Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Makan Siang Tak Pernah Gratis

Pemerintah akan menonaktifkan kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Status itu membuat mereka tak efektif menjalankan kewajibannya.

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG istri bisa menentukan suaminya selamat atau gagal memimpin sebuah daerah. Jumat dua pekan lalu, nasihat lawas ini diingatkan kembali Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi saat menutup orientasi kepala daerah yang baru terpilih. Sebanyak 60 bupati dan wali kota hasil pemilihan tahun ini, bersama istri mereka, diwajibkan mengikuti penataran selama tiga pekan di Jakarta.

Mereka ditatar soal etika kepemimpinan, pemerintahan bersih, perencanaan pembangunan, hubungan pusat dan daerah, serta keuangan daerah. Para istri juga mendapat pembekalan seputar tugas suami mereka. "Banyak gubernur, bupati, dan wali kota yang gagal karena tak didukung para istri," kata Gamawan.

Menteri Gamawan risau karena jumlah gubernur, wali kota, dan bupati yang tersangkut kasus korupsi kian banyak. Dari 33 provinsi, 18 gubernurnya menjadi terdakwa, tersangka, atau diperiksa penyidik hukum karena membuat keputusan yang merugikan keuangan negara. Dan dari 491 kabupaten/kota, sebanyak 130 pemimpinnya menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, atau kepolisian. Dalam perhitungan Indonesia Corruption Watch, total kerugian negara dari seluruh kasus korupsi kepala daerah mencapai Rp 4,8 triliun.

Dari jumlah itu, menurut Gamawan, sebagian besar yang terjerat kasus korupsi adalah mereka yang tak punya latar birokrasi, seperti pengusaha dan akademisi. Sejak otonomi berlaku pada 2001 dan pemilihan langsung digelar, calon kepala daerah memang banyak yang berasal dari pebisnis, artis, atau akademisi. Buntutnya, ketika terpilih dan menjabat, mereka tak memahami teknis pekerjaannya. "Membuat disposisi saja salah," kata bekas Gubernur Sumatera Barat ini. "Akhirnya berurusan dengan polisi."

Tapi bukan cuma disposisi salah yang membuat para pemimpin daerah ini masuk penjara. Ada juga yang melakukan korupsi dengan niat memperkaya diri sendiri dan kroninya. Penyebabnya model pemilihan langsung yang memakan ongkos tinggi.

Kajian Kementerian Dalam Negeri menyebutkan penghasilan kepala daerah yang lebih kecil ketimbang ongkos untuk pemilihan mendorong mereka mencari penggantinya dari kas negara setelah menjabat. Rata-rata seorang calon kepala daerah menghabiskan Rp 200 miliar untuk ikut pemilihan. Sedangkan penghasilan selama lima tahun hanya Rp 2-3 miliar.

Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, umumnya calon kepala daerah mendapat sokongan dana berlimpah itu dari pengusaha yang berharap mendapat proyek jika jagoannya terpilih. "Dalam politik, tak ada makan siang gratis," kata Djohermansyah pekan lalu. Balas budi itulah yang mendorong kepala daerah setelah reformasi punya tabiat korup.

Keadaan itu tecermin dari struktur anggaran daerah yang dipimpin gubernur atau bupati yang mengeluarkan modal banyak agar terpilih. Saat ini, menurut Menteri Gamawan, anggaran belanja rutin mencapai 54 persen dari total kas daerah. Padahal rasio jumlah aparat untuk seluruh daerah hanya 2,5 persen dari total pegawai negeri.

Ini juga klop dengan data Kementerian yang menyebutkan bahwa kasus korupsi yang menjerat gubernur, wali kota, atau bupati sebagian besar soal penyalahgunaan kas daerah, proyek tanpa tender, atau disposisi yang menguntungkan pihak tertentu. "Ada kiai yang jadi bupati, bukannya membuat rencana keuangan ketika mendapat bantuan dari pusat, menulis disposisi ’alhamdulillah’," kata Djohermansyah.

Berangkat dari kenyataan ini, Kementerian sedang menggodok revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan mendasar dari beleid ini soal status para kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selama ini, sejauh belum jadi terdakwa dan tuntutannya kurang dari lima tahun bui, mereka bisa lenggang kangkung dan tetap menempati jabatannya.

Status sebagai pejabat negara juga kerap merepotkan aparat hukum menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang mengharuskan pemeriksaan atas izin presiden. Menurut Indonesia Corruption Watch, dari 148 kasus korupsi, di luar 27 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kasusnya diizinkan disidik hanya 82. Sisanya tak kunjung mendapat izin atau tak mendapat izin sama sekali.

Jika revisi ini selesai pada 2011, gubernur, bupati, dan wali kota yang tersangkut kasus pidana akan dinonaktifkan begitu menjadi tersangka. Jabatan dan hak mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya dihentikan. Sebaliknya, jika status tersangka ini meningkat jadi terdakwa, secara otomatis mereka tak bisa meneruskan sisa jabatannya.

Pilihan ini diambil, ujar Djohermansyah, karena status tersangka saja sudah mengganggu kerja para kepala daerah. Selain habis waktu karena bolak-balik diperiksa, mereka tak mendapat respek dari bawahan dan tokoh masyarakat. Bahkan tak sedikit yang pindah partai untuk mengais sokongan penguasa. "Padahal otonomi juga mengharuskan mereka punya cukup waktu dan dukungan politik untuk berinovasi membuat kebijakan," katanya.

Bagja Hidayat

Jadi Tersangka, Tunggu Presiden

Indonesia Corruption Watch mencatat ada 148 bekas kepala daerah dan bekas wakil kepala daerah serta kepala daerah yang kini masih aktif terjerat kasus korupsi. Jumlah terbanyak adalah bupati, 84 orang. Proses pemeriksaan banyak yang jalan di tempat karena menunggu izin Presiden.

Gubernur
Rudy Arifin (Gubernur Kalimantan Selatan)
Kasus: Tersangka dugaan korupsi ganti rugi lahan pabrik kertas Martapura Rp 6,3 miliar.
Keterangan: Belum diperiksa karena kejaksaan setempat mengaku harus menunggu surat perintah dari Kejaksaan Agung.

Awang Faroek Ishak (Gubernur Kalimantan Timur)
Kasus: Tersangka dugaan korupsi pengelolaan dana hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal hingga negara dirugikan Rp 576 miliar.
Keterangan: Belum diperiksa karena menunggu izin Presiden.

Syamsul Arifin (Gubernur Sumatera Utara)
Kasus: Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Syamsul tersangka dugaan korupsi penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat periode 2000-2007 pada saat menjadi bupati di sana.
Keterangan: Kini ditahan di Rumah Tahanan Salemba.

Wali Kota
Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar (Wali Kota Tomohon)
Kasus: KPK menetapkan Jefferson tersangka kasus dugaan penyelewengan dana APBD tahun 2006-2008 Rp 19,8 miliar.
Keterangan: Ditahan, masih menjalani pemeriksaan.

Rahudman Harahap (Wali Kota Medan)
Kasus: Tersangka dugaan korupsi tunjangan pendapatan aparatur pemerintah Desa Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2005 senilai Rp 1,5 miliar.
Keterangan: Menunggu izin pemeriksaan dari Presiden.

H Sutrisno Hadi (Wali Kota Tanjung Balai)
Kasus: Tersangka dugaan korupsi dana MTQ Rp 5,6 miliar. Dan penyalahgunaan APBD tahun 2001-2004 sebesar Rp 950 juta.
Keterangan: Menunggu izin dari Presiden.

Bupati
Agus Riyanto (Bupati Tegal)
Kasus: Dugaan korupsi proyek jalan lingkar Kota Slawi senilai Rp 2,22 miliar.
Keterangan: Menunggu izin pemeriksaan dari Presiden.

Rina Iriani (Bupati Karanganyar)
Kasus: Tengah diperiksa kejaksaan dalam kasus dugaan korupsi pembangunan perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri.

Yusak Yaluwo (Bupati Boven Digoel, Papua)
Kasus: Tersangka korupsi dana otonomi Rp 49 miliar.
Keterangan: Menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kolonel (Purn) Theddy Tengko (Bupati Kepulauan Aru, Maluku)
Kasus: Tersangka korupsi dana APBD Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2005, 2006, dan 2007 senilai Rp 30 miliar.
Keterangan: Menunggu izin pemeriksan dari Presiden. Terpilih lagi menjadi Bupati Kepulauan Aru 2010-2015 dengan status tersangka.

Sjahrazad Masdar (Bupati Lumajang)
Kasus: Terdakwa korupsi dana bantuan hukum saat menjadi penjabat Bupati Kabupaten Jember 2005.
Keterangan: Hakim memvonis bebas. Sjahrazad kini aktif lagi menjadi bupati.

Berhenti Jika Masuk Pengadilan

Pasal 126 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah:

"Proses pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilakukan apabila berkas perkara dakwaan melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara telah dilimpahkan ke pengadilan dan dalam proses penuntutan dengan dibuktikan register perkara."

Mustafa Silalahi
Sumber: ICW dan riset

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus