghitung kerugian akibat huru-hara itu mencapai Rp 2,9 miliar. Kerugian meliputi kerusakan 18 unit sarana di enam wisma, kantor, komputer, perangkat CCTV (­closed-circuit television), pagar, serta sejumlah fasilitas lainnya. Tapi soal jumlah kerugian yang sebesar itu, Badan Narkotika meragukannya. ”Terlalu besar. Berbeda dengan perkiraan kami,” ujar juru bicara BNN, Sumirat Dwiyanto. Kerusuhan di Kerobokan itu kini kemudian memicu perdebatan lain, yakni legal-tidaknya BNN melakukan penggerebekan semacam itu.

Kerusuhan itu juga menyelamatkan Agus Riyadi. Ia selamat dari penangkapan Badan Narkotika. Menurut Sumirat, pihaknya tetap akan segera menangkap Agus karena banyak keterangan yang harus dikorek dari narapidana narkoba itu. ”Terutama jaringan narkotik yang dijalankannya dari dalam penjara,” katanya.

Benny tak membantah perihal keterlibatan Agus dalam jaringan narkotik kakap. Menurut dia, dari dalam penjara, Agus memang mengendalikan peredaran narkoba di sejumlah kota besar Indonesia. Menurut sumber Tempo, Badan Narkotika sebenarnya juga sudah menyadap pembicaraan Agus dengan sejumlah kurir yang mengantar narkoba—khususnya sabu-sabu—yang diperintahkan Agus. Penyadapan ini pula yang menurut sumber itu menggiring polisi menemukan Dedik, yang dibekuk di kawasan Pantai Sanur, Jumat dua pekan lalu itu.

Seorang penyelidik berbisik, Agus disinyalir terlibat dalam jaringan sindikat narkotik internasional yang berasal dari Iran. Kehadiran sindikat dari Timur Tengah ini sudah masuk pantauan BNN sejak dua tahun silam. Jaringan ini memakai celah apa pun untuk memasukkan barang itu ke Indonesia, dari lengahnya penjagaan di bandara hingga pelabuhan kecil atau jalan-jalan tikus di perbatasan negara.

Kedok membawa dan memasukkan benda itu juga beraneka ragam, misalnya menjadi turis atau menyamar sebagai pengungsi. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia merupakan salah satu sasaran sindikat ini. Sebab, dengan ongkos produksi sekitar Rp 15 juta, jaringan ini bisa menghasilkan satu kilogram sabu-sabu, yang di pasaran harganya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. ”Jadi keuntungannya bisa seratus kali lipat,” ujar sumber itu.

Belum terang benar memang posisi Agus Riyadi dalam jaringan tersebut. Tapi diduga Agus salah satu orang penting dalam jaringan di Indonesia. ”Minimal ia bos untuk jaringan yang meliputi Jakarta-Denpasar,” ujar seorang penyelidik. Benny menyatakan pihaknya memang masih akan menelisik peran Agus dalam jaringan narkoba Timur Tengah itu. ”Masih banyak yang harus dikonfrontasi kepada dia,” kata Benny.

Benny Mamoto menolak jika pihaknya disebut gagal menangkap Agus Riyadi. Menurut dia, kerusuhan di Kerobokan itu hanya menunda penangkapan. ”Rugi kalau terhenti, karena mereka, para bandar narkoba itu, tak pernah berhenti,” katanya.

Sandy Indra Pratama


Beraksi dari Balik Bui

Penjara bukan tempat angker bagi pesakitan, termasuk narapidana kasus narkoba. Tak hanya menjual, mereka acap menggelar pesta narkoba di sana. Polisi, juga aparat Badan Narkotika Nasional, berkali-kali menggelar operasi khusus untuk menangkap otak penjual narkoba yang mendekam di penjara.

1. Penjara Narkotika Nusakambangan

Februari 2011
Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Kepolisian Resor Cilacap membongkar jaringan narkotik dari dalam Penjara Khusus Narkotika di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Gembongnya Giam Hartoni Jaya Buana, 51 Tahun. Dia dicokok bersama 380 gram sabu-sabu di kamarnya. Meski di penjara, berbekal telepon seluler, Hartoni leluasa mengendalikan bisnis haramnya dari dalam penjara.

8 Maret 2011
BNN menangkap pula Kepala Penjara Narkotika Nusakambangan, Marwan Adli. Ia dituduh berkongkalikong dengan Hartoni. Diduga berkat keistimewaan fasilitas yang diberikan Marwan, Hartoni bebas melakukan kejahatannya itu.

2. Penjara Banceuy, Bandung

7 Maret 2011
Seorang sipir berinisial CU, 53 tahun, ditangkap polisi di kediaman dinasnya di kompleks penjara Banceuy. Ia diduga menjadi kaki tangan gembong narkotik yang mendekam di dalam penjara Banceuy. Polisi menyita 2,3 gram sabu.

9 Maret 2011
Satu kilogram ganja ditemukan di dalam kompleks penjara narkotika Banceuy. Daun ganja kering itu dibiarkan teronggok tanpa pemilik. Petugas menduga ganja itu hendak diedarkan di dalam bui khusus narapidana narkoba itu.

3. Penjara Tanjung Gusta, Medan

6 Februari 2011
Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap TH alias AW, 38 tahun, di penjara Tanjung Gusta. Narapidana ini diduga mengendalikan pabrik narkobanya di Jelambar, Jakarta Barat. Pabrik narkotik klandestin yang dijalankannya itu mampu memproduksi 25 kilogram sabu dalam satu tahun dengan omzet Rp 37,5 miliar per tahun.

4. Penjara Salemba, Jakarta

30 Juni 2011
Seorang narapidana berinisial H diduga mengendalikan peredaran pil ekstasi dari balik bui. Informasi itu didapat dari AS, yang ditangkap Kepolisian Resor Jakarta Selatan sebelumnya. Bermodal telepon seluler, H disinyalir leluasa mengatur bisnis haramnya, yang jaringannya menyebar hingga ke Hong Kong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus