Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Message in the Bottle disampaikan secara sempurna. Pesan trio The Police itu diterima sekitar 10 ribu penonton yang memadati Singapore Indoor Stadium, Singapura, dengan kerinduan meluap, Senin pekan silam. Penonton ikut bernyanyi, bergoyang, melonjak-lonjak dan berteriak histeris mengungkapkan perasaan pada kelompok musik yang bereuni setelah bubar sejak 1986 itu. Hampir dua jam, Gordon ”Sting” Summer, Stewart Copeland, dan Andy Summers mengaduk-aduk perasaan penonton dengan 18 lagu yang pernah menduduki tangga teratas musik dunia pada dekade 1980.
The Police berhasil membuktikan tetap digdaya dan berdaya tarik kuat. Tiket yang dijual dengan harga S$ 98—600 (sekitar Rp 644 ribu—3,9 juta), belum termasuk ongkos pesan, terjual habis. Padahal harga tiket ini lebih mahal ketimbang Santana dan Maroon 5 yang juga akan manggung di Singapore Indoor. Bahkan tiket di belakang panggung—penonton hanya bisa melihat punggung pemain band sembari berharap mereka menoleh ke belakang—juga ludes. Selain penonton lokal Singapura, penggemar The Police dari Indonesia dan dari negara-negara tetangga Singapura berbondong-bondong datang demi melepas rindu pada band ini.
Konser di Singapura sendiri adalah bagian dari tur Asia dan Australia yang dimulai di Wellington, Selandia Baru, 17 Januari silam, dan diakhiri di Tokyo, Jepang, pas Valentine’s Day, 14 Februari. Ini merupakan bagian dari rangkaian tur reuni dunia yang diawali di Vancouver, Kanada, Mei 2007, dan akan berakhir di Madrid, Spanyol, Juli nanti. Sedangkan kabar tentang reuni ini sudah beredar di berbagai media musik sejak awal 2007.
Sungguh sebuah tur raksasa. Namun alasan untuk reuni pun kuat. The Police memperingati 30 tahun Roxanne, lagu tunggal pertama yang mengantarkan grup asal Inggris ini ke panggung ketenaran. Demi ”gadis lampu merah” inilah, tiga personel yang sudah melewati usia setengah abad—Sting 57 tahun, Copeland 56 tahun, dan Summers, 66 tahun—rela berkeliling dunia. Mereka harus melakukan sekitar 114 kali pertunjukan di lebih dari 80 kota di empat benua selama 2007-2008 ini.
Semua ”pengorbanan” demi Roxanne, si gadis lampu merah, tampaknya tidak sia-sia. Dari setengah masa tur reuni The Police, sambutan publik tak pernah mengecewakan. Penampilan pertama di Vancouver memukau 22 ribu penonton. Sedangkan di Dublin, Irlandia, penonton mencapai 82 ribu orang—ini yang terbesar hingga saat ini.
Nilai uang yang diraup pun fantastis. Forbes.com menyebutkan, pendapatan konser reuni kelompok musik genre rock dan new wave yang berdiri pada 1977 itu adalah yang terbesar dibanding konser reuni band lain. Bayangkan, tak kurang dari 150 juta tiket dengan harga rata-rata US$ 112 per lembar atau sekitar Rp 1 juta habis terjual. Dari konser saja, The Police memperoleh pemasukan kotor US$ 133, 2 juta (sekitar Rp 1,24 triliun). Atau total pendapatan—ditambah penjualan album dan suvenir—US$ 142,4 juta atau sekitar Rp 1,33 triliun. Sebagian penghasilan disumbangkan untuk WaterAid, sebuah organisasi internasional nirlaba yang membantu pengadaan air bersih di negara-negara miskin.
Untung saja, pendapatan yang mungkin bikin iri grup band lainnya itu dibayar lunas oleh Sting, Stewart, dan Copeland kepada penonton dan penggemarnya selama tur. Di Singapura, mereka tampil memukau, seperti diharapkan. Apalagi ditambah profesionalitas panitia yang membantu pertunjukan berjalan mulus dan nyaman. Maklum, gangguan kecil saja bisa mengganggu jalannya pertunjukan, apalagi yang dinanti-nantikan seperti The Police ini. Seperti yang terjadi di Perth, Australia, awal Februari lalu. Penonton marah dan terganggu gara-gara ada yang mabuk dan kencing di celana.
Konser The Police di usia matang ini memang harus dinikmati tanpa gangguan. Karena mereka sudah tampil menjadi sosok yang berbeda meskipun tetap dengan roh The Police muda. Ya, karena mereka sudah melewati masa-masa aneh: bubar dengan alasan tidak jelas lalu masing-masing berkarir solo. Hubungan mereka pun baru kembali membaik—meskipun tanpa rencana kembali rekat menjadi The Police—ketika Sting menikahi Trudie Styler pada 1992. ”Ini bukan déjà vu. Benar, ini adalah band yang sama, namun kami berada di masa yang baru. Kami tidak hidup di masa lalu,” kata Summers mengomentari konser reuni, dalam wawancaranya dengan koran The Courier Mail, Australia, akhir Januari lalu.
Memang, The Police tampil dengan kebaruan. Sting tampak paling muda di antara ketiganya. Postur tubuhnya atletis dan berotot. Dia tampak energetik mengendalikan gitar bas Fender Precision, yang sudah menjadi trade mark-nya. Dalam beberapa lagu yang dilantunkan, Sting juga memainkan pedal bas untuk menghasilkan efek suara yang panjang. Meskipun tak memaksakan bernyanyi di nada-nada tinggi dan tempo cepat, Sting masih lihai melakukan lompatan tinggi khas yang biasa dia lakukan di konser pada 1980-an.
Kemampuannya berkomunikasi dengan penonton juga tak diragukan. Tatkala menyanyikan lagu De Do Do Do De Da Da Da, misalnya, mantan guru itu mengajak penonton melanjutkan De Da Da Da, setelah dia bernyanyi De Do Do Do. Ketika membawakan Can’t Stand Losing You, raungan gitar Summers ditambah permainan lampu panggung yang spektakuler, serta ucapan Sting, ”This is the moment of truth,” membuat penonton yang selalu mengikuti lagu-lagu yang dibawakan, histeris. Apalagi setelah itu Sting membawakan Roxanne—balada gadis pelacur yang membuat grup ini menaklukkan pasar Amerika—dengan improvisasi menarik, membuat kegairahan penonton seperti tak terbendung lagi.
Adapun Summers juga menunjukkan daya pikatnya. Meskipun tampak paling tua di antara ketiganya, permainan gitar Fender Stratocaster merah dan Fender Telecaster kecokelatan ini masih menyengat. Ketika membawakan lagu So Lonely, Summers bergitar solo cukup panjang, dan membuat penonton berteriak histeris. Dalam lagu Every Breath You Take, lagu kedua terakhir dalam pertunjukan di Singapura, Summers kembali ”berakrobat” dengan gitarnya.
Tak ketinggalan, Copeland, sang penggebuk drum sekaligus pendiri The Police. Meski tampak tua dengan kaca mata, pukulannya pada satu set drum TAMA—drum yang digebuknya pada konser di masa lalu—masih bertenaga. Permainan perkusinya pun tetap bergigi. Dia juga masih mengenakan satu sarung tangan di tangan kirinya, seperti penampilan live di masa lalu.
Tampaknya memang tak ada penonton yang menggugat penampilan The Police, meskipun mereka membawakan lagu dengan tempo yang lebih lambat. Melihat Sting, Stewart, dan Copeland kembali tampil bersama sudah cukup.
Pun, sebaliknya. Tak ada dari ketiga personel The Police yang menganggap tur ini sebagai pengulangan kejayaan di masa lalu. The Police yang sekarang berbeda. ”Saya sangat emosional kembali menyanyikan lagu-lagu The Police,” kata Sting kepada The Courier Mail. ”Tapi tak ada lagi pesta setelah pertunjukan yang sampai membuat kami melempar televisi dari jendela.”
Summers juga mengakui perbedaan melihat band dari perspektif dulu dan sekarang. Dia dulu suka memotret wajah anggota The Police. Sekarang dia lebih suka hal yang lebih subtil, mengabadikan wajah kota yang disinggahi pada dini hari setelah pertunjukan. Tapi apakah mereka akan kembali rekat dan membuat album baru? Itu yang belum ada jawabannya.
Handi Dharmawan (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo