Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH saudara ahli tahu ada pengeluaran Rp 500 juta untuk bantuan kampanye Ibu Megawati Soekarnoputri di Yogyakarta?” Pertanyaan ini dilontarkan Ranendra Dangin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin pekan lalu, kepada Agustina Arumsari, saksi ahli yang juga staf Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Agustina terdiam beberapa saat. ”Saya tidak tahu,” katanya kemudian.
Sejenak, sidang pun riuh. Pertanyaan yang diluncurkan Ranendra, bekas Direktur Keuangan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Persero itu memang menohok. Namun, apa benar RNI mengalirkan duit ke partai politik, Ranendra hanya menjawab pendek. ”Suatu saat nanti akan saya jelaskan,” katanya.
Ranendra menjadi tersangka korupsi impor gula putih sejak Oktober tahun lalu. Dia didakwa memperkaya diri sendiri dengan mengambil duit perusahaan Rp 4,5 miliar. Uang tersebut merupakan bagian dari keuntungan impor gula putih yang dilaksanakan Rajawali pada 2001-2004. Total keuntungan yang diterima perusahaan sekitar Rp 33 miliar.
Kasus Ranendra ini makin menguatkan dugaan bahwa pembunuhan Nasrudin ada hubungannya dengan korupsi di RNI. Korupsi di perusahaan itu melibatkan sejumlah tokoh penting. Nasrudin Zulkarnaen, yang melaporkan soal itu, berang karena menduga Antasari ”bermain” dan sengaja tidak melanjutkan informasi yang dipasoknya. ”Klien saya itu sendiri sebelumnya tidak pernah bercerita bahwa ada duit yang mengalir untuk partai,” ujar Benny Joesoef, pengacara Ranendra.
Sebagai mantan direktur keuangan, Ranendra jelas tahu banyak perihal borok-borok keuangan RNI. Diharapkan, keterangan Ranendra itu akan menjadi pembuka ”peta” korupsi di RNI, yang selama ini baru terkuak sebagian saja. ”Padahal kasus ini melibatkan banyak petinggi di sana,” kata Tommy Sihotang, mantan kuasa hukum Ranendra.
Menurut sumber Tempo, seperti umumnya sejumlah perusahaan milik negara, Rajawali sudah lama dikenal sebagai kasir atau mesin uang penguasa maupun partai politik. Istilahnya, ujar sumber tersebut, sebagai ATM—anjungan tunai mandiri. ”Siapa yang lewat bisa ambil uang seperlunya.”
Kasus impor gula putih merupakan satu dari empat kasus dugaan korupsi Rajawali yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi yang sudah diajukan ke pengadilan. Tiga lainnya kini masih diberkas dan pemeriksaannya belum berjalan.
Menurut Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah, lembaganya meneliti kasus korupsi di RNI sejak 2004. Sampai kini sudah sekitar 40 berkas pengaduan yang masuk ke Komisi berkaitan dengan korupsi di instansi tersebut. Dari 40 berkas itu, tak ada laporan yang diajukan Nasrudin. Berkas terakhir yang masuk berkaitan dengan RNI adalah pada April lalu. Ada tiga kasus, namun Chandra menolak menyebutkannya. Tapi, menurut sumber Tempo, salah satunya terkait erat dengan pengadaan alat-alat kesehatan yang dikirim ke sebuah departemen.
Indikasi adanya dugaan korupsi di Rajawali tercium dalam dokumen Tanggapan Komisaris atas Laporan Tahunan Tahun Buku 2004 PT RNI (Persero). Dari dokumen yang diperoleh Tempo itu, di sana disebutkan, antara lain, perusahaan masih berutang kepada pemerintah, yakni Rekening Dana Investasi (RDI), sebesar Rp 1,6 triliun. Komisaris menilai, perusahaan tak berniat melunasi pinjaman itu meski punya duit.
Komisaris juga mencatat, perusahaan mengalami kerugian dari pengelolaan impor gula mentah (raw sugar) tahun 2003 sebesar Rp 24,6 miliar. Dari impor gula putih (white sugar) tahun 2004, perusahaan juga kurang mendapatkan keuntungan dari kerja sama operasional penjualan gula impor dengan investor sebesar Rp 1,1 miliar.
Terjerumusnya Rajawali ke lubang kerugian itu, menurut catatan komisaris, lantaran direksi melibatkan investor tanpa tender alias ditunjuk langsung. Kegiatan impor itu juga tidak dibukukan dalam laporan keuangan, sehingga komisaris sulit menilai apakah impor gula itu dapat dipertanggungjawabkan secara transparan. Laporan ini diteken empat komisaris: Oentarto S. Mawardi, Zainal Abidin, Ragil Moegiyo, dan Ronny Muaya, pada 2 Juni 2005.
Kepada wartawan Tempo Amandra Mustika Megarani, juru bicara RNI Budi Perbawa Aji membenarkan hingga kini perusahaan masih menunggak pembayaran pokok pinjaman RDI. ”Kami cuma mencicil bunganya.” Menurut dia, dengan aset hanya Rp 4,2 triliun, perusahaan sulit melunasi utang Rp 1,6 triliun itu. ”Kami justru usul supaya dihapuskan saja,” kata dia. Ini, kata Budi, ”Karena pinjaman itu kan dalam konteks penugasan dari pemerintah.”
Kendati demikian, Budi membantah investor impor gula dipilih tanpa tender. Menurut dia, perusahaan yang ikut tender adalah pedagang gula yang punya sertifikat grup internasional. ”Saya lihat, kok, tendernya.” Soal impor yang tidak dicatatkan dalam laporan keuangan, Budi mengaku tidak tahu. Budi membantah bahwa ada duit RNI yang mengalir ke partai politik. Perihal adanya duit RNI yang masuk ”brankas” PDIP ini juga disanggah sekretaris jenderal partai tersebut, Pramono Anung.
Anne L. Handayani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo