Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Giliran Anak Mengganti Bapak

Kejaksaan mengajukan keenam anak Soeharto sebagai tergugat dalam perkara Yayasan Supersemar. Tak perlu dokumen yang membuktikan mereka anak Soeharto.

11 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA berkabung yang membuat sidang itu libur kini sudah lewat. Pekan ini sepucuk surat segera disampaikan tim jaksa Kejaksaan Agung kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Isinya, menyatakan Siti Hardijanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih sebagai tergugat dalam kasus penyelewengan dana Yayasan Supersemar. ”Keenam anak itu harus bertanggung jawab menggantikan posisi Soeharto,” kata anggota tim jaksa, Yoseph Suardi Sabda.

Setelah Soeharto meninggal akhir Januari lalu, sidang kasus gugatan Yayasan Supersemar ini memang diliburkan sementara. Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), perkara ini tidak otomatis ikut mandek, tapi dilanjutkan ahli warisnya. Anak-anak Soeharto memikul tanggung jawab yang sama untuk menggantikan posisi sang bapak. ”Sama halnya dengan hak mereka mendapat harta warisan ayahnya,” kata Yoseph.

Hanya, pelimpahan tanggung jawab itu tak berlangsung begitu saja. Ada tahap yang mesti dilalui sebelum pengadilan menghadirkan keenam anak mantan penguasa Orde Baru itu ke ruang sidang. Tahap terpenting, jaksa menyampaikan kepada majelis hakim perihal kematian Soeharto sembari menunjuk ahli waris yang menggantikannya. Tahap selanjutnya, jaksa meminta majelis hakim memanggil ahli waris tersebut ke persidangan. Nah, Selasa pekan ini, tahap pertama itulah yang dilakukan. ”Secara tertulis dan langsung,” kata Yoseph.

Soal ahli waris ini, menurut aturan hukum perdata, perlu ada bukti yang bersangkutan benar ahli waris. Buktinya bisa berupa keterangan surat lahir, surat dari kelurahan, dari kecamatan, atau dari notaris. Tapi, khusus untuk perkara Soeharto ini, kejaksaan menganggap tak perlu mengumpulkan dokumen atau keterangan seperti itu. Alasannya, masyarakat sudah mengetahui keenam tergugat itu anak-anak Soeharto. ”Kecuali kalau mereka menyangkal,” kata Yoseph. Kalaupun mereka menyangkal, kejaksaan sudah memiliki ”senjata” lain. ”Kami sodorkan bukti, termasuk saksi atau rekaman gambar yang memperlihatkan mereka anak Soeharto,” kata Yoseph.

Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Efran Basuning, sependapat dengan Kejaksaan Agung. Menurut Efran, sudah menjadi pengetahuan umum, keenam tergugat itu anak-anak Soeharto. Hanya, untuk ”hitam putih” di pengadilan, menurut Efran, harus disiapkan surat yang menunjuk mereka memang ahli waris. ”Bisa menggunakan surat keterangan dari pamong praja atau akta kelahiran.”

Gugatan ini berawal dari dugaan penyimpangan dana Yayasan Supersemar pada saat Soeharto berkuasa. Dana yayasan itu sendiri diperoleh dari sisa laba bersih bank-bank pemerintah. Saat itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976, yang kemudian diatur lagi lewat Keputusan Menteri Keuangan, setiap bank harus menyetor 50 persen dari 5 persen sisa laba bersih mereka ke rekening yayasan.

Dana itu, sesuai dengan tujuan yayasan, digunakan membantu pendidikan pelajar dan keluarga tak mampu. Tapi prakteknya yayasan ternyata menggelontorkan duit itu ke sejumlah perusahaan keluarga dan kroni Soeharto. Pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung melayangkan gugatan ke pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejaksaan menggugat Soeharto, sebagai tergugat pertama, dan Yayasan Supersemar sebagai tergugat dua, membayar ganti rugi material sebesar dana yang diperoleh yayasan. Selain itu, juga menuntut ganti rugi imaterial Rp 10 triliun. Pada akhir Januari lalu, sidang yang dimulai sejak Agustus 2007 itu seharusnya masuk agenda kesimpulan. Tapi, karena Soeharto meninggal, sidang pada akhir Januari lalu itu pun dibatalkan.

Tak hanya tergugatnya yang baru lantaran Soeharto meninggal, pengacara Soeharto dalam kasus ini pun otomatis dianggap gugur. Jadi, jika memakai pengacara, anak-anak Soeharto harus menunjuk pengacara baru. ”Mereka bisa saja menggunakan pengacara sebelumnya, asal ada surat kuasa baru,” kata Yoseph. Efran Basuning juga berharap anak-anak Soeharto secepatnya mengambil sikap. ”Supaya segera jelas, siapa yang mewakili mereka di persidangan nanti.”

Secara hukum, anak-anak Soeharto itu bisa saja menolak menggantikan posisi ayahnya sebagai tergugat. Hanya, jika ini terjadi, kata Yoseph, akan muncul konsekuensi lain. Mereka tak boleh menerima semua harta yang ditinggalkan Soeharto. ”Singkatnya, susahnya ditolak, enaknya juga tidak boleh diterima,” katanya.

Kendati demikian, jika anak-anak Soeharto menolak jadi tergugat, jaksa tetap masih punya celah lain menuntut ganti rugi. Kali ini ”mengalir” ke cucu atau cicit Soeharto yang sudah dewasa. Atau bisa juga ke saudara atau keponakan Soeharto. Menurut Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Untung Udji Santoso, jika semua menolak menjadi ahli waris, pihaknya akan menyerahkan aset Soeharto ke Balai Harta Peninggalan karena harta itu dianggap tidak bertuan.

Perihal ”warisan gugatan” itu, anak-anak Soeharto sendiri sampai kini masih menunggu. Menurut kuasa hukum Keluarga Cendana, Juan Felix Tampubolon, sebelum ada panggilan pengadilan, keluarga Soeharto belum menentukan sikap: apakah tetap melanjutkan persidangan dan menentukan siapa yang mewakili mereka jika sidang itu dilanjutkan. ”Menurut undang-undang, hakim harus memanggil, baru nanti yang dipanggil menentukan sikap, mau memenuhi atau tidak,” kata Juan.

Juan beberapa kali menyambangi putra-putri Soeharto setelah kematian ayah mereka. Namun sejauh ini, kata Juan, belum ada pembicaraan antara pengacara dan Keluarga Cendana tentang lanjutan sidang Yayasan Supersemar. ”Suasananya belum memungkinkan. Tapi, dalam satu atau dua hari, ada rencana membicarakan hal ini,” katanya.

Menurut pakar hukum perdata dari Universitas Gadjah Mada, Nindyo Pramono, langkah kejaksaan menunjuk enam putra-putri Soeharto sebagai ahli waris Soeharto sudah tepat. ”Itu memang tercantum dalam KUH Perdata,” ujarnya. Hanya, dalam hal ini, kata Nindyo, syaratnya kejaksaan harus terlebih dulu mendata seluruh harta Soeharto. Selain itu, kejaksaan seharusnya juga membuktikan apakah anak cucu Soeharto pernah mendapat harta hibah pada saat Soeharto masih hidup. ”Kalau terbukti ada dan bisa dipertimbangkan menjadi bagian dari harta warisan, mereka ini bisa digugat,” ujar Nindyo.

Kejaksaan rupanya tidak hanya menggugat ahli waris Soeharto dan Yayasan Supersemar. Sebuah langkah baru disiapkan kejaksaan: mengejar para penerima duit yayasan itu. Surat izin untuk menggugat mereka ini sudah dilayangkan kejaksaan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Kami akan menggugat kalau sudah turun surat kuasa dari Presiden,” kata Yoseph. Kisah yayasan Soeharto di meja hijau—setelah sang penggagasnya mangkat—memang bakal panjang.

Sunariah

Dana Pendidikan untuk Beragam Bisnis

Yayasan Beasiswa Supersemar didirikan Soeharto pada 16 Mei 1974. Sejak berdiri sampai meninggal, Soeharto duduk sebagai ketua organ pembina. Ketua organ pengurus dijabat Arjodarmoko, 82 tahun. Yayasan memiliki dana abadi Rp 600 miliar yang didepositokan dan diinvestasikan di sejumlah perusahaan.

Tujuan yayasan: membantu pelajar tidak mampu melanjutkan pendidikan dan untuk kepentingan pendidikan lainnya.

Asal dana: Sisa laba bersih bank-bank milik pemerintah. Setiap bank diharuskan menyetor 50 persen dari 5 persen sisa laba bersih yang mereka peroleh.

Dana terkumpul: US$ 420 juta (sekitar Rp 3,78 triliun) dan Rp 185,9 miliar.

Penyimpangan:

  • US$ 419,9 juta dikucurkan ke PT Bank Duta (September 1990)
  • Rp 13 miliar dikucurkan ke PT Sempati Air (23 September 1989—17 November 1997)
  • Rp 150 miliar dikucurkan ke PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti (13 November 1995)
  • Rp 12,74 miliar dikucurkan ke PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri (Desember 1982—Mei 1993)
  • Rp 10 miliar dikucurkan ke Kelompok Usaha Kosgoro (28 Desember 1993)

Kerugian negara:

  • US$ 420 juta (sekitar Rp 3,78 triliun) dan Rp 185,9 miliar

    Sita jaminan:

  • Tanah dan bangunan Gedung Granadi di Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 8-9 Kuningan, Jakarta Selatan

    Tergugat:

    • Soeharto (kini diteruskan ke ahli warisnya)
    • Yayasan Beasiswa Supersemar
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus