Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melihat atasannya menghampiri, Komisaris Besar Wiliardi Wizar bergegas berdiri. Tapi kali ini tubuhnya tidak tegak seperti biasa. Agak membungkuk, perlahan tangannya bergerak memberi hormat. Canggung.
Selasa pekan lalu, di ruang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan keduanya berhadap hadapan: sama sama perwira polisi dan sama sama tanpa pakaian seragam, tapi dalam posisi berseberangan. Sang atasan, Inspektur Jenderal Hadiatmoko, baru saja memberikan kesaksiannya dalam sidang Antasari Azhar yang tersangkut perkara pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Hadiatmoko memberikan kesaksian bersama 11 perwira polisi lainnya. Dan ini berhubungan dengan pernyataan Wiliardi dalam sidang 10 November lalu.
Waktu itu, saksi terdakwa Antasari ini menyebutkan adanya rekayasa dan arahan dalam penyusunan berita acara. Saat diperiksa Wiliardi mengaku didatangi empat perwira polisi, termasuk Hadiatmoko. Para perwira itu berjanji tidak akan menghukum Wiliardi dan hanya akan mengenakan sanksi disiplin jika ia bersedia menandatangani berita acara yang disodorkan penyidik.
Di dalam sidang yang dipimpin ketua majelis Herri Swantoro, Hadiatmoko membantah rekayasa itu. Menurut dia, setelah pertemuan sebelumnya 28 April lalu, dia tidak pernah terlibat dalam pemeriksaan mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan itu. Ia mengaku sempat memanggil Wiliardi untuk menanyakan: apakah ia mengenal tersangka Eduardus dan Jerry.
Karena mengaku tidak mengenal, Hadiatmoko menyerahkan Wiliardi ke Divisi Profesi dan Pengamanan. Hadiatmoko kemudian mengatakan ia tak tahu menahu pembuatan berita acara Wiliardi. Ia juga mengaku tak pernah dilapori perkembangan pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. ”Laporannya kepada Kapolda,” katanya. Pernyataan 11 perwira lainnya di atas setali tiga uang dengan Hadiatmoko; ramai ramai mereka membantah kesaksian Wiliardi.
Menurut pengacara Antasari, Muhammad Assegaf, ada kesaksian penyidik Komisaris Polisi Jairus Saragih yang menunjukkan: pada malam 30 April, saat pemeriksaan sebelumnya sedang berlangsung, empat petinggi polisi, termasuk Direktur Kriminal Umum Iriawan, mendatangi penyidik dan meminjam Wiliardi ke ruang Provost. ”Keluar dari ruangan itulah kesaksian Wiliardi berubah,” ujar Assegaf.
Mantan Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Brigadir Jenderal Muhammad Iriawan membantah pernyataan Assegaf. Menurut dia, tidak benar ia bersama Hadiatmoko mendatangi Wiliardi pada pukul 24.00 WIB dan memaksa lelaki kelahiran Sibolga, 49 tahun, itu menandatangani BAP yang terlebih dulu disamakan dengan BAP Sigid Haryo Wibisono.
Kehadirannya menemui Wiliardi pada 30 April itu karena Wiliardi berkali kali menghubunginya melalui pesan pendek. Saat itu pukul 20.00 WIB, Iriawan tengah makan di Rumah Makan Mandala di daerah Wolter Monginsidi, Wiliardi menghubungi minta ketemu. Setelah ditemui, Wiliardi justru meminta menggunting keberadaan tersangka Edo dan Jerry Hermawan Lo dalam kasus tersebut.
Iriawan mengaku menolak permintaan itu. ”Saat itulah Wili (panggilan Wiliardi) sempat memukul mukul kepala sendiri sambil mengatakan dirinya bodoh,” ujar Iriawan. Ia juga membantah soal permintaannya menjerat Antasari.
Kesaksian Iriawan dibenarkan tiga bawahannya: Wakil Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Ajun Komisaris Besar Tornagogo Sihombing, Kepala Satuan Kejahatan dan Kekerasan Polda Metro Ajun Komisaris Besar Nico Afinta, dan Kasat Keamanan Negara Polda Metro Ajun Komisaris Besar Daniel Bolly Tifaona, yang bersaksi secara bergiliran di sidang yang sama. ”Kami tidak pernah menunjukkan BAP Sigid ke Wiliardi,” Tornagogo membantah, Selasa pekan lalu.
Juniver Girsang, pengacara Antasari, mengaku sudah menebak kesaksian para penyidik. ”Tidak ada dalam sejarah saksi verbalisan mengaku mempengaruhi atau menekan dalam pembuatan BAP,” katanya. Namun, menurut dia, ada sejumlah kejanggalan, berita acara 29 April berbeda dengan 30 April. Perbedaan itu terjadi setelah Wiliardi bertemu dengan empat perwira Polda Metro. Berita acara yang semula menyebut pertemuan di rumah Sigid sebagai ”ngobrol ngobrol biasa” itu berubah menjadi merencanakan menghilangkan nyawa Nasrudin.
Atas kesaksian yang berbeda ini, ketua majelis Herri Swantoro hanya menyerahkan kesimpulan kepada jaksa dan penuntut umum. ”Pernyataan ini sangat bertolak belakang, silakan dinilai, hanya Allah yang tahu,” ujar Herri.
Geger rekayasa berita acara ini sebelumnya membuat kubu Antasari Azhar optimistis. ”Kebenaran mulai terungkap,” ujar Antasari kala itu. Namun, melihat bantahan bertubi tubi dari sejumlah penyidik Kepolisian RI itu, sepertinya kubu Antasari Azhar harus menyimpan dulu optimisme mereka.
Kini Antasari, Wiliardi, dan pengacara mereka menyandarkan harapan pada kesaksian lima terdakwa lainnya: Daniel Daen Sabon, Hendrikus Kia Walen, Heri Santosa, Fransiskus Tadon Keren, dan Eduardus Noe Ndopo Bete. Mereka berharap para terdakwa eksekutor itu mengatakan: tak ada perintah pembunuhan, yang ada perintah membuntuti dan menteror.
Gelagat ini sudah terlihat dari sidang terdakwa di Pengadilan Negeri Tangerang. Para terdakwa ramai ramai mencabut berita acara pemeriksaan, mereka juga mengungkap adanya penganiayaan oleh penyidik saat pemeriksaan. Dalam sidang Wiliardi, tiga terdakwa: Hendrikus, Heri, dan Daniel, juga menyebut ada tim lain yang bergerak bersama mereka, saat pembunuhan Nasrudin, pada 14 Maret 2009.
Hanya siapa tim ini, dengan alasan keselamatan, terdakwa menolak membeberkan. ”Siapa yang menjamin keselamatan saya, keluarga, dan anak saya,” kata Heri di persidangan Selasa pekan lalu. ”Tim ini sudah sama sama ngopi dengan timnya Edo,” Junimart Girsang, pengacara Wiliardi, menambahkan.
Mereka juga ramai ramai menolak bersaksi dengan alasan tidak pernah diperiksa sebagai saksi Wiliardi. Pada sidang hari berikutnya, kelima terdakwa juga urung datang. ”Mobil tahanan sudah menjemput, tapi mereka menolak ikut dengan alasan capek,” ujar Bambang Suharyadi, jaksa penuntut.
Dalam serangkaian persidangan kasus pembunuhan Nasrudin ini seperti terbentuk dua kubu terdakwa. Antasari, Wiliardi, dan lima terdakwa lain di satu pihak. Sigid Haryo Wibisono di lain pihak. Kubu Antasari berusaha menggiring opini tidak ada perintah membunuh, yang ada perintah membuntuti. Adapun Sigid tetap pada kesaksian awal: ada rencana menghilangkan nyawa orang.
Sikap ini juga yang membuat Junimart curiga terhadap sosok Sigid. Ia menduga jangan jangan Sigid termasuk dalam agenda besar untuk menggulingkan Antasari. ”Apa maksud dia merekam pembicaraan dirinya dengan Antasari kalau tidak ada maksud terselubung,” katanya Kamis pekan lalu.
Sinyalemen soal kekompakan antara kubu Antasari dan sejumlah terdakwa lain telah dilontarkan Iriawan. ”Coba lihat pengacara Antasari dan Wiliardi sama, Juniver Junimart, itu kan ada kaitannya. Cobalah analisis,” kata Iriawan, yang memimpin penyidikan kasus pembunuhan Nasrudin.
Antasari boleh berkilah ada skenario besar menjerumuskan dirinya dalam kasus pembunuhan hingga ia terdongkel dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, menurut jaksa Bambang Suharyadi, ia memiliki alat bukti yang akan menunjukkan keterlibatan Antasari. Salah satunya bukti rekaman milik Sigid Haryo. ”Kunci keterlibatan para otak perencana pembunuhan itu terletak di sana,” ujarnya
Saat Antasari bertemu dengan Sigid di rumahnya, diam diam Komisaris PT Pers Indonesia Merdeka, penerbit harian Merdeka, ini merekam pembicaraan mereka. Rekaman menjadi alat bukti polisi. Suaranya telah dianalisis ahli forensik akustik dari Laboratorium Akustik Teknik Fisika, Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung. Hasilnya: itulah suara Sigid dan Antasari Azhar.
Dari informasi yang diperoleh Tempo, isi rekaman salah satunya membicarakan setting rencana perampokan dan tindakan yang mereka sebut ”eksekusi”. Untuk perampokan, mereka menyiapkan sekelompok pelaku dari orang orang di sekitar. Adapun untuk eksekutor, mereka siapkan dari seorang tenaga kerja Indonesia. Dengan demikian, begitu pelaksanaan eksekutor itu terjadi, pelaku akan cepat berangkat ke luar negeri.
Mereka juga mengantisipasi: jika tertangkap, yang akan ditangkap hanya para pelaku perampokannya. Dari isi rekaman ini, Antasari, Sigid, ataupun Wiliardi sepertinya akan sulit berkelit dari tuduhan tentang pembunuhan berencana (Pasal 340 Kitab Undang Undang Hukum Pidana).
Ramidi, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo