Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agusrin Maryono Najamuddin tetap tampil percaya diri. Meski terancam terseret ke meja hijau, Gubernur Bengkulu ini rupanya pantang menghindar dari wartawan. Sejumlah pertanyaan wartawan yang berhubungan dengan kasus korupsi yang melilitnya dijawabnya dengan ringan. "Yang mau diadili dari saya ini apa," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Nasib Agusrin bisalah kini dibilang sudah di ujung tanduk. Setelah hampir dua tahun perkaranya "mengendon" di kejaksaan, dua pekan lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Putusan itu merupakan buah dari permohonan praperadilan yang diajukan bekas anggota Dewan Perwakilan Daerah Bengkulu, Muspani. Sebelumnya, Muspani melaporkan Agusrin melakukan penyelewengan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan senilai Rp 21,3 miliar. Laporan itu dia kirim ke kejaksaan dua tahun lalu.
Dalam gugatannya, Muspani meminta kejaksaan segera melimpahkan perkara Agusrin ke pengadilan lantaran penyidikan dinyatakan lengkap sejak Mei 2009. Selain menggugat kejaksaan, dia menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi. "Mereka tak menjalankan fungsi supervisi," katanya.
Setelah melalui persidangan lima kali, hakim Supraja memutuskan mengabulkan gugatan Muspani. Hakim memerintahkan kejaksaan melimpahkan berkas perkara Agusrin ke pengadilan. Apabila kejaksaan tak mampu melimpahkan perkaranya, hakim memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih perkara tersebut dari kejaksaan. Menurut hakim, tindakan kejaksaan mengambangkan kasus itu menimbulkan ketidakpastian hukum.
Agusrin, yang terpilih menjadi Gubernur Bengkulu untuk kedua kalinya, ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2008. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Demokrat Bengkulu ini disangka menyelewengkan dana pemerintah daerah. Kendati penyidikannya dinyatakan rampung pada awal Mei 2009, berkasnya tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan.
Muspani semula menduga kejaksaan diam-diam telah menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara tersebut. Itu yang membuat dia menggugat kejaksaan. Ia sendiri mengaku surprised dengan putusan hakim. "Kejaksaan harus menjalankan putusan pengadilan," ujarnya. "Jika tidak, berarti kejaksaan membangkang."
Penyelidikan kasus yang di Bengkulu populer dengan istilah "Dispenda Gate" ini sebenarnya sudah dimulai pada 2007. Kejaksaan Tinggi Bengkulu saat itu menelisik kasus ini berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan Provinsi Bengkulu pada 2006. Badan Pemeriksa menemukan penyelewengan anggaran Rp 21,3 miliar dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan.
Modusnya, penerimaan bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari pemerintah pusat, yang biasanya dialirkan melalui rekening pemerintah daerah atau rekening G.019 di Bank Pembangunan Daerah Bengkulu, dialihkan ke rekening BRI Cabang Bengkulu. Padahal, untuk membuka rekening baru, mesti ada izin dari Menteri Keuangan. Rekening baru itulah yang menampung duit Rp 21,3 miliar dana bagi hasil itu. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Chairuddin kemudian menyetorkan dana itu ke mana-mana. Diduga sebagian juga masuk ke kocek Agusrin. Dari jumlah itu, ada setidaknya Rp 18,7 miliar yang penggunaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Menurut Muspani, dana itu sebagian mengalir ke sejumlah anggota DPR dan pejabat di Departemen Keuangan dalam rangka mengegolkan usul peningkatan Dana Alokasi Umum. Tapi, ujar Muspani, setahun kemudian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan-lah yang mempersoalkan dugaan penggelapan dana tersebut. "Dalam waktu singkat penggunaan dana APBD senilai Rp 21,3 miliar dikembalikan ke kas daerah secara bertahap," katanya.
Belakangan diketahui dana itu ditambal dari duit badan usaha milik daerah PT Bengkulu Mandiri, yang baru mendapat gelontoran dana penyertaan modal dari APBD senilai Rp 25,5 miliar. Di perusahaan ini, Chairuddin duduk sebagai komisaris. Penyertaan modal itu untuk sejumlah kegiatan, seperti investasi pada sejumlah perusahaan, pendirian pabrik minyak sawit mentah (CPO) di daerah Mukomuko, dan pembelian sejumlah kapal ikan, yang berdasarkan investigasi Muspani diduga fiktif.
Kepada Tempo, Agusrin membantah tudingan Muspani. "Jika itu saya lakukan, tidak mungkin Bengkulu Mandiri dapat menghasilkan keuntungan senilai Rp 725 juta," katanya. Agusrin menyebut desakan agar dia diadili bermuatan politis. Ia juga mengaku tak khawatir dengan dikabulkannya gugatan praperadilan atas perkaranya di Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Tinggi, yang kemudian mengusut kasus penyelewengan ini, memang menemukan modus itu. Dari tiga yang diperiksa, Agusrin, Chairuddin, dan pihak BRI, belakangan yang pemeriksaannya maju pesat hanya Chairuddin. Chairuddin kemudian divonis satu tahun penjara dan di tingkat banding hanya dihukum enam bulan percobaan. Chairuddin mengaku pemindahan rekening itu atas inisiatifnya dengan memalsukan tanda tangan Gubernur. Alhasil, Agusrin pun lolos dari jerat hukum.
Menurut Muspani, memang sangat terlihat ada upaya-upaya untuk melindungi Agusrin. Ia juga tak percaya Chairuddin, yang baru beberapa bulan menjabat Kepala Dinas Pendapatan Daerah, berani memindahkan rekening itu. "Tidak mungkin itu atas kemauannya sendiri," ujarnya.
Kecewa oleh penanganan Kejaksaan Tinggi Bengkulu, pada November 2007, Muspani, yang kala itu menjadi anggota DPD, melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak saat itulah kasus ini dipegang Kejaksaan Agung.
Tapi lagi-lagi di sini kasus ini terseok-seok. Meski menetapkan Agusrin sebagai tersangka, Kejaksaan Agung tak pernah menahan politikus Partai Demokrat yang sebelumnya aktivis Partai Keadilan Sejahtera ini. Pada April 2009, penyidikan Agusrin kelar dan berkasnya dinyatakan lengkap. Kejaksaan Negeri Bengkulu saat itu meminta fatwa Mahkamah Agung untuk menunjuk lokasi persidangan di luar Bengkulu. Mahkamah menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat persidangan. Namun, setahun lewat, hingga diajukan gugatan praperadilan, kasus Agusrin ini tak kunjung disidangkan.
Sumber Tempo menyebutkan penyidikan kasus Agusrin memang telah kelar sekitar April 2009. Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus juga telah mengirimkan berkasnya ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu, yang lantas meneruskannya ke Kejaksaan Negeri Bengkulu. Dari Kejaksaan Negeri Bengkulu, berkas dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, siap untuk disidangkan.
Hanya, belum sempat perkara digelar, berkas itu ditarik kembali oleh Kejaksaan Agung. Sumber Tempo menuturkan peristiwa itu terjadi menjelang Pemilu 2009. Jaksa Agung Hendarman Supandji saat itu memerintahkan penyidik menarik kembali berkas yang sudah dilimpahkan. "Penarikan berkas malam-malam, karena perintahnya sudah sore," kata sumber itu.
Orang yang diminta menarik berkas itu Ali Mukartono, Kepala Subdirektorat Penuntutan Tindak Pidana Korupsi. Penarikan itu tanpa setahu Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, selaku atasannya. Marwan, ketika dimintai konfirmasi soal ini, membenarkan adanya pencabutan berkas itu. "Karena saya saat itu sedang di luar kota," katanya.
Sumber Tempo menyebutkan ada "tangan kuat" yang memerintahkan Kejaksaan mengamankan Agusrin. Ini, ujar sumber itu, berkaitan dengan kepentingan politik. Ali Mukartono dan Hendarman Supandji tak bisa dimintai konfirmasi soal ini. Ali, yang kini menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi, tengah menjalankan ibadah haji. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap menyatakan tak tahu-menahu soal ini. "Waktu itu saya masih di Ambon," katanya.
Kendati hakim memutuskan perkara Agusrin mesti dilimpahkan ke pengadilan, Kejaksaan ternyata memilih melakukan perlawanan. Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan menyatakan banding atas putusan praperadilan itu. Menurut Babul Khoir, pertimbangan hakim dalam putusan praperadilan tidak tepat. Lingkup pemeriksaan praperadilan, sesuai dengan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ujarnya, hanya mengatur pemeriksaan soal penangkapan, penahanan, permohonan ganti rugi, dan permohonan rehabilitasi. "Bukan soal pelimpahan perkara," katanya.
Alasan yang sama dikemukakan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Kepala Biro Hukum KPK Khaidir Ramli, sebenarnya tak ada masalah bagi KPK jika gugatan itu ditolak atau dikabulkan. "Jika harus mengambil alih pun, kami oke-oke saja."
Ramidi, Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo