TAK ada cita-cita lain yang dapat dikatakannya. Ia hanya
berharap bisa melakukan kembali kejahatannya. Itulah Ali Nasib
Nasution, yang kini mendekam di penjara.
Ia telah menggaet wanita-wanita muda dengan cara aneh, melarikan
mereka, mempermainkan mereka, lalu meninggalkan begitu saja di
mana dan kapan dia mau. Pengadilan Negeri Padang Sidempuan yang
bersidang di Panyabungan (Tapanuli Selatan), 22 Januari, telah
mengharuskan Nasib masuk penjara selama 7 tahun.
Riwayat perjalanan Nasib, 28 tahun, memang ganjil. Tahun lalu ia
dituduh menikahi 121 wanita -- begitulah kata polisi. 93 orang
di antaranya diceraikannya, 4 orang dipertahankan, sementara
selebihnya tak diurus, meski statusnya masih sebagai istri.
Mereka, menurut Nasib, digaetnya dengan cara mengamalkan suatu
"ilmu hitam" (TEMPO, 16 Februari 1980).
Tapi, terutama bukan untuk kejahatannya menggaet lebih seratus
wanita itulah, Nasib berulangkali masuk bui. Ia dituduh mencuri
barang milik para wanita yang sudah terlebih dulu dirayunya.
Pemuda itu "Polisi"
Cerita tentang dia (dan wanita-wanitanya) juga terungkap secara
tak sengaja. Suatu hari di pertengahan Januari 1980, ia
dikejar-kejar orang sekampung di Desa Simardona. Soalnya hendak
melarikan gadis Sumiati. Ia tertangkap berikut sebuah tape
recorder sebagai barang bukti.
Pemeriksaan oleh polisi lancar. Bahkan, Nasib mengakui semua
kegiatannya merayu wanita dan mengawininya secara tak wajar.
Beberapa wanita -- yang dicerai maupun tidak -- dapat pula
melengkapi pengakuan tersebut.
Polisi meneruskan perkara ke kejaksaan -- baik mengenai
pencurian maupun yang berhubungan dengan wanita. Tapi pengadilan
hanya mengadili perkara pencuriannya saja. Untuk itu Nasib,
Juni lalu, kena 7 bulan penjara.
Meskipun diputus 7 bulan, Nasib memang hanya 2 bulan saja berada
di penjara. Agustus lalu bebas. Tapi, begitu lepas ia sudah
membuat gara-gara lagi: ia ditangkap jaksa karena dituduh
melarikan Darmina boru Hasibuan, 20 tahun, dari Desa Hutarimbu.
Sebelumnya Darmina tak kenal Nasib. Yang diingatnya, pada suatu
malam ia mendapat bisik-bisik dari seorang lelaki, melalui
sebuah lubang di bilik kamarnya. Hal yang biasa: pemuda di
Tapanuli Selatan masih melakukan markusip pada cewek yang
ditaksirnya.
Yang mengherankan, begitu cetita Darmina, ia menurut saja ketika
diminta turun. Di bawah, di sudut halaman yang gelap, sudah
menantinya seorang pemuda yang dalam kata-kata sang dara, "tidak
tampan, senyumnya aneh". Si pemuda berjaket loreng dengan
sebuah borgol terpajang di pinggang. Tak salah lagi, begitu
pikir gadis boru Hasibuan itu, yang merayunya tentu seorang
anggota polisi.
Entah apa yang dilakukan pemuda itu terhadap gadisnya. Yang
pasti, Darmina dengan senang hati menganggukkan kepalanya,
ketika pemuda itu mengajaknya kawin lari. Esoknya Darmina
benar-benar menuruti kehendak Nasib. Sebuah surat, yang
menyebutkan nama dan kehendaknya, ditinggalkan Nasib bagi orang
tua Darmina.
Darmina mengikuti ke mana Nasib berjalan. Di beberapa tempat
mereka berhenti. Dan di situ Nasib memperlakukan Darmina
seperti terhadap wanita-wanita sebelumnya. Darmina tak pernah
menolak. Bahkan, katanya kemudian, ia tak pernah mengeluh
meskipun Nasib hanya memberinya makan pisang mentah. "Aku selalu
rasa kenyang dan bahagia," kata Darmina.
Beberapa hari kemudian, di sebuah pondok di Desa Tahalak,
Darmina ditinggalkan. Nasib bilang mau melapor kepada atasan dan
membicarakan perkawinan dengan orang tua Darmina. Sepeninggal
Nasib, rupanya kesadaran muncul di kepala Darmina, dan
menuntunnya kembali ke rumah orang tuanya. Ayahnya, Lobe
Baharudin, tentu saja berang dan melaporkan semuanya kepada
polisi.
Secara kebetulan Nasib tertangkap. Hari itu, 3 November lalu,
Jaksa Lukman Siregar bepergian. Di dalam bis ia berkenalan
dengan seorang muda yang berlagak: mengaku sebagai penakluk
wanita dan kini sedang buron. Lukman Siregar, tentu saja, tak
melewatkan kesempatan. Ibarat sedang "ngantuk," katanya,
"disorong bantal pula."
Mantera + Rp 17.750
Nasib ditahan dan diperiksa. Pengakuannya hebat juga selepas
dari penjara ia sudah berhasil merayu 7 wanita. Ia segera
diadili. Nasib tidak memungkiri tuduhan jaksa yang menuntut
hukuman 8 tahun penjara. Namun pengadilan, yang kemudian
menghukumnya 7 tahun, tak dapat memeriksa para korban -- selain
Darmina. Mereka umumnya keberatan mengemukakan aib di muka umum.
Sedikit pun Nasib tak menyesali apa yang telah diperbuatnya --
seperti dikatakan kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Ia bahkan
masih ingin mengulanginya bila ada kesempatan. Keinginan itu,
katanya, "begitu saja terdorong dari dalam hatinya."
Pada mulanya, begitulah kisahnya, Nasib punya rasa rendah diri
yang sangat dalam. Menegur perempuan pun ia tak berani. "Rasanya
tak berani menatap pandangan orang. Mungkin karena aku ini jelek
dan miskin. Dan aku benci perempuan bila ingat ibu yang suka
kawin-cerai." Dari keadaan itulah Nasib ingin menuntut ilmu
hitam untuk menutupi kelemahannya.
Ia belajar dari Jatautan di tahun 1969 di Sumatera Barat.
Sebelum berhasil, ia harus melatih ilmunya berbulan-bulan,
terhadap banyak gadis desa "yang gampang ditokoh-tokoh."
Manteranya? Ada. Tapi, rahasia agar mantera itu makbul, tak
ingin dikatakannya. "Maaf, ilmu itu kutebus dengan uang
sekolahku, Rp 17.750," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini