Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1>Gugatan BPK</font><br />Kalau Pajak Masuk Mahkamah

Sidang gugatan BPK atas Undang-Undang Perpajakan yang dianggap membatasi gerak auditor dimulai. Lembaga yang sejajar dengan presiden.

11 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan Mahkamah Konstitusi, Selasa pekan lalu, Anwar Nasution tampil meledak-ledak. ”Ini praktek otoriter Orde Baru yang masih bertahan,” ujar Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu. Dalam sidang sengketa aturan main audit pajak itu, Anwar mengungkapkan sulitnya menelisik aliran duit negara yang dipungut Kantor Direktorat Jenderal Pajak. ”Dengan alasan melindungi wajib pajak, hak konstitusional BPK dilecehkan,” kata guru besar Universitas Indonesia itu.

Ia juga mengaku geli atas laporan tentang sepuluh juta wajib pajak baru. Setelah ditelusuri, kredibilitas wajib pajak yang bisa dipercaya cuma sepertiganya. Itu pun, katanya, sepertiga juta kartunya belum dicetak. Adapun empat juta yang mendapat nomor pokok wajib pajak, jati dirinya aneh-aneh. ”Ada orang mati dikasih NPWP,” kata Anwar, yang mengaku punya NPWP ganda.

Sidang dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie, dengan sembilan anggota majelis. Dari pemerintah hadir Menteri Keuangan Sri Mulyani, Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution, dan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution. Dewan Perwakilan Rakyat diwakili Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Kerja Undang-Undang Perpajakan.

Selama satu jam Anwar membacakan materi judicial review setebal 16 halaman. Menurut bekas Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia itu, hak konstitusional BPK mengaudit secara bebas dan mandiri terhalang Undang-Undang No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang Perpajakan).

Pada satu pasalnya disebutkan, BPK memang tak bisa seenaknya mengobok-obok data pajak tanpa seizin Menteri Keuangan. Nah, aturan inilah yang diributkan Anwar. Selain dianggap menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945, yang memberikan mandat penuh BPK mengorek aliran duit negara di in-stansi pemerintah, izin menteri itu tidak mudah. ”Permintaan BPK sering tak digubris,” katanya.

Sempitnya ruang gerak BPK, menurut Anwar, berakibat pada laporan keuangan pemerintah pusat. BPK terpaksa tak memberikan pendapat apa-apa alias disclaimer. ”Tidak mungkin memberikan opini atas sesuatu yang tidak kami ketahui,” ujarnya. Padahal, ”Setiap sen uang yang dipungut negara harus diketahui sumber serta pemakaiannya.”

Setelah mendengar uraian Anwar, pimpinan sidang menawarkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menjawab uraian Ketua BPK. Sri, yang duduk di samping kiri deretan majelis hakim, tak beranjak berdiri. Ia mengaku belum siap menjawab. Ia mempertanyakan rangkaian sidang yang terpotong.

Lazimnya, sidang permohonan uji atas undang-undang dimulai dari pendahuluan. ”Tapi ini langsung sidang pleno,” Sri Mulyani menyoal. ”Kami tidak siap karena ada perubahan tata urutan waktu yang dipotong.” Ia meminta waktu tujuh hari untuk menyiapkan jawaban. Ketua MK memutuskan, sidang dilanjutkan pada 19 Februari.

Sebetulnya, ”pertengkaran” antara BPK dan Ditjen Pajak sudah ada sejak tiga tahun silam. Awalnya adalah tanggapan Anwar Nasution atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2005. Pada saat itu realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 347,03 triliun atau 70 persen dari pendapatan negara sebesar Rp 493,92 triliun. BPK menganggap angka ini tak memadai.

Perkiraan penerimaan pajak 1 Januari-31 Desember 2006, yang angkanya lebih rendah dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan, juga dijadikan contoh buruk oleh Anwar. Penerimaan pajak di seluruh Indonesia ketika itu Rp 304,28 triliun, menyusut Rp 28,73 triliun dibanding target Anggaran Perubahan 2006 sebesar Rp 333,01 triliun.

Puncaknya adalah ketika BPK menyatakan tak memberikan opini atas laporan keuangan pemerintah selama tiga tahun berturut-turut, 2005-2007. Sikap itu diutarakan dalam Sidang Paripurna DPR, pertengahan tahun lalu. Menurut Anwar, Kantor Ditjen Pajak tidak transparan dan tak bisa diaudit. ”Hanya Tuhan dan Dirjen Pajak yang tahu informasi pajak,” katanya waktu itu. Jika BPK selalu memberikan rapor disclaimer, dampaknya bisa mempengaruhi kepercayaan publik.

Pada 2007, Anwar Nasution dan Dirjen Pajak Darmin Nasution mencoba berangkulan. Keduanya meneken nota kesepahaman (MOU) untuk merumuskan tata cara mengaudit keuangan pajak. Sampai akhir Januari lalu, pembahasan kerja sama ini sudah mencapai 12 kali pertemuan. Sejumlah kompromi tata cara mengaudit disetujui, antara lain mengatur mekanisme memeriksa data wajib pajak yang kerahasiaannya dilindungi undang-undang.

”Jalan bareng” ini rupanya tak lama. Keadaan runyam lagi ketika Anwar Nasution, 5 Februari lalu, tiba-tiba mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Perpajakan ke MK. Menteri Keuangan Sri Mulyani kaget. Dirjen Pajak Darmin Nasution membalasnya dengan mencabut MOU. Padahal draf kesepakatan sedang disodorkan ke Menteri Keuangan untuk diteken.

Darmin menjelaskan, sebenarnya dengan MOU itu tim auditor bisa leluasa bekerja. Perbedaan prinsip antara lembaga Ditjen Pajak dan BPK sudah dikompromikan dalam dua pilihan. Pertama, auditor harus lebih dulu menentukan siapa wajib pajak yang hendak diperiksa. ”Setelah disepakati, dan ada jaminan dokumen kerahasiaan wajib pajak tidak akan bocor, pemeriksaan langsung jalan,” Darmin menjelaskan.

Kedua, menurut Darmin, pemerintah menerbitkan aturan yang merahasiakan nama wajib pajak yang akan diaudit. Maksudnya, ketika auditor memeriksa wajib pajak, dia tidak mengenal wajib pajak tersebut. ”Ini sudah sangat longgar untuk tugas tim BPK,” kata Darmin.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, Undang-Undang Perpajakan memang memasang rambu-rambu ketat pada audit pajak. Tujuannya tidak untuk mengintervensi independensi BPK. Izin Menteri Keuangan dalam pengaturan audit merupakan bentuk perlindungan hak wajib pajak yang diatur konstitusi. ”Data tentang wajib pajak adalah hak pribadi sebagai warga negara,” kata Sri Mulyani.

Anggota DPR Patrialis Akbar mengatakan, kewenangan konstitusi BPK yang bebas dan mandiri adalah dalam tataran kelembagaan. ”Bukan bebas mandiri dalam cara kerjanya.” Undang-Undang Perpajakan tidak mengurangi kewenangan BPK. ”Pemerintah tetap memberikan ruang BPK untuk masuk.”

Patrialis menilai ”keributan” antara BPK dan Ditjen Pajak ini lebih disulut oleh ketidakharmonisan antarlembaga negara. ”Saya kira uji materi ini ada hikmahnya, agar ke depan diatur bagaimana lembaga negara saling menghormati,” katanya.

Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai tepat langkah BPK mengajukan judicial review. ”Undang-undang itu penting untuk menjamin akses BPK dalam mengaudit Ditjen Pajak,” katanya. Mendapatkan izin Menteri Keuangan, menurut dia, memang tak mudah. Padahal BPK berkejaran dengan waktu. Masa kerja auditor dibatasi dua bulan, sedangkan izin Menteri Keuangan butuh waktu sembilan bulan. ”Bagaimana mungkin BPK bekerja maksimal?”

Faisal mengingatkan, BPK itu lembaga yang sejajar dengan presiden. Tidak bisa didikte-dikte oleh lembaga di bawahnya. Sebaliknya, pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, berpendapat bahwa pengujian Undang-Undang Perpajakan tidak perlu. Cuma akan menghabiskan waktu. ”Itu masalah teknis yang bisa diatur,” katanya.

Elik Susanto, Agus Supriyanto, Arti Ekawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus