Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AYIN mengurung diri di kamar sejak mendengar berita itu di televisi, Selasa siang pekan lalu. Dia tidak bersedia menemui tamu yang ingin membesuk, selain keluarga dekatnya. Perangainya yang semula ramah menjadi judes. Tak ada yang berani mengajaknya ngobrol, apalagi menyinggung soal permohonan peninjauan kembali yang diajukan melalui kuasa hukumnya. ”Dia telanjur mengharap minimal hukumannya dikurangi setahun,” ujar Arti Wirastuti, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang.
Kekecewaan Artalyta Suryani, demikian nama asli pengusaha asal Lampung ini, dibenarkan kuasa hukumnya, Kabul Budiono. ”Ibu Ayin tetap saja kecewa. Tidak semestinya dia dihukum begitu lama,” kata Kabul.
Mahkamah Agung, awal bulan ini, memang mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali Ayin. Majelis hakim mengurangi hukuman penyuap jaksa Urip Tri Gunawan itu menjadi 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 250 juta subsider kurungan 5 bulan. Hukuman itu enam bulan lebih ringan daripada vonis di pengadilan sebelumnya.
Meski tidak dalam keputusan bulat, majelis hakim yang dipimpin Djoko Sarwoko itu tetap berpendapat Ayin berhak mendapat potongan hukuman. Dua hal mendasari keputusan ini. Ayin dianggap tidak memperoleh keuntungan pribadi dalam penyuapan itu. Dia hanya berperan sebagai penghubung antara pihak terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sjamsul Nursalim, dan jaksa Urip. Satu hal lagi adalah pertimbangan kemanusiaan. Ayin, ujar hakim, wanita yang memiliki beberapa perusahaan dengan ribuan tenaga kerja. ”Ada jasa yang demi rasa kemanusiaan harus dipertimbangkan,” kata Hatta Ali, salah satu hakim.
Krisna Harahap, hakim lainnya, mengajukan dissenting opinion. Hakim ad hoc ini sejak awal mempersoalkan permohonan peninjauan kembali yang tidak diajukan sendiri oleh terpidana atau ahli warisnya, tapi oleh kuasa hukumnya. Terpidana menurut dia juga harus dihadirkan di persidangan. ”Secara formil, PK ini tak bisa diterima,” kata Krisna kepada Tempo. Ia mengutip Pasal 263 dan 265 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana: terdakwa atau ahli warisnya harus mengajukan permohonan peninjauan kembali secara langsung. Namun hakim anggota yang lain berpendapat kuasa hukum sudah mewakili Ayin yang sedang berada dalam kurungan penjara.
Artalyta, 47 tahun, ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal Maret 2008 di rumahnya, Jalan Terusan Hang Lekir Blok WG-9, Jakarta Selatan. Dia tertangkap tangan menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar US$ 660 ribu atau setara dengan Rp 6 miliar. Suap diberikan atas perintah Sjamsul Nursalim, pengusaha yang diduga terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Uang diberikan sebagai balas jasa karena Urip telah berhasil membantu Sjamsul. Sepekan sebelum penangkapan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengumumkan bahwa Sjamsul bebas dari tuduhan sebagai pengemplang Bantuan Likuiditas. Mantan bos Grup Gadjah Tunggal itu dinyatakan terbebas dari kewajiban mengembalikan dana Bantuan Likuiditas pada 1997-1998 karena telah mengantongi surat keterangan lunas dari negara.
Akhir Juli 2008, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Ayin dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Tak puas dengan putusan itu, Ayin mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang kemudian justru memperkuat putusan sebelumnya. Pertengahan Agustus tahun lalu, melalui kuasa hukumnya, Ayin mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Tak ada novum baru disertakan dalam permohonan yang diajukan. ”Kami hanya melihat hakim lalai dalam memutus perkara Ibu Ayin,’ kata Sopian Sitepu, salah satu pengacara Ayin.
Hakim lalai, kata dia, karena menggunakan keterangan saksi yang tidak bisa dijadikan alat bukti di persidangan. Dia membeberkan, keterangan dua penyidik yang dihadirkan di persidangan, yaitu Yuliawan Supereni dan Harry Maryanto dari Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak bisa dijadikan alat bukti. ”Dua saksi itu hanya mendengar dari alat elektronik. Mereka tidak mendengarkan secara langsung dan berada di tempat yang sama. Itu kekeliruan mendasar,” kata Sopian.
Sebelumnya, sekitar empat bulan lalu, masyarakat pernah dihebohkan dengan kabar mengejutkan perihal ”kondisi” Ayin di dalam penjara. Alih-alih kehidupannya terpelanting menjadi sederhana, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum memergoki ia memiliki fasilitas mewah di dalam Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, penjaranya selama ini. Kamar tidurnya dilengkapi kasur pegas ukuran dobel dan televisi layar datar 21 inci. Di situ juga ada mesin penyejuk udara yang disembunyikan di lemari pakaian.
Tak cukup hanya itu, ruangan serbaguna berukuran 6 x 6 meter di lantai tiga, yang biasa digunakan sebagai tempat kegiatan para tahanan, ternyata disulap menjadi kantor pribadi Ayin. Lengkap dengan mesin penyejuk udara, seperangkat sofa, meja kerja, serta kulkas yang penuh buah dan camilan.
Kasus ”penjara mewah” Ayin itu mendapat kritik pedas dari mana-mana. Ayin sendiri kemudian dipindahkan ke penjara wanita Tangerang. Di sini, semua kenikmatan ”tiada tara” seperti yang ia miliki di Pondok Bambu lenyap. Ia tinggal dan tidur di kamar tahanan, seperti tahanan lain.
Tiga bulan mendekam di balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang ini, Ayin merasa tak betah karena panas. Menurut Arti, Ayin sudah mengajukan permohonan tertulis kepadanya agar dipindahkan ke daerah berhawa sejuk. ”Pilihannya lembaga pemasyarakatan di Malang atau di Bandung. Katanya pingin yang berhawa sejuk,” ujar Arti.
Sidang itu digelar di ruang sidang Ketua Muda Pidana Khusus Djoko Sarwoko di lantai tiga gedung Mahkamah Agung. Dimulai pukul 10 pagi dan baru berakhir lepas tengah hari, sidang bersifat tertutup, hanya dihadiri lima hakim agung dan satu panitera.
Setelah pembahasan dissenting opinion oleh Krisna Harahap selesai, sidang memasuki tahap menentukan besarnya hukuman yang pantas diterima Ayin. Satu hakim berpendapat hukuman terhadap Ayin tak perlu dikurangi. Sedangkan tiga hakim lain merasa hukuman perlu dikurangi. Besarnya bervariasi. Bahkan seorang sumber Tempo menyebutkan satu hakim mengusulkan pengurangan hingga lebih dari satu tahun. Mengenai hal ini, Hatta menolak memberikan komentar. ”Intinya kesepakatan bersama dikurangi enam bulan,” kata Hatta, yang juga juru bicara Mahkamah Agung.
Bagi Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana, keputusan ini sangat disesalkan. Menurut Denny, di tengah semangat memberantas mafia hukum, seharusnya tidak ada pengurangan hukuman seperti yang dilakukan terhadap orang seperti Ayin ini. ”Sangat tidak bijak mengurangi hukuman. Seharusnya pemberatan,” kata Denny.
Bukan hanya Denny, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas pun menyatakan terkejut mendengar majelis hakim peninjauan kembali mengurangi hukuman Ayin. Komisi telah meminta salinan putusan itu melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk diteliti. ”Putusan itu menimbulkan pertanyaan besar bagi kami. Ada apa ini?” ujar Busyro.
Penyuapan yang dilakukan Ayin telah merusak independensi moralitas penegak hukum. Aparat tidak obyektif dalam memutus perkara, khususnya kasus korupsi. Secara tidak langsung Ayin memperoleh keuntungan dari perbuatannya. ”Jadi kemanusiaan untuk siapa?” kata Busyro.
Palu sudah diketuk dan Ayin—jika kelak mendapat hadiah remisi—dipastikan tak bakal menghuni penjara selama empat tahun itu. Tak ada lagi upaya hukum untuk melawan putusan yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat ini. ”Karena jaksa tak bisa mengajukan PK atas PK,” kata Rudy Satriyo Mukantardjo, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia.
Erwin Dariyanto, Ayu Cipta (Tangerang), Nurochman Arrazie (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo