Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG pekan lalu Hotman Paris Hutapea enteng senyum. ”Dalam seminggu bisa menang tiga perkara besar. Mana ada?” katanya dengan aksen Bataknya. ”Hanya ada di kantor Hotman Paris.” Memang, dua hari berturut-turut, pekan lalu, dua perkara ”panas” dimenangkan pengacara yang pernah dijuluki harian The New York Times Amerika itu sebagai salah satu pengacara top dunia.
Pengadilan Kotabumi di Lampung Utara dan Pengadilan Gunung Sugih di Lampung Tengah mengabulkan gugatannya atas Salim Group—bekas konsorsium terkuat di Indonesia. Kelompok usaha milik keluarga Sudono Salim alias Liem Sioe Liong itu dinyatakan melanggar perjanjian penyerahan aset dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pengadilan menghukum Salim membayar ganti rugi pada PT Garuda Panca Artha milik taipan Gunawan Yusuf, klien Hotman yang tak lain pembeli pabrik gula eks Salim Group di Lampung: Sugar Group Companies.
Sebelumnya, satu perkara lagi ada di Medan juga dimenangkan. Adelin Lis, yang dituduh membalak di Taman Nasional Batang Gadis—dan kini buron entah ke mana—diputus bebas oleh hakim, 5 November lalu. Padahal jaksa mengancamnya dengan tuntutan 10 tahun penjara. Kini semua orang meributkan perkara yang konon merupakan pembalakan terhebat di Indonesia itu.
Laga perkara antara Garuda Panca Artha versus Salim Group, yang kini dikemudikan Anthony Salim, telah berjalan setahun lebih di dua pengadilan di pedalaman Lampung itu. Total aset diperkirakan bernilai US$ 3,3 miliar. Selain Salim, Garuda juga menggugat Sumitomo Corp. dan Marubeni, dua ”raksasa” keuangan Jepang. Ketiganya juga menggaet pengacara top untuk membela perkaranya, di antaranya Todung Mulya Lubis dan O.C. Kaligis.
Geger perkara ini berawal ketika Gunawan Yusuf membeli Sugar Group Companies dalam lelang di BPPN, 4 Maret 2002. Belakangan, pada 23 Agustus 2006, Marubeni Corporation melayangkan tagihan utang kepada SGC. Marubeni menyatakan memiliki tagihannya yang berasal dari perjanjian utang dengan Salim Group pada Oktober 1999.
Salim diketahui telah menyerahkan seluruh asetnya, yang meliputi 108 perusahaan, untuk menutupi utang senilai Rp 52 triliun yang berasal dari bantuan likuiditas Bank Indonesia, sejak 1998. Padahal, dalam perjanjian penyerahan aset (master of settlement and acquisition agreement—MSAA) dinyatakan aset tersebut harus dalam keadaan bersih dari utang dan jaminan (liens).
Dari situlah terungkap bahwa setelah menyerahkan aset itu kepada negara melalui BPPN, kelompok Salim masih menandatangani akta hak tanggungan dengan kuasa menjual dengan Marubeni Corp. Pihak Salim saat itu menyatakan masih berwenang melakukan pengikatan terhadap tanah dan bangunan tersebut. Salim ternyata juga menyembunyikan sebagian tanah SGC dengan menggunakan nama dua perusahaan fiktif, yaitu PT Indo Lampung Bersama Makmur (ILBM) dan PT Indo Lampung Cahaya Makmur (ILCM). Hak tanggungan itu bahkan diikat akta fiducia dan terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Gunawan tentu saja merasa dirugikan, karena daftar harta dan jaminan dalam perjanjian MSAA yang tidak sesuai dengan kenyataan. ”Bukan saja negara yang dirugikan, melainkan juga pemenang lelang,” kata Hotman. Merasa diperdaya, Gunawan kemudian mengadukan Salim ke Markas Besar Polri. Ia juga menggugat Salim dan mereka yang terkait penjaminan tersebut di Lampung, Oktober 2006.
Banyaknya jumlah tergugat hampir menyerupai daftar belanja. Di Kotabumi ada 48 tergugat. Mulai dari seluruh keluarga Salim, yakni Sudono Salim, Anthony Salim, dan Andree Halim, lalu petinggi Marubeni Corp, Tim Pemberesan BPPN, Menteri Keuangan, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulang Bawang, sampai Camat Menggala, M. Basri. Di Gunung Sugih, ”daftar belanja” meliputi 53 tergugat.
Di Kotabumi, majelis hakim menyatakan 43 tergugat—di antaranya Salim Group dan Marubeni—terbukti melawan hukum karena melanggar pasal 8.5 perjanjian penyerahan aset (MSAA). Di sana dinyatakan, aset harus bersih dari utang dan jaminan. Majelis menghukum pemilik lama Sugar Group, yakni keluarga Salim, membayar denda US$ 50 juta dan ganti rugi Rp 5,6 miliar dengan bunga 6 persen per tahun. Keterlambatan pembayaran dikenai denda Rp 50 juta per hari.
”Tergugat terbukti secara diam-diam menjaminkan kembali aset Sugar Group yang sudah diserahkan ke BPPN pada Marubeni Corporation,” kata Syofyansyah, ketua majelis hakim, seusai sidang di Pengadilan Kotabumi, yang berakhir pada 23.00, Senin pekan lalu.
Dalam sidang lebih dari sembilan jam itu, karena berkas putusannya mencapai 789 halaman, majelis membebaskan lima tergugat. Di antaranya BPPN, Menteri Keuangan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, karena tidak bersalah. ”Kebijakan BPPN merupakan kepanjangan tangan pemerintah,” kata Syofyansyah dalam persidangan. ”Sehingga semua keputusan BPPN harus dilindungi.” Pemerintah, katanya, hanya menjadi korban.
Karena itu, hakim menolak membatalkan surat keterangan lunas milik Salim yang diterbitkan pemerintah. ”Kita harus menjaga setiap keputusan dan kebijakan pemerintah. Karena pemerintah yang menerbitkan, dia juga yang harus membatalkan,” kata hakim yang juga Kepala Pengadilan Negeri Kotabumi itu, selepas sidang.
Di Pengadilan Gunung Sugih, yang putusannya hanya selang sehari sesudah Kotabumi, majelis menyatakan perbuatan para tergugat telah menyebabkan kerugian pada penggugat. Di antaranya PT Sweet Indo Lampung, Indo Lampung Perkasa, Gula Putih Mataram, dan Garuda Panca Artha. Karenanya, majelis memerintahkan tergugat Marubeni Corporation, Sudono Salim, Anthony Salim, Andree Halim, Daddy Hariadi, Benny Setiawan Santoso, Christian Kartawijaya, dan Santiago S. Navaro membayar ganti rugi kepada tergugat Rp 92,6 miliar, berikut bunga 6 persen per tahun, plus biaya perkara Rp 101,9 juta. Keterlambatan atas pembayaran putusan itu dikenai uang paksa Rp 50 juta per hari.
Ganti rugi itu juga harus dibayar secara tanggung renteng oleh The Sumitomo Trust and Banking Co., Ltd., Sumitomo Mitsui Banking Corporation, dan sejumlah tergugat lain, termasuk Tim Pemberesan BPPN. ”Kewajiban yang timbul karena tergugat tidak dapat diarahkan ke penggugat sebagai pemilik baru, tetapi ke BPPN,” kata Bahuri membacakan putusannya. Ini juga konsekuensi dari pasal 8.5 MSAA, yang mengharuskan ke-108 aset yang diserahkan Salim Group ke BPPN—termasuk yang dibeli Sugar Group—harus bersih dari utang, jaminan, maupun tanggungan.
Majelis yang dipimpin langsung oleh Bahuri, Ketua Pengadilan Gunung Sugih, menyatakan pemerintah bebas dari kesalahan. Sugar Group juga dibebaskan dari utang dan jaminan yang terjadi karena beban perjanjian antara Salim dan Marubeni. Akta pengalihan hak tanggungan atas 220 ribu meter persegi tanah yang seolah dilakukan PT Gula Putih Mataram di Mataram Udik, Lampung Tengah, kepada Marubeni, juga dinyatakan batal karena tak memiliki kekuatan hukum. ”Sebab, itu dilakukan tanpa setahu BPPN, sedangkan aset dimaksud masuk restrukturisasi,” kata Bahuri.
Majelis juga mewajibkan tergugat menyerahkan seluruh aset dan dokumen milik Sugar Group yang selama ini disembunyikan. Di antaranya tanah yang selama ini dikuasai PT Indolampung Cahaya Makmur dan Indolampung Buana Makmur, yang masih dikuasai Salim.
Saking banyaknya tergugat, majelis hakim Gunung Sugih tak bisa sepakat. Hakim Erens J. Ulaen menyampaikan pendapat melawan (dissenting opinion). Ia tak sepakat dengan hakim ketua Bahuri dan hakim anggota Siti Yuristia mengenai pihak-pihak yang dinyatakan bersalah. Pendapat Erens mirip putusan Pengadilan Kotabumi. ”BPPN, sebagai bagian dari pemerintah, tidak bisa dimintai pertanggungjawaban,” katanya. Akibatnya, pembacaan putusan itu molor hingga menjelang pukul 02.00.
Namun, laga belum usai. Salim Group, Marubeni, dan Sumitomo langsung menyatakan banding atas dua keputusan itu. ”Banyak pertimbangan dan keputusan hakim dalam vonis tersebut tidak masuk akal,” kata Ferry Cornelius, pengacara Salim dari kantor Todung Mulya Lubis. Apalagi, majelis tidak mengambil keterangan dari saksi ahli yang diajukan tergugat.
Dalam putusan di Kotabumi, misalnya, hakim membatalkan surat perjanjian pembelian saham dan pengalihan bersyarat milik Sugar Group. Surat perjanjian pembelian saham dan pengalihan bersyarat (conditional share purchase and loan transfer agreement—CSPLTA) merupakan dasar kepemilikan Garuda Panca Artha atas Sugar Group. ”Artinya, atas dasar apa mereka menggugat kami?” Ferry bertanya. ”Sedangkan surat bukti kepemilikannya saja dibatalkan oleh majelis.” Di sisi lain, majelis tidak membatalkan surat keterangan lunas atas dana BLBI. ”Itu artinya secara hukum klien kami tidak bersalah.”
Pihak Marubeni, yang diwakili pengacara O.C. Kaligis, pun keberatan. ”Sugar Group menipu,” katanya kepada Sorta Tobing dari Tempo. ”Kami menanam modal US$ 150 juta. Setelah dipakai, mereka menggugat supaya bebas.” Marubeni termasuk sengit melawan gugatan itu. Kaligis bahkan sempat mengadukan majelis hakim di dua pengadilan tersebut ke Mahkamah Agung, lantaran menerbitkan sita jaminan yang janggal, keluar dalam waktu satu hari. ”Kami sudah pesimistis mendapat keadilan di Indonesia,” kata pengacara mantan Presiden Soeharto ini.
Hotman Paris tak kalah jurus. ”Putusan itu membuktikan Salim Group memanipulasi pengembalian dana BLBI,” katanya. ”Apa lagi kalau bukan korupsi namanya?” Putusan itu juga sesuai dengan hasil audit tim bantuan hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan, yang dibentuk untuk mengkaji perjanjian MSAA para obligor, pada 17 Mei 2002, yang menyatakan Salim Group melakukan manipulasi aset. Kejaksaan, yang kini membuka kasus para pengemplang BLBI, bisa mengusutnya. ”Kita sudah melapor ke Jaksa Agung,” kata Hotman. ”Kurang bukti apa lagi?”
Arif A. Kuswardono, Nurrochman (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo