Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARGA minyak mentah dunia yang masih bertengger di atas US$ 90 per barel membikin pemerintah puyeng. Betapa tidak. Kendati terjadi surplus dari sisi neraca perdagangan, anggaran negara diyakini bakal tekor lantaran subsidi bahan bakar minyak tak terbendung.
Pada tahun ini, duit yang disiapkan untuk subsidi BBM Rp 55,6 triliun, dan Rp 32,49 triliun untuk listrik. Namun, gara-gara kenaikan harga minyak itu, subsidi BBM diperkirakan membengkak sampai Rp 90 triliun dan subsidi listrik pun naik menjadi Rp 40 triliun. Jika harga minyak tak juga turun, tahun depan subsidi juga bakal naik karena didasari asumsi harga minyak US$ 60 per barel.
Itulah sebabnya banyak langkah diambil untuk mengurangi beban subsidi tersebut. Salah satunya dengan meminta PT PLN mempercepat konversi pembangkit berbahan bakar minyak ke panas bumi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 yang baru diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 November lalu, PLN diwajibkan membeli uap atau listrik dari suatu wilayah kerja panas bumi yang akan dikembangkan.
Panas bumi atawa geothermal tergolong sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Kini panas bumi banyak dilirik lantaran energi yang dihasilkan dapat dikonversi menjadi setrum. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang tengah gencar mengembangkannya. Pada 2050, Amerika akan menjadikan geotermal sebagai sumber utama tenaga listrik.
Indonesia sebenarnya memiliki cadangan panas bumi besar, sekitar 219 juta barel oil equivalent, setara dengan 27 ribu megawatt. Namun setrum yang telah diproduksi alias kapasitas terpasang saat ini baru 800-an megawatt, kurang dari 2 persen.
Menurut anggota staf ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Informasi dan Komunikasi, R. Sukhyar, pemerintah akan menggenjot pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik. Targetnya, tahun depan ada tambahan 1.193 megawatt, menjadi total 2.000 megawatt.
Pada 2012, ditargetkan produksi setrum dari panas bumi sudah mencapai 3.442 megawatt (lihat roadmap pengembangan panas bumi). Tambahan itu antara lain dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla, di Sumatera Utara, yang diperkirakan sudah berproduksi pada 2010.
Pada tahap awal, akan dibangun satu unit pembangkit berkapasitas 110 megawatt, dari total kapasitas yang akan dibangun 330 megawatt. Pengembangnya konsorsium PT Medco Energi Internasional, Itochu (Jepang), dan Ormat (AS). Harga setrum telah disepakati bersama PLN, US$ 4,642 sen per kilowatt-jam (kWh).
Itu baru dari pengembangan lapangan yang sudah ada, belum termasuk wilayah kerja baru yang akan segera dilelang pemerintah. ”Ke depan, geotermal diharapkan menggantikan posisi BBM,” kata Sukhyar kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Substitusi energi geotermal terhadap minyak dipastikan bisa memangkas subsidi BBM hingga triliunan rupiah. Hitung-hitungannya, setiap kWh setrum yang dihasilkan dari panas bumi menghemat 0,28 liter minyak bakar (fuel oil). Rupiah yang bisa ditabung, tinggal kalikan saja angka itu dengan harga minyak yang sedang berlaku di pasar internasional.
Masalahnya, dia menambahkan, geotermal bukanlah komoditas yang bisa ditransportasikan seperti batu bara, minyak bumi, atau gas. Karena itu, pengembangan baru bisa dilakukan bila pemanfaatannya jelas. Wajar bila investor hanya mau mengembangkannya kalau ada kepastian soal pembeli dan harga.
Nah, jaminan pasar itu kini diberikan pemerintah dalam pasal 19 PP tentang kegiatan usaha panas bumi. Di situ dikatakan, untuk menjamin ketersediaan listrik bagi kepentingan umum, pemerintah dapat menugasi pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan untuk membeli uap atau listrik yang berasal dari panas bumi.
Soal harga uap panas bumi untuk pembangkit listrik ini akan diatur tersendiri melalui peraturan menteri. Bentuknya, Sukhyar melanjutkan, bisa berupa pedoman menetapkan harga atau batas atas harga. ”Makin rendah harga yang ditawarkan pengembang atau operator, makin bagus.”
Deputi Bidang Energi Primer PLN Tony Agus Mulyantono siap memenuhi permintaan pemerintah, membeli uap atau setrum dari PLTP. ”Kalau itu sudah penugasan, harus didukung,” ujarnya.
Prinsipnya, menurut dia, energi terbarukan mesti dikembangkan. Apalagi dari sisi biaya produksi jauh lebih murah ketimbang menggunakan BBM. ”Sepanjang secara teknis dan ekonomis dapat diterima, mengapa tidak?”
Persoalannya, kata Tony, investasi awal untuk mengembangkan energi terbarukan jenis ini relatif mahal, sekitar US$ 1,5 juta per megawatt. Bandingkan dengan PLTU berbahan bakar batu bara, yang hanya butuh US$ 1,2 juta per megawatt.
Namun, kata dia, yang mesti dilihat bukan investasi awal, melainkan ongkos produksi per kWh-nya. Faktor yang menentukan mahal-murahnya biaya produksi adalah sumber energi primer yang digunakan, yakni minyak, gas, batu bara, atau uap (lihat tabel).
Toh, penerbitan PP Panas Bumi yang menjamin adanya pasar tak cukup menggiurkan investor untuk mengembangkan geotermal. Praktisi geotermal, Supramu Santosa, menilai yang perlu dijamin pemerintah bukan hanya pasar, seperti yang tertuang dalam PP. Bukan juga melulu soal tarif energi primer, seperti yang diungkapkan PLN.
Menurut dia, ada persoalan fiskal, seperti pajak, royalti daerah, dan sederet pungutan lain yang mesti dirampungkan. Hal itu penting karena mempengaruhi perhitungan investasi agar keekonomian bisa dihitung. ”PP belum menyebutkan besaran pungutan negara,” kata mantan Presiden Direktur PT Star Energy Ltd., pengembang PLTP Wayang Windu, Jawa Barat, itu.
Supramu menambahkan, besarnya harga listrik yang menarik bagi investor sangat bergantung pada besarnya pungutan, baik pajak maupun nonpajak. Bila pemerintah ingin tarif setrum dari PLTP tidak terlalu tinggi, ia mengusulkan pembebasan bea masuk dan pajak impor barang-barang modal.
Aries Pardjimanto, Direktur PT Medco Power Indonesia, menilai kejelasan kebijakan pemerintah jauh lebih penting. Misalnya soal perlu-tidaknya izin usaha kelistrikan. Ia membandingkannya dengan PT Pertamina (Persero), yang tak perlu mengantongi lisensi kendati posisinya sekarang sama-sama sebagai pemain.
Soal kejelasan kebijakan itulah, kata Aries, yang kerap dipertanyakan oleh calon investor dari luar. Mereka mengatakan legal framework-nya yang harus diperbaiki. Terutama setelah ada perubahan status Pertamina menjadi pemain, sementara peran regulator dikembalikan ke pemerintah.
Aries memastikan, minat para investor itu sangat tinggi. J-Power, misalnya, perusahaan utilitas asal Negeri Sakura. Kendati belum memiliki proyek di sini, perusahaan itu sudah berancang-ancang dengan membuka kantor cabang di Jakarta. ”Mereka siap dana. Sekarang tinggal dari dalam (pemerintah), apa yang bisa membuat mereka tertarik untuk mengembangkan PLTP.”
Retno Sulistyowati
Kondisi Pembangkit Indonesia | |||
---|---|---|---|
Jenis | Unit | Kapasitas* | Persentase |
PLTA | 191 | 3.220,96 | 14,3 |
PLTU | 41 | 6.900 | 30,65 |
PLTG | 60 | 2.723,63 | 12,10 |
PLTGU | 51 | 6.280,97 | 27,90 |
PLTP | 8 | 395 | 1,75 |
PLTD | 4.857 | 2.982,12 | 13,24 |
PLTMG | 2 | 12,42 | 0,06 |
*megawatt |
Biaya Energi (US$/kWh)dan Kebutuhan Investasi (US$/MW) | ||
---|---|---|
MFO: marine fuel oil, IDO: industrial diesel oil | ||
Biaya energi | Kebutuhan investasi | |
PLTGU batu bara | 192,28 | 1,2 juta |
PLTU gas | 291 | 1,4 juta |
PLTG minyak | 1.861,6 | - |
PLTG gas | 297 | 500 ribu |
PLTGU gas | 221 | 800 ribu |
PLTD solar | 1.396 | - |
PLTD MFO | 839,3 | - |
PLTD IDO | 1.259,44 | - |
PLTA | - | 2 juta |
PLTP | - | 1,5 juta |
Sumber: PLN |
Roadmap Pengembangan Panas Bumi 2004-2025 (megawatt) *Produksi, Sumber: DESDM
2004 807* 2008 2.000 2012 3.442 2016 4.600 2020 6.000 2025 9.500
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo