Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan enam puluh lima tahun itu tak bisa berbahasa Indonesia. Kamis pekan lalu, berbekal sebotol air mineral dan ditemani anak sulungnya, Ahmad Firdaus, 42 tahun, ia berangkat dari rumahnya di Dusun Sidoharjo, Ajibarang, Kabupaten Banyumas, ke Pengadilan Negeri Purwokerto. Suaminya, Sanrudi, tak bisa mengantarkan karena harus mencari rumput untuk makan sepuluh kambing mereka. ”Pasrah karo sing sabar, Yung (Pasrah dan sabar, Bu),” ujar Sanrudi membesarkan hati sang istri, Minah.
Hari itu majelis hakim yang dipimpin Muslich Bambang Luqmono akan memutus kasus pencurian yang dilakukan perempuan tak tamat sekolah dasar itu. Minah sendiri harus berganti kendaraan umum tiga kali, sebelum sampai di pengadilan. Sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat yang simpati atas kasusnya mencoba membesarkan hatinya. ”Saya tidak mencuri, saya hanya mau ambil bijinya untuk ditanam,” ujarnya pendek dalam bahasa Jawa, sebelum sidangnya digelar.
Di kursi terdakwa, Minah lebih banyak menunduk. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan ujung kerudungnya. ”Kulo mboten pengin dihukum, Pak Hakim, kulo pengin bebas (Saya tidak ingin dihukum, saya ingin bebas),” ujar nenek enam cucu itu dengan suara tercekat.
Karena tak memahami bahasa Indonesia, Bambang membacakan vonisnya menggunakan bahasa Jawa. Menurut Bambang, Minah terbukti mencuri tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan seperti dakwaan jaksa. Pencurian itu dilakukan Minah pada 2 Agustus lalu. Kepada hakim, Minah mengakui perbuatannya.
Kendati jaksa Noorhaniyah menuntut hukuman penjara enam bulan, Bambang memvonis Minah hanya satu bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan. ”Tidak perlu masuk penjara,” ujar Bambang. Menurut Bambang, tak ada yang memberatkan Minah dalam kasus ini. ”Dia petani yang tak akan kaya hanya dengan mengambil tiga kakao,” ujar Bambang dengan suara terbata-bata.
Bambang memang terlihat emosional saat memutus kasus ini. Menurut dia, kasus seperti ini mestinya tak perlu masuk pengadilan. ”Seharusnya diselesaikan di tingkat RT,” ujarnya. Minah sendiri menerima putusan itu dengan pasrah. ”Nggih, Pak Hakim, kulo ngertos (Saya mengerti),” katanya.
Berbeda dengan Minah, pihak PT Rumpun Sari Antan menganggap putusan itu tidak adil. ”Kami ini korban, kami hanya minta keadilan,” kata pemimpin PT Rumpun, Sumarno. Menurut Sumarno, ia memperkarakan Minah agar tak ada lagi orang yang mencuri kakao di kebun perusahaannya seluas sekitar 100 hektare itu. ”Karena setiap hari petugas kami selalu menemukan bekas kulit kakao yang dipetik orang,” katanya.
MINGGU, 2 Oktober silam, Minah tengah berjalan di perkebunan milik PT Rumpun saat matanya melihat tiga buah kakao matang menggelantung di pohon. Seperti sejumlah warga desa lainnya di Dusun Sidoharjo, Minah menggunakan lahan tersisa di antara pohon-pohon kakao untuk bercocok tanam. PT Rumpun memang memberi kesempatan kepada warga menggunakan lahan itu secara tumpangsari.
Tiga kakao itu kemudian dipetik Minah. Saat mengupas kakao itulah muncul Sutarno, petugas patroli PT Rumpun. Tarno menduga buah itu akan dijual Minah. ”Kalau dijual sekitar Rp 30 ribu,” ujarnya saat diperiksa polisi sebagai saksi. Kepada polisi, Tarno menyatakan, ketika itu ia melepaskan Minah karena kasihan. ”Dia meminta maaf sambil menangis,” kata Tarno. Adapun tiga buah kakao dan karung plastik milik Minah ia ambil dan diserahkan ke perusahaan.
Rupanya laporan Tarno itu berbuntut panjang. PT Rumpun membawa kasus ini ke Kepolisian Sektor Ajibarang. Jajaran polisi dengan sigap memproses kasus ini. Minah diperiksa dan pada 13 Oktober ia pun jadi tersangka serta dikenai status tahanan rumah. Perkara ini masuk ke kejaksaan. Jaksa mendakwa Minah melanggar Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukuman pasal ini maksimal lima tahun penjara. Awal November lalu, perkara ini pun mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto. Tak ada pengacara yang mendampingi nenek ini.
Minah sendiri hanya hadir saat pembacaan dakwaan dan putusan. Kepada hakim ia menyatakan tidak bisa datang saat pembacaan penuntutan karena tidak punya uang. Perjalanan dari dusunnya ke pengadilan memerlukan ongkos Rp 100 ribu, jumlah yang terlalu besar buat dirinya dan keluarganya. Karena itulah ia merasa lega saat hakim menyatakan tak perlu masuk penjara. Firdaus juga bersyukur ibunya tak ditahan. Menurut dia, nilai tiga kakao itu bukan Rp 30 ribu seperti disebut PT Rumpun. ”Di pasaran harga tiga kakao sekitar Rp 2.000,” katanya.
Kamis sore pekan lalu, saat Tempo mendatangi rumahnya di Dusun Sidoharjo, Minah sedang mencari rumput di belakang rumahnya. Di dalam rumah berdinding bata yang didiaminya bersama sejumlah cucunya itu, satu-satunya perabotan yang terlihat hanya meja makan dari kayu dan sebuah bangku panjang yang berfungsi sebagai kursi. Petang itu Minah sibuk memberi makan kambing-kambingnya, salah satu harta kekayaannya. ”Dari pagi belum ada yang memberi makan,” ujarnya.
KASUS Minah ini tak pelak membuat banyak pengamat hukum prihatin. Di tengah maraknya kasus korupsi miliaran rupiah, yang sebagian pelakunya divonis ringan, perkara Minah jelas sebuah ironi. Pada Desember 2008, misalnya, Mahkamah Agung memvonis satu tahun penjara kepada empat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Semarang karena terlibat kasus korupsi senilai Rp 2,16 miliar. Sebelumnya, keempat wakil rakyat itu, yakni Agustina, Santoso, Tohir Sandirdjo, dan Fathur Rakhman, bahkan hanya dihukum percobaan oleh Pengadilan Negeri Semarang.
Kasus Minah itu juga membuat pakar hukum dari Universitas Diponegoro, Satjipto Rahardjo, mengelus dada. ”Seharusnya tidak perlu sampai ke pengadilan,” katanya. Kepada Tempo, Kepala Kepolisian Resor Banyumas Ajun Komisaris Besar R.Z. Pancaputra bercerita pihaknya sebenarnya sudah mengupayakan perdamaian antara Minah dan PT Rumpun. ”Tapi pihak PT Rumpun minta kasus ini dilanjutkan,” ujarnya. Adapun jaksa Noorhadiyah menyatakan pihaknya tak bisa menolak perkara dari kepolisian. ”Barang buktinya ada. Bu Minah juga mengaku,” katanya.
Satjipto tak setuju dengan alasan demikian. Menurut dia, mestinya polisi bisa menghentikan kasus tersebut. Hukum mesti didekati dari rasa keadilan. ”Walau memenuhi unsur pidana, kasus itu tidak sesuai dengan akal sehat dan hati nurani,” ujarnya. Bahkan, kata Satjipto, seharusnya di tingkat pengadilan, hakim berani membebaskan Minah.
LRB, Sutarto, Aris Andrianto (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo