Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG DPRD Kota Surabaya mendadak sepi. Ruang-ruang komisi di lantai dua yang biasanya selalu hiruk-pikuk kini terlihat lebih banyak lengang. Sejumlah anggota Dewan yang biasanya rajin menyapa wartawan berubah sikap, lebih banyak tutup mulut. ”Anggota sedang berkonsentrasi menghadapi penyidikan,” kata Ketua Komisi A, Retna Wangsa Bawana. Komisi ini membidangi masalah hukum dan pemerintahan.
Para wakil rakyat di Kota Buaya itu memang tengah dirundung masalah. Sejak tiga pekan lalu, secara bertahap, Kepolisian Daerah Jawa Timur memeriksa semua anggota Dewan—termasuk pimpinannya—yang jumlahnya 45 orang. Mereka diperiksa atas dugaan menerima dana gratifikasi lantaran menyetujui anggaran proyek busway dalam APBD Kota Surabaya. Penyelidikan kasus ini memang berawal dari informasi yang diterima polisi tentang adanya ”bagi-bagi uang” dari Pemerintah Kota Surabaya kepada Dewan.
Menurut seorang penyidik polisi kepada Tempo, uang itu dikucurkan dua tahap, yakni sebelum dan sesudah rapat paripurna Dewan untuk mengesahkan APBD Kota Surabaya 2008 yang digelar pada 26 Oktober tahun lalu. Tahap pertama, 4 Oktober, yakni ketika pembahasan berjalan, sebesar Rp 470 juta. Adapun tahap kedua, Rp 250 juta, diberikan kepada anggota Dewan pada 28 Oktober, dua hari setelah APBD disahkan.
Salah satu pos anggaran yang disetujui bernilai Rp 98 miliar untuk proyek pembangunan fasilitas dan pengadaan alat transportasi bus rapid transit—sejenis busway di Jakarta. ”Pemberian duit itu diduga terkait dengan disetujuinya proyek busway itu,” ujar sumber ini. Walau polisi kini tengah mendalami penyaluran tahap pertama, titik terang adanya ”skandal duit busway” itu justru ditemukan pada tahap penyidikan pembagian duit tahap kedua.
Menurut data yang diperoleh penyidik, dana Rp 250 juta itu diduga diserahkan Sekretaris Kota Surabaya Sukamto Hadi kepada Ketua DPRD Musyafak Rouf. Penyerahan dilakukan di ruang rapat DPRD. Oleh Musyafak, uang dibagi ke anggota dengan besaran berbeda. Setiap anggota panitia anggaran, jumlahnya 18 orang, menerima sekitar Rp 7,5 juta. Sebanyak 12 anggota panitia musyawarah masing-masing mendapat Rp 5 juta. Adapun sisanya dibagi rata ke semua anggota Dewan.
Penyidik sebenarnya telah menelusuri penyaluran dana itu sejak November tahun lalu. Selain Sukamto Hadi, Asisten II Sekretaris Kota Muklas Udin dan Kepala Biro Keuangan Kota Surabaya, Purwito, sudah diperiksa. Setelah memeriksa para pejabat inilah, polisi menemukan indikasi dugaan gratifikasi. Dari sini aparat lantas meminta izin Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo, untuk memeriksa semua anggota dewan. Pada 18 Januari lalu izin Gubernur turun.
Para anggota Dewan rupanya tahu perkara uang ini bisa menyeret mereka masuk bui. Maka, belum lagi pemeriksaan itu dilakukan, ”uang panas” Rp 250 juta itu buru-buru dikembalikan Dewan ke kas daerah. Polisi tak mau kalah cepat. Sebanyak Rp 10 juta, dari Rp 250 juta yang dikembalikan, plus kuitansi pengembalian, disita sebagai bukti. ”Mengembalikan uang itu hak anggota Dewan. Tapi polisi tetap meneruskan penyidikan,” kata Direktur Reserse Kriminal Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Rusli Nasution. ”Kalau memang tidak ditemukan pelanggaran, akan kami umumkan.”
Selain Musyafak, pada 29 Januari lalu, hampir semua anggota Dewan kini telah diperiksa Satuan Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reskrim Polda Jawa Timur. Satu-satunya yang belum diperiksa adalah M. Alyas. Menurut seorang penyidik, anggota Fraksi Partai Golkar ini dua pekan lalu sudah menjalani pemeriksaan. Namun saat itu Alyas gugup dan bolak-balik ke kamar kecil. ”Akhirnya diberi dispensasi, pemeriksaan ditunda,” ujar seorang penyidik. Meski hampir semua diperiksa, hingga kini polisi belum menetapkan siapa tersangka kasus ini. Menurut Rusli, pihaknya masih akan meminta penjelasan ahli tata negara dan praktisi anggaran tentang kasus ini.
Musyafak Rouf sendiri kini enggan berbicara tentang kasus ”duit busway” yang membelitnya itu. ”No comment,” katanya pendek. Senin pekan lalu, anggota Dewan berencana menggelar jumpa pers untuk menjelaskan perkara itu. Tapi acara itu lantas dibatalkan tanpa alasan jelas. Sejumlah anggota Dewan terus terang mengakui memang menerima uang itu. ”Saya memang menerima, tapi karena khawatir saya kembalikan,” ujar Retna Wangsa Bawana.
Tak hanya anggota Dewan, Sekretaris Kota Surabaya, Sukamto Hadi, yang biasanya terbuka kepada wartawan, kini tiba-tiba menjadi sulit ditemui. Adapun Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi Hartono, menyatakan uang yang diberikan ke Dewan bukan bentuk gratifikasi. Menurut dia, dana itu bagian dari jasa pungut yang biasa disingkat japung. Dan DPRD adalah instansi penunjang pajak yang layak mendapat hasil dari jasa pungut itu. ”Semua yang kami berikan sesuai dengan aturan dan haknya,” kata Bambang. Menurut Bambang, setiap tahun, jajarannya diperiksa BPK dan hasilnya memuaskan. Bambang sendiri tetap mempersilakan polisi memeriksa kasus pemberian dana itu. ”Tapi saya harap tidak pilih-pilih dan cari-cari kesalahan.”
Tidak semua anggota Dewan setuju bahwa dana dari jasa pungutan itu hak DPRD. Menurut anggota Partai Keadilan Sejahtera, Ahmad Jabir, DPRD bukan instrumen penunjang pendapatan pajak. Sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Pemungutan Pajak Daerah, jasa pungutan, kata Ahmad, adalah biaya pemungutan pajak yang diberikan ke aparat pelaksana pemungutan pajak dan aparat penunjang. ”Jadi, DPRD tidak sah mendapat jatah japung,” ujar Jabir. Sejak awal, ujarnya, ia dan rekannya anggota PKS menolak menerima dana tersebut.
Menurut anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, tak ada satu pun aturan yang membenarkan DPRD memperoleh dana jasa pungutan. ”DPRD tidak boleh mendapat honorarium di luar posisinya sebagai legislator,” kata Adnan. Karena itu, kata Adnan, pemberian dana itu bisa dianggap gratifikasi. Apalagi jika polisi bisa membuktikan, pemberian dana tersebut dilatarbelakangi motif mengegolkan proyek busway. ”Jelas itu bisa digolongkan suap,” kata Adnan.
Dimas Adityo, Rohman Taufiq dan Kukuh S Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo