Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN hanya Asian Agri yang kesandung perkara pajak, PT Adaro Indonesia pernah juga terbelit kasus serupa. Bedanya, Asian Agri diduga menggelapkan pajak dengan merekayasa biaya dan penjualan, dengan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Sedangkan perusahaan tambang batu bara itu dituding manipulasi harga (transfer pricing) dalam kegiatan ekspor produksinya.
Perkara pelanggaran pajak ini mencuat setelah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Direktorat Jenderal Pajak melaporkan kontrak penjualan PT Adaro ke perusahaan afiliasinya di Singapura, Coaltrade Service International Ltd., kepada Kejaksaan Agung, November tahun lalu. Kedua instansi ini mengendus adanya praktek transfer pricing dalam kontrak penjualan pada 2005-2006.
Kasus ini bermula dari upaya perusahaan yang berlokasi di Kalimantan Selatan itu menghindari pajak penghasilan di Indonesia yang besarnya 45 persen. Dengan menggandeng pengerat pajak, mereka mengekspor batu bara ke anak perusahaan di Singapura, Hong Kong, dan negara-negara kawasan Karibia dengan harga rendah, sebelum akhirnya dilempar ke pasar dunia.
Tujuannya hanya satu: mencatatkan pendapatan lebih kecil sehingga pajak yang wajib dibayar menjadi ringan. Dalam kontrak penjualan dan pembelian batu bara antara Adaro dan Coaltrade periode 2005-2006, harga maksimum dipatok US$ 32 atau Rp 300 ribu per ton. Harga ini jauh di bawah pasar yang mencapai US$ 40-48 per ton. Selanjutnya, perusahaan terafiliasi ini menjual batu baranya sesuai dengan harga pasar ke negara tujuan ekspor.
Tuduhan transfer pricing tak bisa didebat Adaro. Cepat ketahuan karena Singapura menerapkan pajak hanya 20 persen atau 25 persen lebih rendah dari Indonesia. Adaro dinilai berusaha mengeruk laba dari selisih pajak. Diperkirakan, selisih antara hasil penjualan Adaro dan penjualan berdasarkan harga pasar, jika dirupiahkan, mencapai Rp 9,121 triliun. Kalau dihitung nilai royaltinya saja yang 13,5 persen, potensi pemasukan negara yang hilang mencapai Rp 1,231 triliun.
Kejaksaan Agung lantas membentuk tim untuk mengusut laporan tersebut. Tapi, pada Februari lalu, kasus ini disetop karena tak cukup bukti. ”Kasus Adaro sudah diteliti dan tidak ada masalah,” kata Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Wishnu Subroto.
Kesimpulan penghentian penyelidikan, menurut Wishnu, didasarkan pada hasil penelitian terhadap dokumen dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Lembaga ini pun setuju bahwa transaksi Adaro sesuai dengan aturan.
Hasil penyelidikan menyimpulkan PT Adaro telah melunasi semua kewajiban dalam ekspor batu bara sejak 2001 sampai sekarang. Kewajiban tersebut antara lain pembayaran pajak, royalti, dan jumlah tonase ekspor, sudah dilunasi menurut ketentuan.
Kasus seperti Adaro memang memungkinkan diselesaikan di luar pengadilan dengan cara melunasi semua utang pajak. Cara ini pula yang ditempuh bos Ramayana, Paulus Tumewu. Kasus dugaan penggelapan pajak yang menjeratnya selesai setelah melunasi pajak beserta denda hingga ratusan persen.
Namun kasus Adaro belum berakhir benar. Pekan lalu anggota Komisi Pertambangan Dewan Perwakilan Rakyat berancang-ancang mengajukan hak angket. ”Bagaimanapun kasus transfer pricing harus diusut tuntas agar jangan terulang,” ujar Alvin Lie, anggota komisi itu.
Adaro menepis tuduhan itu. Menurut Presiden Direktur Adaro, Boy G. Thohir, memang ada kekurangan pajak ratusan miliar rupiah. Tapi kekurangan pajak itu bukan karena transfer pricing kepada Coaltrade, melainkan terkait dengan beban leveraged buy out (LBO), yakni pinjaman oleh pemegang saham, yang dipakai Adaro. Sehingga beban cicilannya kepada perusahaan bisa mengurangi pajak Adaro. Boy mengaku, Adaro selalu melakukan kegiatan dengan berpatokan pada harga pasar dan legal.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo