Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perburuan Ladang Tua

Kenaikan harga minyak mendorong puluhan pemain baru terjun ke bisnis hulu migas. Ada yang kejeblos.

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUDJO Suwarno sesungguhnya sudah berusia 55 tahun. Namun umur tak menghalangi pria tambun ini menjalani misi khusus yang menguras fisiknya. Dalam tiga tahun terakhir, General Manager Medco Energi ini makin sering terjun memburu ladang minyak. Hampir setiap bulan, ia rajin menempuh perjalanan jauh dengan medan berat. Ia mesti membelah hutan rimba, menembus rawa-rawa, menapaki gurun, hingga menyeberangi lautan.

Ia tak peduli di mana emas hitam itu berada. Bukan cuma di pedalaman Papua atau di tengah Laut Natuna, di gurun pasir Libya pun dikejar. Menginap di pulau terpencil tak jarang ia lakoni. Yang penting, ambisi Medco mendongkrak produksi minyak mentah dari 75 ribu menjadi 100 ribu barel per hari (bpd) segera terwujud. ”Kami memang sangat agresif memburu tawaran meskipun kami tak selalu menang,” katanya.

Medco sesungguhnya cukup disegani di kalangan pelaku bisnis migas Indonesia. Didukung pengalaman puluhan tahun serta kemampuan finansial dan teknologi, tak sedikit pemain migas yang keder ketika harus bersaing dengan perusahaan yang didirikan oleh pengusaha Arifin Panigoro ini.

Namun, dalam tiga tahun terakhir ini situasinya sudah berubah. Penantang Medco jauh lebih banyak. Puluhan pemain baru datang meramaikan bisnis pengeboran migas Indonesia yang semula hanya dikuasai oleh pemain lama. Penyebabnya, selain prosedur investasi migas makin sederhana, poin terpenting adalah harga minyak dunia yang kian melejit hingga mendekati level US$ 100 per barel.

Minyak kini menjadi komoditas yang paling diburu dalam beberapa bulan terakhir ini. Sejumlah investor asing pun mulai masuk ke Indonesia. Lihat saja Marathon International Petroleum, Anadarko Petroleum Corp., Altar Sociedade, Genting Oil, dan Asia Petroleum. Beberapa di antaranya pemain lama di perminyakan, tetapi baru belakangan melirik negeri ini.

Dari dalam negeri juga bertaburan puluhan pemain baru. Di antaranya terdapat mantan eksekutif di perusahaan minyak raksasa yang mencoba banting setir jadi pengusaha minyak. Contohnya Supramu Santosa, Wahyudin Yudiana, Sammy Hamzah, Mustiko Saleh, dan John Karamoy. ”Lebih baik jadi kepala ikan kecil daripada ekor ikan besar,” kata Yudiana, mantan Presiden Direktur Chevron Indonesia.

Selain mereka, lebih banyak lagi pendatang lokal yang benar-benar baru di bisnis migas. Itu mewakili beragam profesi dan jenis usaha. Sebut saja pengusaha kertas Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas) dan Prajogo Pangestu (Barito Pacific). Ada bos media seperti Surya Paloh (Grup Media) dan Dahlan Iskan (Jawa Pos). Di kalangan bankir investasi, muncul nama Patrick Walujo (Northstar) dan Sandiaga Uno (Saratoga Investama).

Produsen makanan dan minuman disebut-sebut ikut meramaikan pertarungan bisnis ini, seperti Grup Kopi Kapal Api (Soedomo Margonoto) dan Grup Wings kepunyaan Eddy Wiliam Katuari. Begitupun pemilik Toko Buku Gunung Agung, Oka Masagung. Bahkan ahli pesawat terbang seperti Ilham Habibie pun tak mau ketinggalan. Tak terkecuali juga para pengacara seperti Syarif Bastaman.

Meski proyek ini tak layak dibiayai bank, mereka cukup jago membujuk sumber dana asing untuk membiayainya. Misalnya saja Patrick Walujo, yang didukung Texas Pacific Group, pengelola duit US$ 14 miliar dari Amerika Serikat. Konon, Syarif Bastaman dan Surya Paloh juga akan disokong Merrill Lynch dalam mendanai Blok Cepu, Jawa Timur. ”Tak sulit mencari dana asing, asalkan potensi sumurnya jelas,” ujar seorang pemain baru migas.

Soal tenaga ahli sepertinya juga tak sulit. Mereka rata-rata merekrut para profesional pensiunan perusahaan top perminyakan. Lihat saja Budiono, mantan eksekutif ExxonMobil Oil Indonesia yang direkrut oleh Samudra Energi guna mendongkrak produksinya sekaligus mengamankan bisnis penuh risiko ini.

Berbekal dana dan tenaga ahli itulah, perburuan atas ladang minyak kian menyeruak dalam tiga tahun terakhir. Menurut hitung-hitungan seorang eksekutif di perusahaan minyak, biaya yang dialokasikan untuk memproduksi minyak di Indonesia relatif murah. Di daratan (onshore) masih bisa US$ 15-25 per barel. Bayangkan, dengan harga minyak US$ 100 per barel, keuntungannya jelas menggiurkan.

Tapi tak semua beruntung. Lihat saja Star Energy, ketika mengebor Blok Banyumas bersama Lundin Banyumas B.V. Di sumur ini mereka kejeblos. Di dalam bumi, cadangan gas ditemukan, tetapi tak cukup layak disedot. Padahal mereka sudah menggelontorkan uang US$ 20 juta atau Rp 180 miliar. ”Duitnya menguap, tapi ini bukti kami serius,” kata Direktur Star Energy, Rudy Suparman, pekan lalu. ”Kami bertekad jadi pemain besar mengalahkan Medco Energi.”

Star Energy mungkin tergolong bernyali tinggi. Namun kebanyakan pemain baru yang berkelas gurem justru ngeri mengikuti cara Star Energy. Mereka enggan mencari ladang baru. Mereka hanya berani mengincar sumur tua yang sudah menghasilkan, meski produksinya turun.

Menurut Yudiana, jumlah sumur matang mencapai lebih dari 93 persen dari blok yang diawasi Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Jadi, ada ratusan sumur yang disedot belasan tahun sehingga produksinya terus menurun. Tetapi, dengan teknologi baru, produksi masih bisa didongkrak kembali. ”Jadi, wajar jika sumur itu diperebutkan,” ujarnya.

Saking banyaknya peminat, harga sumur potensial pun menjadi berlipat. Apalagi tatkala harga minyak melejit seperti sekarang, pemilik ladang makin ogah melepas asetnya. Tiga tahun lalu saja, Star Energy sampai kerepotan bertarung dengan belasan investor lain saat berebut working interest di Blok Kakap Natuna, Riau. ”Saat ini persaingan makin ketat,” kata Rudy. ”Pemilik sumur bak seorang raja.”

Jadi, jangan heran jika konsesi ladang minyak menjadi dagangan mahal. Di kalangan ahli geologi, sudah bukan rahasia lagi jika banyak makelar atau broker turut bermain mengincar konsesi. Menurut Kepala BP Migas, Kardaya Warnika, mereka yang masuk kategori ini biasanya tak punya modal dan tenaga ahli. Akibatnya tak ada kegiatan eksplorasi sehingga produksi sulit didongkrak. Anehnya, mereka bisa punya konsesi, baik di wilayah kerja pemerintah maupun wilayah operasi Pertamina (TAC).

Pertanyaannya, dari mana makelar memperoleh konsesi. Kardaya tidak tahu-menahu. Alasannya, BP Migas hanya bertugas mengawasi kontrak bagi hasil (PSC) di wilayah tertentu yang sudah jalan. Sedangkan soal siapa yang berhak mengelola blok migas menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Migas. Institusi ini berfungsi menjalankan tender blok secara terbuka, serta penawaran langsung melalui proposal joint study atau pengkajian bersama.

Pola joint study yang dimulai pada 2006 ini rupanya cukup jitu. Ratusan orang berbondong-bondong tertarik menongkrongi wilayah tertentu lewat cara ini. Tak jelas, apakah mereka spekulator atau pengusaha minyak tulen. Yang pasti, menurut Dirjen Migas, Luluk Sumiarso, hingga saat ini sudah ada 170 perusahaan yang mengajukan proposal joint study. Namun, meski usulannya bejibun, ia meyakinkan tak semuanya diterima.

Luluk menolak tudingan bahwa banyak broker yang memenangi sejumlah konsesi. Menurut dia, dalam proses tender dan penawaran langsung, setiap calon investor yang berminat harus memenuhi persyaratan tertentu. Itu bisa berupa pembayaran deposit, program kerja, tenaga ahli, hingga teknologinya. ”Kalau ada broker, kami mana tahu?”

Bagaimana dengan TAC Pertamina? Rupanya, tudingan jual-beli interest juga mampir ke wilayah operasi Pertamina, penguasa puluhan blok dari Sumatera hingga Papua. Sinyalemen itu terungkap dari bocoran surat Manajer Akselerasi Pengembangan Lahan Pertamina E & P, Suryadi Oemar. Dalam suratnya pada 24 Oktober lalu disebutkan Direktur Keuangan akan mengaudit secara menyeluruh dugaan jual-beli interest untuk menghindari masalah di kemudian hari.

Indikasi itu tak diragukan oleh Presiden Himpunan Ahli Geologi Indonesia (HAGI), Abdul Mutalib Masdar. Ia malah heran atas sikap jajaran petinggi BUMN migas ini, yang seolah membiarkan sebagian ladang TAC telantar atau dikendalikan broker. ”Buktinya, mereka lebih sibuk mencari ladang baru di luar negeri.”

Pertamina tentu saja membantah. Direktur Hulu Pertamina E & P, Sukusen Soemarinda, menekankan bahwa 80 persen aktivitas perusahaan pelat merah ini fokus di dalam negeri. Sumur-sumur tua tetap diurus. ”Kalau soal broker, saya tidak tahu.” Jika benar begitu, tentu masih ada harapan produksi minyak bisa didongkrak.

Indonesia memang membutuhkan minyak lebih banyak lagi. Tahun ini produksi minyak diperkirakan hanya 910 ribu barel per hari. Kondisi sekarang jauh menurun dibandingkan pada 1999 yang masih 1,4 juta barel per hari. Penurunan ini membuat penerimaan negara turun sampai Rp 8 triliun. Jadi, masuknya puluhan pemain baru ini tak jadi soal sepanjang mereka benar-benar menghasilkan minyak.

Heri Susanto


Para Penyedot Emas Hitam

IBARAT gula dirubung semut, tren melonjaknya harga minyak dunia hingga mendekati US$ 100 per barel, telah membuat banyak orang terjun ke bisnis minyak. Para pengusaha minyak lama makin ngebut, sedangkan pemain baru terus bermunculan. Mereka berebut emas hitam yang menjanjikan untung selangit, tapi sekaligus bisa menggiring bisnis mereka ke jurang. Inilah nama-nama baru para kandidat penguasa baru industri minyak asal Indonesia. Mereka hanya sebagian kecil dari puluhan pengusaha lokal yang mencoba terjun ke bisnis penuh risiko ini.

ILHAM HABIBIE Sound Oil Putra mantan presiden B.J. Habibie ini jarang tampil di depan publik, namun diam-diam sepak terjangnya di dunia perminyakan cukup menyita perhatian para pemain di bisnis ini. Ilham Habibie adalah pendiri Mitra Energia Ltd., perusahaan migas nasional, tetapi terdaftar di Mauritius. Pada Juli tahun lalu, Mitra diakuisisi oleh Sound Oil, perusahaan yang didirikan pada 2005 dan terdaftar di bursa saham London, Inggris. Di sini, Ilham juga menjadi salah satu direktur.

Melalui Mitra Energia, Sound Oil memiliki 34,99 persen working interest (penyertaan) di Blok Bengkanai, Kalimantan. Mereka akan menginvestasikan US$ 77 juta untuk menyedot gas 20 MMSCF per hari di ladang Karendan. Selain itu, Sound Oil juga mempunyai 20 persen interest di PT Bumi Parahyangan Ranhill Energia Citarum yang menang tender Blok Citarum, Jawa Barat, pada Agustus 2005.

PRAJOGO PANGESTU Star Energy Ketika krisis menerjang Indonesia, kerajaan bisnis salah satu mantan raja kayu ini ambruk. Namun, setelah 10 tahun berlalu, Prajogo Pangestu mulai bangkit. Ia kini bukan saja menguasai petrokimia, tetapi melebarkan sayap ke bisnis energi. Baru-baru ini, ia mengakuisisi 41 persen saham Star Energy senilai lebih dari US$ 300 juta.

Kini, Star Energy menguasai tiga blok, yakni Blok Kakap di Riau, Blok Sebatik di Kalimantan Timur, dan Blok Sekayu di Palembang. Sejauh ini yang sudah menghasilkan baru Blok Kakap—ia memiliki 31,25 persen interest, yakni 6.983 barel per hari minyak mentah dan 90,6 MMSCFD gas. Ke depan, Star Energy bermimpi mengalahkan Medco Energy, pemain papan atas industri migas Indonesia.

PATRICK WALUJO Samudra Energi Pria ”tajir”, kaya raya, berusia 32 tahun ini adalah pengusaha belia yang cukup agresif menguasai aset-aset di Indonesia. Dengan bendera Northstar, dalam tempo tiga tahun ia sudah memiliki aset di bisnis retail, perbankan, dan produsen gas. Dengan dukungan dana dari raksasa keuangan dunia Texas Pacific Group, ia juga memperluas bisnis ke sektor minyak dan gas dengan bendera Samudra Energi.

Untuk menjalankan bisnis barunya, bankir investasi jebolan Goldman Sachs ini menggandeng sejumlah mantan eksekutif perminyakan, di antaranya Budiono, bekas direktur ExxonMobil Oil Indonesia. Kini, Samudra Energi menjadi pemegang interest melalui kerja sama operasi (TAC) dengan Pertamina di ladang minyak Pilona di Sumatra Selatan. Semula produksi minyak di sini rata-rata hanya 1.900 barel per hari, namun bisa didongkrak menjadi 9.000-an barel per hari.

SUKANTO TANOTO Pacific Oil & Gas Orang terkaya di Indonesia ini kini bukan saja dikenal sebagai raja kertas dan produsen minyak sawit terpandang di dunia. Mulai 2002, dengan bendera Pacific Oil & Gas (PO&G), ia mulai berbisnis di sektor migas. Debut PO&G di sini diawali dengan langkah mengambil alih 25 persen kepemilikan Repsol YPF di Blok Jambi Merang, Sumatera Selatan, pada 2004. Selanjutnya, ia mengakuisisi 50 persen kepemilikan Chevron dan Texaco di Blok Kisaran, Sumatera Utara. Kedua blok tersebut sejauh ini masih tahap eksplorasi.

Selain mengembangkan bisnis di sektor hulu migas, PO&G juga bermain di bisnis hilir. Ia membangun pabrik LNG cair, juga pembangkit listrik guna mengantisipasi lonjakan kebutuhan listrik di Indonesia. Bahkan ia memperluas bisnis energi ke mancanegara melalui pembangunan pembangkit listrik di Rudong dan Xiamen, Cina.

SANDIAGA UNO Interra Resources Ltd. Ia sesungguhnya bukan orang baru di perminyakan. Sandiaga Uno lahir di ladang minyak Rumbai, Riau, 38 tahun lalu. Setelah mendapat gelar MBA dari George Washington University, Washington DC, pada 1992, ia melabuhkan dirinya di ladang emas hitam Pulau Bunyu, Kalimantan Timur, milik Grup Astra. Pada 2002, ia bersama mitranya, Edwin Soeryadjaya, mendirikan Interra Resources Ltd., perusahaan migas yang tercatat di bursa saham Singapura.

Interra memiliki 70 persen working interest dalam kerja sama operasi (TAC) dengan Pertamina di Tanjung Miring Timur, Palembang. Sepanjang 2006, produksi ladang minyak ini sebesar 263 ribu barel. Selain di Indonesia, ia juga mempunyai dua ladang di Myanmar yang menumpahkan 770 ribu barel minyak tahun lalu, serta tiga blok eksplorasi seluas 10 ribu kilometer persegi di Thailand. Komandan yang memimpin teknisi perminyakan di sini adalah Taruno Pedjohardjo, yang pernah berkarier di Pertamina sejak 37 tahun lalu.

SURYA PALOH Surya Energi Raya Ia adalah bos Grup Media Indonesia dan Ketua Dewan Pembina Golkar, partai terbesar di Indonesia. Surya Paloh sesungguhnya sudah lama akrab di bisnis perminyakan karena pengusaha asal Medan ini menjadi penyedia jasa katering untuk sejumlah raksasa perminyakan, seperti ExxonMobil Oil Indonesia.

Sepak terjangnya mulai terlihat ketika ia ikut terjun berburu jatah di Blok Cepu, Jawa Timur, yang dikuasai oleh ExxonMobil. Kini, melalui PT Surya Energi Raya menjadi penyandang dana bagi Pemerintah Daerah Bojonegoro dengan porsi bagi hasil 75:25 untuk Surya dan Pemda. Badan usaha milik daerah (BUMD) Bojonegoro, yakni PT Asri Dharma Sejahtera, kebagian 4,45 persen working interest di blok yang diperkirakan bisa memproduksi minyak 170 ribu barel per hari ini.

Heri Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus