Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETEGANGAN terjadi di ruang rapat Ketua Mahkamah Konstitusi di lantai 15 Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin malam pekan lalu. Ini adalah pertemuan para hakim konstitusi dengan tim investigasi mengenai tulisan Refly Harun di harian Kompas: "MK Masih Bersih?"
Suasana mulai cair saat Maria Farida Indrati angkat bicara. Dengan suara tercekat karena menahan tangis, hakim Mahkamah Konstitusi itu menuturkan pengalamannya. Ia mengaku hendak membantu biaya berobat sanak familinya yang tengah sakit dua pekan lalu. Tanpa diduga-duga, familinya itu mengajukan syarat, mau menerima uluran tangannya asalkan uang itu bukan hasil korupsi.
Setelah Maria menumpahkan unek-uneknya, tangisnya pun pecah. Kepada tim, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. dan hakim Akil Mochtar juga menuturkan dampak tulisan yang dimuat pada 25 Oktober itu. "Selain dicurigai keluarga dan kolega, sesama hakim saling curiga," kata Mahfud kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Malam itu hadir para hakim konstitusi, minus Arsyad Sanusi. Dari pihak tim, selain Refly, yang ditunjuk sebagai ketua, hadir tiga anggota tim: Adnan Buyung Nasution, Saldi Isra, dan Bambang Widjojanto. Satu anggota lagi, yaitu Bambang Harymurti, absen karena sedang di Australia.
Di forum itu, Refly dicecar sejumlah hakim konstitusi. Ia berkukuh tak asal menulis. Namun Refly tak mau membeberkan bukti yang dia miliki. Ia akan mengungkapnya setelah investigasi kelar. Tim diberi waktu sebulan, sampai 8 Desember nanti. Jika terbukti ada hakim yang "main mata", Mahfud berjanji akan menyeret hakim itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tak hanya itu, kepada Tempo, ia berjanji akan mundur dari Mahkamah Konstitusi. "Artinya, saya sudah gagal memimpin," katanya.
Langkah mengundurkan diri juga akan ditempuh Akil Mochtar jika apa yang ditulis Refly itu benar. Sebaliknya, kalau tulisan itu tidak terbukti, baik Mahfud maupun Akil menyebut kemungkinan Refly dilaporkan ke polisi, dengan delik pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong. Opsi lain, Refly cukup menulis di harian yang sama bahwa apa yang dia tulis sebelumnya tidak benar. "Ia juga harus berbesar hati minta maaf," kata Akil.
Tulisan Refly di rubrik opini itu sejatinya adalah tanggapan pakar hukum tata negara Universitas Indonesia ini terhadap pernyataan Mahfud dalam jumpa pers 19 Oktober lalu. Santernya desas-desus mafia perkara di Mahkamah Konstitusi membuat Mahfud gerah. Kepada wartawan, Mahfud menjamin institusi yang dipimpinnya 100 persen "bersih". Pernyataan inilah yang dikomentari Refly. Ia meragukan klaim Mahfud itu.
Dalam tulisannya, Refly mengaku kerap mendengar selentingan Mahkamah Konstitusi mulai "masuk angin". Ketika ke Papua, ia mendengar keluhan seseorang di sebuah pertemuan, yang mengatakan pihak yang bersengketa soal pemilihan kepala daerah membutuhkan dana yang terbilang besar. Mengutip perkataan orang itu, Refly menyebut angka Rp 10-12 miliar.
Di bagian lain, ada pihak yang bercerita kepadanya pernah gagal bernegosiasi untuk memenangi perkara pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Hakim, kata orang itu seperti ditulis Refly, meminta duit Rp 1 miliar. Si pemohon, seorang calon gubernur, hanya sanggup memberikan garansi bank. Karena ditunggu sampai sore dana tidak cair, negosiasi gagal dan perkara ditolak. Refly juga menulis, ia pernah melihat dolar Amerika senilai Rp 1 miliar yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim Mahkamah.
Bekas anggota staf ahli Mahkamah ini menyoroti perkara-perkara pemilihan kepala daerah yang paling rawan menimbulkan praktek mafia peradilan. Dalam kasus pemilihan kepala daerah, begitu Refly menulis, pemeriksaan dan keputusan diambil panel yang terdiri atas tiga hakim. Berbeda dengan perkara pengujian undang-undang yang putusannya harus diambil sembilan orang, dalam perkara pemilihan kepala daerah, kata dia, enam hakim lain tidak terlibat. "Tiga hakim ini yang rawan disusupi," tulisnya.
MAHFUD tahu adanya opini itu setelah dikirimi pesan pendek oleh sahabatnya, dosen Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada hari opini itu terbit. Pagi itu ia hendak balik dari Yogya ke Jakarta. Setelah membaca tulisan itu, ia mengelus dada. "Saya langsung limbung," katanya. Setiba di Jakarta, ia mengumpulkan semua hakim konstitusi untuk membahas tulisan itu.
Karena tuduhannya serius, sorenya mereka menggelar rapat. Selain meminta tulisan dibuktikan, rapat memutuskan menunjuk Refly sebagai ketua tim investigasi. Refly ditunjuk, kata Mahfud, karena ia yang tahu persoalan. Pihaknya ingin memberikan pelajaran kepada setiap orang: ketika berani menuduh, harus berani membuktikan. Seusai rapat, Mahfud menelepon Refly mengabarkan pembentukan tim investigasi dan memintanya menjadi ketua.
Refly diminta mencari dua nama sebagai anggota tim. Dua orang lagi ditunjuk Mahkamah Konstitusi. Sepekan mencari, Jumat dua pekan lalu, Refly menyetor nama Adnan Buyung Nasution dan Bambang Harymurti. Mahkamah sendiri menunjuk Bambang Widjojanto dan Saldi Isra. "Butuh waktu meyakinkan orang yang mau menjadi anggota tim," kata Refly.
Menurut Mahfud, tim berwenang menginvestigasi, bukan memeriksa. Kewenangan memeriksa, kata dia, hanya melekat pada institusi penegak hukum. Tidak hanya difasilitasi pendanaan tak terbatas, tim bisa mengkonfrontasi saksi yang mengaku mendengar atau secara langsung memberikan uang ke hakim. Saksi itu akan dihadapkan dengan hakim bersangkutan. "Kalau perlu, bisa memeriksa rekening hakim itu," katanya.
Juru bicara tim investigasi, Saldi Isra, mengatakan tim sampai pekan lalu baru merumuskan prosedur kerja. Senin pekan ini, tim mengidentifikasi saksi-saksi yang akan dimintai keterangan. Refly termasuk yang akan diperiksa karena semua bermula dari tulisannya.
Sumber Tempo, mantan pejabat di Mahkamah Konstitusi, mendukung langkah investigasi itu. Menurut dia, setelah Mahkamah menangani perkara pemilihan kepala daerah sejak Oktober 2008, santer beredar rumor permainan perkara di lembaga itu. Ia yakin rumor itu bukan sekadar isapan jempol. Ia menunjuk bekas panitera Mahkamah, Zainal Arifin Hoesien, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Markas Besar Kepolisian RI dalam kasus pemalsuan surat-menyurat putusan tentang perselisihan hasil perhitungan pemilu legislatif di Sumatera Selatan. "Kenapa ia berani memalsukan? Apa untungnya?" kata sumber itu.
Mahfud membantah kasus pemalsuan surat berindikasi suap, tapi lebih ke penyalahgunaan wewenang. Ia mengaku sudah membentuk tim kecil dua tahun lalu untuk mengusut rumor mafia peradilan di Mahkamah. Hasilnya, kata dia, nihil. Yang ada, klaim Mahfud, ada pihak luar yang memeras pihak beperkara. Caranya: mengatasnamakan hakim atau penasihat hukum yang mengaku dekat dengan hakim. "Pemerasan ada di seputar orang-orang beperkara," ujarnya.
Sejumlah hakim, termasuk Maria, menurut Mahfud, pernah mendapat pesan pendek nyasar yang berisi keluhan orang yang mengaku sudah menyetor uang tapi diminta hakim menyetor lagi karena jumlahnya kurang. Si pengirim pesan tak pernah menyebut siapa hakimnya. Nomor itu mati ketika dihubungi. Mahkamah sudah melaporkan kejadian itu ke polisi. "Semua orang yang menyebar isu sudah dilaporkan ke polisi," kata Mahfud.
Orang-orang yang kalah beperkara di Mahkamah, menurut Mahfud, kerap melakukan serangan balik dengan menyebar fitnah. Mahfud mengkategorikan Refly dalam golongan ini. Suatu ketika, Refly pernah menuduh Akil Mochtar "main mata" dalam perkara pemilihan kepala daerah. Kepada Mahfud, Refly melaporkan tudingan itu. "Ternyata dia cuma mendapat SMS dari temannya," kata Mahfud. Refly menanggapi enteng soal ini. "Kita tunggu investigasinya," katanya.
Di lembaganya, Mahfud menyatakan tidak ada satu pun keputusan yang tidak melalui pleno sembilan hakim. Ia membantah pernyataan bahwa putusan tentang pemilihan kepala daerah hanya diambil tiga hakim. Ia mengiming-imingi imbalan bagi warga di daerah mana pun yang punya bukti awal soal adanya praktek mafia peradilan di lembaganya. Imbalannya: menginap di hotel mewah dan tiket pulang-pergi dari Jakarta ke daerah asalnya.
Anton Aprianto, Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo